“Jadi gimana bok, selamat loe di Arab? Teman-teman dan keluarga menyambut kembalinya gue dengan khawatir. Gue menjawab santai, “iya lah! Orang semua masih kalah Arab sama Indonesia, tenang aja!”
Ketika perusahaan kami mendapat kesempatan memasarkan buah segar Indonesia ke beberapa negara Timur Tengah, metode memilih perwakilan yang berangkat pakai hompimpah yang keluar jaga.
Manaher operasional dan manaher marketing mengklaim tidak bisa pergi, karena sebagai perempuan Muslim mereka tidak diizinkan pergi tanpa muhrimnya. Iming-iming umroh gratis tidak digubris. Manaher Finance juga menolak keras, mengaku tidak punya kedekatan dengan budaya Arab. Lu aja, skalian mudik, begitu katanya.
Semua karena satu bayangan. Kami bakal kagok banget di Arab. Di Indonesia saja, yang gerakan kembali ke budaya Arabnya sedang gencar, kami suka keder, apalagi di biangnya Arab.
Bayangan kami akan rombongan jutaan orang berpakaian putih-putih membanjiri jalanan setiap harinya sambil qasidahan sepanjang jalan, membuat kami takut salah kata dan berakhir menyinggung budaya negara lain.
Itulah sebabnya, sebagai penerima undian, gue langsung bersiap-siap bak akan berangkat jihad. Beberapa helai abaya hitam digojekkin langsung dari tante yang baru pulang Umroh. Tutorial jilbab dihafal mati. Seorang Ustadz dan seorang teman lelaki jadi terseret mendampingi. Gue khawatir deal batal gol karena bosnya perempuan non Muslim tak bermuhrim.
Tapi semua persiapan gue itu ternyata tidak diperlukan. Gue ternyata sudah dapat training paling manteb di Indonesia, karena Indonesia termasuk salah satu negara paling ketat menerapkan budaya Arab. Lebih dari Uni Emirat ARAB, maupun Kesultanan Oman, atau di kaum Iran.
Ketika berjalan di keramaian, jumlah mereka yang mengenakan pakaian tradisional abaya dengan burqa, niqab, atau kerudung, tidak lebih banyak daripada saat kumpul-kumpul ibu-ibu anggota produk multilevel marketing di Jakarta. Polisi syariah yang katanya suka razia tidak sekalipun gue temukan.
Kostum pengajian gue berakhir nganggur. Memakainya di keseharian akan membuat gue terlihat over the top, seperti pakai paes saat nge-mall. Hanya pashmina dijadikan kerudung dipakai sekali saat ada pengajian di Konsulat Jenderal RI.
Sama abaya sewaan, persyaratan masuk Masjid Agung Abu Dhabi. Lalu setelah mengenakan abaya, tidak ada larangan hanya boleh ke sini dan ke sana. Masjid menjadi tempat rehat yang sangat nyaman. WC-nya bersih, bisa minum gratis, tempatnya sejuk. Sambil menunggu yang lain Sholat, gue bisa selfie-selfie dengan tenang. No stare nor glare.
Justru, panji-panji keagamaan dan deretan orang dengan kostum seragam yang terekam di TV membuat para orang Arab ini takut.
“Jakarta aman nggak?” tanya seorang buyer keturunan Lebanon.
“Aman kok, jangan takut!” Gue menjawab bak duta bangsa sejati.
“Tapi hari ini aja ada kan, orang pake putih-putih, demonstrasi?”
“Iya, mereka tapi kan protesnya ke gubenur kita, kebetulan minoritas, China, Kristen pula,” gue menjelaskan.
“HAH! Bahaya dong kalau saya ke sana, saya kan bukan orang Indonesia, saya bakal jadi minoritas!” katanya ketakutan.
Ya elah, dalam hati gue tertawa, eloe mah aman banget kali, malah dikira Habib bisa-bisa. Tapi di negara Arab, perkumpulan demonstrasi dengan membawa simbol-simbol keagamaan memang dilarang, dianggap sebagai tindakan radikal yang mengacu pada pemberontakan terhadap kerajaan. Sebagaimana takut pada perompak, mereka takut pada kegiatan semacam ini.
Dalam bisnis, juga tidak ada yang mempertanyakan gue meeting di tengah banyak lelaki. Berkali-kali, saat gue mengatupkan tangan memberi salam, buyer yang kebanyakan lelaki sudah kelanjur menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Ia menarik tangannya dengan salah tingkah.
Setelah beberapa kali terjadi, gue akhirnya memutuskan pola wait-and-see. Menunggu jika buyer bersalaman, maka gue akan menjabat ramah. Tapi pola ini juga membuat buyer risih. Dan berakhirlah gue tanpa memberi salam seperti supplier gak tau diri.
Ketakutan gue akan kendala Bahasa juga ternyata tidak terbukti. Saat masuk kantor, mereka akan bilang Good Morning, atau Good Afternoon ke gue. Kalau gue sapa duluan dengan Assamualaikum, mereka suka senyum-senyum kecil. Mungkin aksen gue terlalu kental KW-nya.
Mereka juga jarang bilang Insya Allah, kecuali sudah pasti banget. Kalau kaget nggak keceplosan Astafirulloah. Gue lebih sering baca kutipan ayat-ayat di Facebook daripada dengar langsung di sana. Meski memang tiap kali mereka ngomong serasa lagi didoain.
Dan mau tahu peruntukan 40% ekspor manggis Indonesia ke salah satu negara di jazirah Arab? Untuk satu industri yang di Indonesia masih sulit didapatkan izinnya. Katanya sudah 20 tahun lebih tradisi ini muncul.
Satu-satunya budaya Indonesia yang masih kental kita jaga dan tidak tertandingi negara lain adalah, kita masih tetap suka berantem.
“Kamu tahu kelemahan terbesar negara kamu?” tanya buyer yang sudah bertahun-tahun berbisnis dengan orang Indonesia. “Kalian lebih suka mencari perbedaan dibandingkan persamaan dengan rekan sebangsa, lalu menjadikan perbedaan itu sebagai alat menjatuhkan,” katanya.
Ia mencontohkan dalam dunia ekspor buah, “ketika kamu mengirimkan buah dengan kualitas yang lebih baik, pasti eksportir lain akan iri, dan merekalah yang akan merusak produk kamu. Tanpa kalian sadar, saingan kalian sebenarnya adalah negara lain.”
“Jangan mau dipecah-belah,” lanjutnya.
Gue diam membandingkan perdebatan shia-sunni plus Ahmadiyah di Indonesia. Di Arab Emirat, masjid shia dan sunni berdiri berdampingan. Daripada mencari bedanya, mereka mencari samanya, alasan untuk tetap bersahabat meski berbeda aliran.
Oh ya, di sini barang Cina dijual bebas pajak lho. Ada mallnya namanya Dragon Mart. Barangnya jadi murah-murah banget. Kalau bagasi cukup gue sudah pasti membeli mesin kelapa untuk di Indonesia. Aneh sekali mereka tidak takut dikuasai Cina.
Jadi, apakah tren di Indonesia baik atau buruk? Ah, bagi gue budaya bukanlah sebuah hal yang dapat dibanding-bandingkan. Setiap budaya punya keunikannya masing-masing, dan adalah yang terbaik bagi masyarakat pemilik budaya tersebut.
Gue percaya budaya Indonesia adalah yang terbaik. Namun akan ada yang menganggap budaya Arablah yang terbaik. Bagi yang merasa demikian, jika gue bilang Indonesia telah berhasil menjadi negara yang sangat Arab, please take my writing as a compliment.