Indonesia Vs Indonesia

Kalau Noordin M Top masih hidup, mungkin resor ini sudah jadi salah satu target aksi terorismenya. Meski gue saat itu gue sedang menginap di dalamnya, gue tidak sanggup menghilangkan pemikiran ekstrim ala negara korban terorisme.

Betapa tidak. Saat itu gue sedang menginap di sebuah resor eksklusif di salah satu ujung Sulawesi. Tipikal resor yang punya kolam renang pribadi dan sunbed persis di depan kamar. Meski arealnya luas, hanya ada tujuh kamar di sana, salah satunya, yang gue tempati, punya perahu cadik yang disulap jadi ranjang. Ketika membuka kamar, hamparan laut biru jernih langsung menyambut. Ada private access langsung ke spot snorkeling yang konon adalah salah satu yang terbaik di Tanjung Bira.

Tetapi, biar kata adalah salah satu resor terkece di Tanjung Bira, Indonesia, tempat ini nyaris tidak terakses oleh orang Indonesia sendiri. Sebagian besar tamunya bule, pakai bikini dan jemur-jemur. Kontras dengan pantai tetangga yang semua pengunjungnya berenang pakai baju lengkap. Penduduk setempat juga tidak banyak tahu, karena lokasinya terpencil, macam tempat liburan artis. Tidak ada papan nama tergantung di depan pintu besar gaya kuno yang terletak di atas bukit.

Siang harinya sebelum check in, seorang guide lokal menyatakan keheranannya ketika tahu gue, seorang Indonesia, akan tinggal di resor tersebut. Konon, resor milik orang Spanyol itu eksklusif untuk warga negara asing. “Mungkin lagi nggak ada yang punya,” ujarnya menduga. Kece. Khusus bule. Di tempat yang mayoritas turisnya domestik. Apa engga mirip sama beberapa klub malam di Bali yang melarang orang Indonesia dugem di situ sepuluh tahun silam?

Semakin yakin akan pemikiran gue, ketika malamnya bertemu tante nyinyir dalam sebuah pesta barbecue di resor tersebut. “So you happen to be a guest here!” demikian perempuan Indonesia itu mencetus, diikuti scanning dari ujung kaki ke ujung rambut seolah-olah jadi orang Indonesia dan jadi tamu resor, adalah dua hal yang tidak  berhubungan dan tidak sejajar satu sama lain.

Sepanjang malam, si tante nyinyir sibuk ngomong sama tamu-tamu bule. Sedangkan orang Indonesia? Masuk dapur saja rasanya bikin sempit dan perlu diusir! Kecuali kalau yakin benar orang Indonesia itu tamu sah dalam resor, tidak perlu ditegur manis. See! Tiba-tiba, gue yang orang biasa saja jadi pingin ikut pelatihan militan.
Habisnya, orang Indonesia memang cuma warga kelas dua di negaranya sendiri! Saat sibuk kerja, perlakuan diskriminatif sering ditemui di kantor. Bosnya warga asing, dan selalu menyelipkan tetangga serta keponakannya sebagai bos di bawahnya. Mereka yang punya modal, sih! Sedangkan warga Indonesia mentok karirnya di manajemen menengah.
Pulang kantor, makan di restoran kepala kentang atau restoran daerah bisnis distrik lainnya suka nggak dilirik lantaran bukan ekspat. Disuruh duduk di tempat yang sempit dan  keras. Kadang suka lama melayaninya. Beberapa tempat hiburan malam malah bisa bikin risih sendiri karena lupa bawa paspor. Takut disangka imigran gelap sanking isinya orang luar negeri semua.

Laluuu…ternyata…pas liburanpun, masih tidak bisa merasakan jadi warga kelas satu! Hampir seluruh resor mahal dan eksklusif di penjuru Indonesia dimiliki oleh asing. Biarpun letaknya tujuh jam dari kota besar terdekat, rate-nya masih pakai euro. Tamunya londo semua, sedangkan turis domestik bertumpuk di losmen melati, satu kamar lima orang, dengan tarif seperlima harga resor semalam.

Pulau-pulau tercantik Indonesia banyak yang sudah dikapling warga asing. Jangan mimpi boleh main ke pasir putih yang terhalus di gugus kepulauan itu. Berenang-renang ngintip terumbu karang yang belum dikapling saja musti bayar 50 ribu!

Padahal! Padahal! Belum tentu yang Indonesia ini lebih jelek dari yang asing. Dari sisi pekerjaan, selama sama-sama orang, dan sama-sama sekolah, asal rajin harusnya bisa diberi kesempatan lebih. Dari sisi liburan, belum tentu tidak punya Euro lebih banyak untuk menikmati fasilitas kelas satu. Buktinya di resor Tanjung Bira itu, penghuni kamar-kamar terbesar dan termahalnya justru orang Indonesia semua.

Namun, bahkan setelah bayar 50 ribu, setelah mampu membayar resor, seperti yang gue alami, tetap diragukan kelayakannya! Ini kan negara nenek moyangku! Yang sudah ditakdirkan Tuhan lengkap dengan terumbu karang dan pemandangannya jadi punya Indonesia! Kenapa jadi kita yang ngontrak? Kenyataan begini bisa buat over-nasionalisme memuncak. Mana sini bendera Amerika!

Untunglah saat gue masih mencari korek untuk membakar bendera, gue sempet merenung, dan menyadari bahwa… tidak adil jika bendera Amerika yang dibakar. Setelah gue pikir-pikir, bukan orang Amerika, juga bukan bule yang melakukan pembedaan dan diskriminasi, tetapi justru orang Indonesia sendiri.

Yang bilang orang Indonesia tidak bisa nginep di Amatoa Resor, justru orang Indonesia lainnya. Saat gue tidak sengaja menelepon langsung ke pemilik resor, ia sama sekali tidak punya pertanyaan soal kebangsaan. Kalau bisa bayar ya sok sana, nginep. Setelah mencari tahu, nampaknya hal itu semata karena jarang orang Indonesia yang memilih menginap di sana. Atau karena banyak rombongan snorkel yang main ke resor tanpa menginap, sehingga suka mengganggu ketenangan tamu sungguhan, asing maupun lokal.

Pertemuan gue malam itu dengan si tante nyinyir pun juga adalah karena gue diundang caretaker resor, seorang Spanyol, untuk merayakan hari terakhirnya di Sulawesi.  Sepanjang malam, kecuali tentunya si tante nyinyir, tamu-tamu lain, yang berasal dari manca negara, dengan santai bercengkrama dan menyapa. Tidak ada kecurigaan bahwa gue adalah penyelundup gelap yang numpang makan. FYI, si tante itu orang Indonesia yang punya suami bule saja.

Sepulang dari liburan, gue juga mengamati, bahwa pelayan resto kepala kentang itu semuanya juga orang Indonesia. Orang Indonesia, yang memandang rendah pada orang Indonesia lainnya. Juga orang Indonesia, yang memandang tinggi pada orang bule, sehingga memberikan otoritas dan kewibawaan lebih bagi orang asing untuk jadi pemimpin di kantornya.

Nampaknya justru mental rakyat jajahan, yang membuat bangsa ini tidak bisa jadi warga kelas satu di negerinya sendiri. Kelamaan ditindas, mungkin membuat orang Indonesia tidak menganggap tinggi pada rekan-rekan senegara. Yang bule selalu kelihatan kinclong. Akibatnya, pasrah saja jika yang enak dan yang kece dikuasai WNA. Merasa dirinya memang tidak layak, untuk menikmati priviledge warga utama.

Lalu, karena merasa diri tak layak, merasa rekan senegara yang lain juga tidak layak untuk hidup enak di negara sendiri. Lebih parah lagi, lalu menyalahkan pihak lain atas kehidupan tak layak yang sudah dipilih sendiri itu. Padahal, jelas tidak mungkin mengharapkan yang asing untuk menolak perlakuan lebih baik yang diterima tanpa perlu memaksa.

Seperti gue dan resor cantik gue. Bukan salah si bule jika orang-orang mengira tempat ini khusus untuk kaumnya, atau jika gue merasa risih ikut pestanya. Lha yang tengil bukan Spanyol kok, lha yang bilang nggak boleh bukan Spanyol kok. Tapi dia juga tidak akan berbuat apa-apa jika orang Indonesia bersikap luar biasa ramah padanya dan bukan ke gue. Juga tidak bilang apa-apa jika orang Indonesia memutuskan untuk menghidar dari resornya sehingga suasana jauh lebih tenang.

Tapi sebagai warga Indonesia, gue jadi keki pada si bule, jadi keki pada kepemilikan resor yang tidak sedikitpun ada modal lokalnya. Jadi pingin bakar bendera Amerika. Padahal, kalau alasannya adalah karena gue ingin protes pada bangsa pelaku diskriminasi, harusnya yang gue bakar adalah bendera Indonesia. Eh, tapi kok bakar bendera negara sendiri?

PS: Mau lihat keindahan alam Indonesia yang ternyata dinikmati paling banyak sama bule itu? Check out my travelling photos at BIra: http://margarittta.multiply.com/photos/album/31/Bira_E_Bira#

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *