Bisakah seseorang menjadi saksi kontes foto romantis yang sama? Bisakah seseorang punya mantan pacar yang sama? Bisakah seseorang mendapat inspirasi yang sama? Dan bisakah inspirasi itu dituangkan dengan cara yang sama?
Sejuta pikiran berkutat di otak gue ketika menonton FTV ‘Cinta Pake Kontes’ yang ditayangkan SCTV. FTV ini berkisah tentang seorang gadis yang begitu ingin mendapatkan hadiah hingga ikut kontes foto romantis dengan mengirim foto dengan mantannya. Mereka akhirnya terjebak pergi ke Bromo berdua karena hadiah lomba hanya bisa diambil pasangan suami istri. Sayang pacar baru sang mantan tidak rela dan akirnya mereka diadukan ke panitia hingga harus pulang paksa. Padahal keduanya telah jatuh cinta lagi.
Begitu mirip dengan alur cerita buku Cruise on You yang pertama kali gue terbitkan dalam bentuk post blog dua tahun lalu, dan cetakan pertama bukunya terbit 14 Febuari 2010 oleh Penerbit Atria. Buku yang tidak berawal dari imajinasi saja, tapi dari pengalaman pribadi rekan dekat dicampur pengalaman gue. Jika bukan menjiplak, maka penulis skenario berarti punya hidup yang sama persis saja dengan gue.
Gue tidak terlalu bisa menalar kenyataan ini. Meski baru menulis dua buku saja dan hanya blog saja, tidak pernah terlintas dalam pikiran gue untuk mencontek bahkan sekadar ide saja dari orang lain untuk tulisan gue. Bukan karena congkak bukan sok kreatif, tapi bagi gue, mencontek ide menulis adalah perbuatan menyalahi hakikat menulis itu sendiri.
Menulis, melukis, merancang busana, mengarang lagu, dan beberapa kegiatan penciptaan lainnya di mata gue termasuk golongan pekerjaan kreatif, yang gue bedakan dari pekerjaan industri. Meski sama-sama menciptakan sesuatu, kedua pekerjaan ini mempunyai sifat, tujuan, dan perlakuan yang berbeda.
Pekerjaan industri berfokus pada barang yang dihasilkan secara massal. Tujuan penciptaan barang adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pembuat barang tidak akan menikmati secara langsung hasil kerjanya, tapi dapat memenuhi kebutuhannya saat ciptaannya dikonsumsi orang lain. Maka sense of belonging terhadap barang akan lebih terasa oleh konsumen daripada penciptanya.
Ribuan pekerja Bangladesh tidak akan merasa tersentuh haru biru bangga saat melihat Adriana Lima berlenggok di atas catwalk memeragakan pakaian dalam terbaru Victoria’s Secret. Mereka bahkan tidak akan peduli siapa yang akan mengenakan BH hasil jahitan tangan mereka. Tau Adriana Lima siapa aja kagak…langganan Fashion TV aja kagak…
Seorang gadis ribuan mil dari Bangladesh, di negara antah berantah Indonesia bernama Margareta Astaman mungkin akan lebih mencintai BH tersebut daripada pembuatnya. Gadis itu mencuci tangan BH kesayangannya, lalu disimpan secara hati-hati agar tidak bengkok kawatnya. Di saat tertentu, ia akan dengan bangga mengenakan BH tersebut.
Dalam pekerjaan industri, bagus atau tidaknya konsep produk tidak lagi jadi perhatian. Yang penting adalah bagaimana produk tersebut bisa diciptakan sesuai konsep. Kebaikan industri dinilai dari jumlah yang diberikan, dan kualitas semua barang.
Bagi para pekerja konveksi, G-string pita-pita itu tak lebih dari seonggok kain yang dipersatukan beberapa benang yang mereka buat tanpa ada keinginan menciptakan. Fokus mereka adalah bagaimana benang bisa terjahit sesuai desain.
Sebaliknya, pekerjaan kreatif berfokus pada ide. Karena penciptaan ide itu sendiri tidak bisa digandakan, maka nilai pekerjaan kreatif adalah keunikan dan originalitasnya.
Origin, berarti asal, maka kepemilikan akan melekat pada penciptanya daripada yang menikmati. Demikianlah desainer Victoria’s Secret itu akan menjadi orang dengan senyum paling lebar ketika BH rancangannya dipamerkan di bawah lampu sorot oleh Adriana Lima.
Hasil pekerjaan kreatif memang bisa dinikmati orang lain, tapi lebih dari itu, pekerjaan kreatif berfungsi sebagai penyaluran ekspresi penciptanya. Konsumsi hasil kreasi oleh orang lain justru menguatkan kepemilikan ide dalam bentuk pengakuan.
Karena sifat dasar inilah seseorang menciptakan lagu ketika patah hati, atau jutaan orang termasuk gue menulis blog tanpa mungkin dibaca orang. Karena tujuan pekerjaan kreatif yang utama adalah penuangan ide ke dalam medium yang bisa dinikmati oleh terutama, penciptanya.
Pekerjaan kreatif dan industri tidak selamanya terpisah, melahirkan industri kreatif. Namun tetap, ada proses dan pengerjaan yang berbeda dalam kegiatan produksi ini. Tetap akan satu ide, satu pencipta, satu identitas. Band kafe menyanyikan lagu Peterpan setiap malam adalah kegiatan industri. Tapi tetap akan hanya ada satu Ariel, dan segala atribusi jika lagu itu bagus akan membuat Ariel bangga, bukan band kafe.
Maka gue tak habis pikir jika ada satu pekerja kreatif yang melakukan plagiarisme. Dengan mencontek, kegiatan menulis jadi kehilangan tujuannya. Buat apa menulis jika bukan untuk menciptakan sesuatu yang original?
Bisakah seseorang menjadi bangga akan ide orang lain? After all, tujuan utama membuat blog adalah mencurahkan perhatian. Jika meniru blog orang, bukankah sama dengan mencurahkan perhatian orang lain?
Apalagi jika seseorang seperti penulis naskah ‘Cinta Pake Kontes’ yang telah menerbitkan buku dan berbagai naskah sinetron. Gue membayangkan arsitek rumah gue yang takkan bisa bangga akan Monas yang jelas-jelas bukan hasil karyanya. Tentu sejelek-jeleknya, ia akan membanggakan kompleks RT 002/RW 010 Kelapa Gading.
Tapi kenyataannya, di negara ini nampaknya banyak orang yang mengaku kreatif padahal punya otak industri. Demi uang, demi royalti, demi memenuhi deadline menulis satu naskah seminggu, proses kreatif dikorbankan dalam pekerjaan kreatif. Seandainya tidak sedang mencontek, hasil karyanya asal-asalan, bahasanya kacau, isinya tidak bermoral.
Semua buku seorang penulis remaja bestseller dari penerbitan terkemuka harus ditarik karena ternyata seluruh serialnya hasil plagiarisme. Sinetron kejar tayang meniru plek drama Korea dan Jepang. Dan yang terakhir, gue menatap cerita yang rasanya pernah denger ini dalam bentuk sinetron nangis dangdut yang diberi twist hamil di luar nikah dan foto-foto adegan seks.
Tanpa kreativitas, pekerjaan kreatif tereduksi menjadi pekerjaan industri, membuat replika ide dalam bentuk massal tanpa bisa memberi arti bagi siapapun juga. Lebih buruk lagi, pekerja kreatif yang sesungguhnya jadi terluka karena hasil karya yang dekat dengannya, kehilangan sebuah harga penciptaan ide.
“Perlu gue ajarin bahasa nih orang, biar nggak niru lagi,” MasJe yang juga menonton mengomentari.
Tapi bagi gue, profesi adalah pilihan. Setiap orang bebas memilih jenis profesi yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mereka yang tidak kreatif tidak harus mengambil pekerjaan kreatif. Jika memang tidak ada yang bisa ditulis, tidak ada yang memaksa untuk mencopet ide dari buku-buku penulis kurang ternama.
Bekerja secara industri pun bisa menjadi baik, selama dilakukan sesuai prosedur. Industri Cina berkembang pesat karena mereka jago meniru teknologi dan menerapkannya dengan teliti. Maka daripada mengajarkan seseorang menjadi kreatif yang mungkin bukan hakikatnya, gue mengusulkan MasJe yang seorang arsitek untuk mengajarkan penulis skenario tersebut keahlian membangun jembatan.
Ya! Membangun jembatan, sebuah pekerjaan industri yang sangat diperlukan negeri ini. Warga pelosok pulau terpencil tidak keberatan kok jika jembatan mereka rupanya persis dengan jembatan di ke-32 provinsi di Indonesia. Yang penting mereka punya banyak jembatan guna memudahkan transportasi.
Atau membangun jalan. Itu juga kegiatan mulia yang tidak memerlukan kreativitas terlalu tinggi. Atau diajari membangun gedung sekolah. Pokoknya apa saja asal bukan merusak mental bangsa dengan sinetron tidak mendidik yang ide awalnya tidak original. Apalagi gue sedang dalam proses menerbitkan buku baru. Gue takut dicontek lagi!