“Kenapa ya Indonesia nggak bisa kayak Filipin?” Gue bertanya di suatu siang yang cerah di bawah pohon kelapa yang tumbuh subur di pasir putih nan halus, di hadapan laut biru muda yang jernih di satu sudut di White Beach Pulau Boracay.
“Ih, amit-amit jangan sampe,” cetus Idako, rekan perjalanan. <!–more–>
Gue tertawa, lalu kembali menyeruput es lemon yang bewarna biru laut.
Ada dua versi pandangan orang Indonesia kepada Filipina saat berwisata. Yang pertama: Sangat membenci. Kalau mau refreshing mencari kesegaran, bukan Filipin tempatnya. Masa ya, ada negara yang lebih bobrok daripada Indonesia!
Dari pertama mendarat di airport saja sudah nggak sreg. Bandara Ninoy Aquino yang paling hits itu punya empat terminal. Tapi antara terminal satu dengan yang lain tidak terhubung. Terpisah antara pom bensin, beberapa toko elektronik dan dilintasi macet kendaraan umum.
Negaranya amburadul. Punya jalan tol kayak jalan tol Tomang itu, cuma satu lajur dan macet begitu ada truk yang lewat. Jalanannya berdebu, bangunannya abu-abu kelabu semua. Ada juga sejenis bajaj, baik dalam rupa maupun kelakuan. Celakanya lebih panjang dan lebih sering menimbulkan kemacetan, namanya Jeep.
Belum lagi, banyak turis yang kena tipu dari awal. Taksi gelap ternyata bukan cuma di Bandara Soekarno Hatta saja. Di Filipin pun ada, dan menyikatnya tidak tanggung-tanggung. Perjalanan sepanjang 20 menit bisa menghabiskan.. LIMA RATUS RIBU RUPIAH! Padahal naik mobil ompreng dari Kalibo ke Boracay selama dua jam hanya menghabiskan lima puluh ribu saja.
Ada banyak alasan membenci Filipin dan mencoret daerah ini dari tujuan wisata. Kalau mau lihat pantai, lihat kota, udah deh di Indonesia juga banyak kok yang mirip-mirip!
Tapi seperti yang gue bilang, ada dua versi, dan yang kedua adalah: Sangat Menyukai. Meski tentunya ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk menyukai Filipin.
Interaksi pertama gue dengan FIlipin adalah ketika gue membolos dua minggu masuk universitas dan berakhir mendapat semua tugas sisa, termasuk mempresentasikan tentang ‘Broadcasting Industry in the Philippines’. Matilah sudah, cari info dari mana!
Namun apa yang awalnya merupakan tugas dari neraka, berakhir gemilang setelah gue berkenalan dengan pembantunya teman gue yang dari Filipin, dengan Oomnya temen gue yang tinggai di Amerika, dan teman oomnya itu mengenalkan pada teman yang lain dan seterusnya.
Seolah seluruh negara berusaha menolong gue. Sehingga di saat presentasi, gue bukan hanya tahu persis tren televisi di Filipina, tetapi juga punya video greetings dari artis pendatang baru, dan survey dari beberapa ratus orang Filipina. Gue mendapat A+.
Tentu saja gue suka Filipin! Tapi kalau di lihat di sini ada beberapa syarat:
1. Loe harus santei, yang bolos dua minggu di awal tahun pelajaran
2. Loe harus doyan kongkow, dan siap meladeni obrolan satu keluarga besar
Bukankah liburan harusnya dinikmati dengan mentalitas seperti ini?
Manado merdeka.
Demikian kesimpulan gue akhirnya tentang Filipin. Seperti dalam setiap stereotip, selalu ada hal-hal positif yang menarik sebagian orang. Namun yang positif ini, bagi orang yang lain mungkin adalah hal paling negatif yang terjadi. Dan dalam pertemuan gue dengan berbagai bangsa, belum pernah gue menemukan yang menepati stereotip segini persisnya, stereotip punya orang Manado.
You love it or you hate it, itu akan menentukan impresi loe terhadap Filipin.
Sebanyak gue menyukai orang Manado, banyak juga yang melihat stereotip negatif pada suku ini. Mereka yang menyebut orang Manado hanya memperhatikan penampilan saja, menghabiskan uang dan waktu untuk segala kegiatan hura-hura tanpa hasil yang jelas.
Seorang teman berdarah Manado pernah bercerita salah satu oomnya mengadakan pesta hanya untuk merayakan kipas angin baru. Dan saat di sebuah pesta panadanya tidak habis dibungkus tamu, seorang ibu Manado bisa sangat berduka menduga panadanya kurang enak.
Ya, tentu saja itu benar. Boracay adalah sebuah pulau liburan yang sangat maju. Perekonomian terasa begitu hidup, dengan berbagai sector wisata yang dikembangkan. Namun masih mudah terlihat rumah-rumah gubuk berdinding anyaman bambu bahkan di pinggir jalan-jalan besar.
Slogan rumah boleh gubuk tapi pesta jalan terus, jo! Nampaknya pas sekali di sini. Sepanjang jalan, gue hanya melihat orang-orang berbaju keren dan rapi. Tidak ada gembel, tidak ada baju lusuh kecuali pengemis.
Efisiensi juga jelas bukan yang diutamakan di sini. Sejujurnya, pergi ke Boracay itu susah banget. Selain gue harus naik pesawat yang suka ngebut, ketika tiba di Kalibo juga gue harus naik mobil ompreng yang semena-mena, baik dalam jumlah penumpang maupun jadwal keberangkatan.
Dan tiba di dermaga penyeberangan ke Boracay, gue harus melakukan tiga kali pembayaran, untuk environmental cost, untuk pajak dermaga, dan entah satu lagi gue lupa. Yang jelas gue cukup bingung akan ke mana gue harus melangkah.
Namun gue jelas berpihak ke mana. Teman-teman gue banyak yang orang Manado. Bagi gue bersahabat dengan suku ini sangat menyenangkan! Mereka biasanya easy going, doyan kumpul-kumpul, heboh, fun, dan tidak terlalu memusingkan masalah hidup yang mendasar. Apalagi, mereka sering bapesta dan gue bisa babungkus.
Dan semua gaya itu yang gue temukan di orang FIlipin. Bandara domestik Manila adalah satu satu yang terburuk dari jajaran bandara domestik di Asia Tenggara. Padat, panas, tanpa antrian yang jelas. Gue tiga kali salah ngantri. Yang pertama gue mengantri ternyata ke Tacloban. Yang kedua, gue mengantri ternyata ke Puerto Princessa. Setelah ganti yang ketiga barulah gue mendapatkan antrian yang benar: ke Kalibo.
Ditambah lagi, sistem check in lagi mati. Terbayang antrian yang lama dan tidak efisien itu jadi bertambah lama tiga kali lipat. Namun tidak tampak wajah-wajah setres apalagi marah-marah di wajah para penumpang.
Sebuah keluarga yang mengantri di depan gue malah bergiliran mencoba menimbang badan di timbangan bagasi di samping meja check in. Pertama anaknya, lalu kakaknya, lalu ibunya dan terakhir ayahnya. Sesekali mereka bercanda, pura-pura membuat timbangan makin berat.
Gue yang sudah spaneng karena nyaris ketinggalan pesawat, jadi ketawa-ketawa. Demikian juga saat menunggu pesawat. Seperti yang gue duga, pesawat delay hampir 1,5 jam. Namun tidak ada tatapan putus asa. Semua menanti dengan santai. Gue yang tadinya mau marah-marah jadi malu, lalu ikutan santai.
Sablengnya juga sama. Saat penerbangan Jakarta-Manila, gue menemukan bahwa pesawat gue tiba setengah jam lebih awal. Ooh..mungkin karena penerbangan malam, jadinya bisa lebih cepat…
Lalu saat ke Kalibo, pesawat gue tiba tepat waktu. Padahal kami berangkat 1,5 jam lebih lambat. Ooh.. mungkin karena ada yang sakit… Dan ketika kembali dari Kalibo ke Manila, gue berani bertaruh bahwa pesawat gue akan ngebut lagi.
Saat akan berangkat, si pilot mengumumkan dengan nada santai, “mustinya sih kita tepat waktu ya, tapi karena pesawat Cebu Air itu delay, kita jadi musti nunggu, karena izin terbang kita setelah Cebu Air. Tapi santai aja, di Manila juga lagi padat banget bandaranya, jadi kalau kita sampai sana belum tentu bisa mendarat.”
Sesaat kemudian si pilot merasa tidak sabar dan mengumumkan bahwa kita tetap akan berangkat duluan. Dan 15 menit kemudian ia mengumumkan lagi bahwa kita sudah sampai di atas Manila namun belum bisa mendarat karena baru ada pesawat tergelincir. Padahal, penerbangan itu harusnya ditempuh selama 1 jam 15 menit!
Alhasil gue menghabiskan 15 menit pertama dalam pesawat yang ngebut, lalu 45 menit berikutnya terkatung-katung di atas langit Manila.
Sudah pasti, liburan ke Boracay menjadi salah satu liburan gue yang paling menyenangkan. Filipina punya kontur pantai yang mirip pantai-pantai terbaik di Sulawesi. Pasir putih sehalus pasir Belitung, dipadu dengan pantai secantik Tanjung Bira, PLUS hip-hip hura ala Bali.
Sepanjang hari gue habiskan bersantai-santai di tepi pantai, mandi-mandi dan leha-leha atau menyelam pakai helm. Lalu sepanjang malam gue habiskan berhura-hura, dengan minuman super murah dan hiburan heboh ala bencong Filipin. Ada satu area White Beach di mana semua kafe terpusat, dan pantai ini jauh lebih cantik daripada Kute.
Apalagi, berkat perekonomian yang kurang maju, segala sesuatunya jadi terasa lebih murah. Penginapan gue seharga 750 ribu semalam, adalah sebuah condotel mewah, dengan dua infinity pool dan private beach serta spa di tebing ala Ayana Bali. Gue juga punya free shuttle 24 jam yang bisa gue gunakan ke mana saja ke seantero Boracay.
Sedikit tip saja sudah membuat gue bak raja. Menikmati semua aktivitas laut serta makan lobster, udang galah serta ikan langka di pasar ikan.
Itulah sebabnya gue berharap Indonesia bisa menjadi sedikit lebih seperti Manado, eh maksudnya Filipin. Santai dan cuek dalam pengembangan pariwisata. Tidak terlalu kaku menjalankan aturan adat kepada para turis yang cupu macam gue. Lebih bisa memperhatikan kenyamanan wisatawan.
Dan kalau bisa sih, lebih murah gitu…
See how fantastic Filipin is! di: It’s More Fun in the Boracay!