“Ini tulisan Cina-nya tolong dihilangkan,” ujar Mbak petugas visa China sambil melingkari alamat hotel dalam print voucher Booking.com yang menjadi salah satu persyaratan aplikasi visa.
“Tapi kan hotelnya di China?” gue bertanya masih belum mudheng.
“Iya, tapi nggak boleh tulis Cina, musti CHI-NA” jelasnya
“Ini kan otomatis dari Booking.com-nya Mbak, bahasa Indonesianya chaina itu Cina!”
“Ya kalau gitu pakai versi Bahasa Inggrisnya aja!”
“Nggak ada, adanya versi Bahasa China.”
“Ya udah pakai Bahasa China!”
“Nanti saya nggak bisa bacanya…”
“Ya udah ilangin aja pokoknya itu kata Cina, cukup sampai kotanya saja, ya? Jelas?”
Pernah punya pengalaman ditolak aplikasi visa Chinanya, gue memutuskan untuk ngikut saja, daripada sekali lagi ditolak di negeri leluhur, padahal jadwal pameran buah-buahan sudah dekat!
Gue kemudian menyusuri gang-gang di balik Mega Kuningan untuk mencari tempat print-print-an yang membuka jasa photoshop guna mengedit voucher hotel. Sambil melangkah melompati gorong-gorong bolong, gue kembali merenungkan soal China, Cina, Chenes, Tiongkok, Tionghoa, Zhongguo, Cungkuo ini.
Pada saat itu tentu gue belum paham bahwa orang China memang sensitif terhadap pengejaan kata C-I-N-A karena mengingatkan mereka akan penderitaan ketika berperang melawan Jepang.
Baru beberapa lama kemudian gue membaca sebuah artikel koran Republika tahun 2011 yang mengutip Zan Liang, Sekretaris III Kedutaan China. “Saat itu, orang Jepang memanggil kami dengan sebutan Cina. Hingga sekarang kata itu membuat kita merasa direndahkan,” demikian terkutip dalam artikel yang menyebut Tiongkok sebagai C-I-N-A itu. Tuman emang.
Saat itu gue malah lebih mempertimbangkan apakah Kedutaan China punya trauma sejarah yang berbeda dengan gue sehingga melihat kata Cina itu sebagai kata derogatif. Sebagai salah satu anak generasi milenial (pinggir), gue memang lebih sans terhadap penggunaan sebutan Cina.
Berkat pendidikan sejarah yang terputuskan, sebanyak generasi gue tidak banyak diajarin kontribusi keturunan Tionghoa dalam kemerdekaan Indonesia, kita juga tidak memahami fakta sejarah yang menyebabkan kata Cina itu menyinggung.
Maklum, siapa yang sekolahnya pernah nyuruh menghafal isi Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967? Padahal di sinilah peresmian pengembalian sebutan umum Tiongkok menjadi Cina dengan alasan ‘menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, dan menghilangkan rasa superior pada golongan yang bersangkutan di dalam negara kita’.
Biarpun konon tujuannya adalah untuk China sebagai negara dan orang-orang Tionghoa dari sono aslik, sentimen anti China sudah eksis dari zaman segregasi kelas Belanda. Dan jadilah istilah Cina dipakai buat juga merendah-rendahkan WNI keturunan Tionghoa sekalian.
Namun seandainya tahu sejarah ini, rasa anak-anak seumur gue dengan bapak ibu yang ngalamin sendiri tahun 1965 tentu berbeda. Gue nggak punya trauma sejarah yang sama. Kalaupun ada temen-temen yang nggak mau disebut Cina, alasannya sudah bukan lagi pengalaman historis, tapi sekadar bagaimana kata tersebut digunakan dalam frase ‘Dasar Cina’.
Viva.co.id sempat membuat eksperimennya tahun 2018, menanyai keturunan Tionghoa di Jakarta jika akan kesungging dipanggil Cina. Mereka yang merasa tersinggung, biasanya adalah mereka yang berusia 50 tahun ke atas. Sedangkan mereka yang gen milenial ke bawah itu santai aja, asal jangan manggilnya dengan nada merendahkan seperti ‘dasar Cina’ atau ‘Cina pelit!’.
Eksperimen serupa juga dilakukan di kota yang lagi hangat dibincangkan terkait isu pluralisme, Haluan TV yang berbasis di Padang tahun 2019, dengan hasil yang serupa. Intinya, bagi generasi milenial, kalau emang Cina mah Cina aja!
Sedangkan gue, justru mencina-cinakan diri setelah memahami bahwa tidak seperti alamat hotel, gue bisa menjadi Cina dan Indonesia di saat yang bersamaan. Gue ikut aliran bahwa cara efektif untuk melawan penghinaan, adalah menggunakan istilah yang mengandung penghinaan itu sebagai istilah biasa.
Kalau kata Cina ini tetap disakralkan, maka ia akan terus dipakai untuk jelek-jelekin orang semacam gue. Tapi kalau kata Cina ini gue pake setiap hari, lama-lama jadi netral. Sorry, elu kagak bisa menghina gue bilang dasar Cina, buat gue kata itu netral, paling bakal gue jawab EMANG! Terus elu jadi mingkem soalnya elu juga nggak tau kenapa dasar Cina itu harusnya menyinggung…
Kalaupun mencina-cinakan diri ini kemudian memancing esmosi, gue menggunakannya untuk memahami lawan bicara. Apakah karena punya pemahaman sejarah yang sama? Atau sekadar nggak mau ngaku Tionghoa? Jika yang pertama gue minta maaph. Jika yang kedua, gue sekalian nyelipin fakta sejarah kayak pas nulis blog gini. Tentu sambil lihat-lihat, kalau orangnya rada tuwir, gue akan dengan hati-hati pakai kata Tionghoa, takut kualat!
Yang jelas, buat gue, mau malu atau bangga dipanggil Cina, mau malu atau bangga dipanggil Tionghoa, yang penting harus ngerti kenapanya. Jangan sampai ada anak manusia yang merasa bagian sesuatu kaum, lalu ketika ada yang bilang bahwa sesuatu kaum itu jelek, percaya aja lalu merasa jelek. Padahal aslinya kece. Kan kasihan.
“Mau ngilangin Cinanya ya?” Mas penjaga warnet menyambut dengan senyum penuh kemenangan, ketika gue melangkahi bingkai kayu bangunan semi permanen di sisi Gang Perintis itu. Meski warung berukuran 4 x 6 meter itu tidak kelihatan sebagai tempat paling sesuai untuk membuat lipatan mata atau memancungkan hidung, gue mengangguk semangat.
Mas warnet segera mempersilakan gue duduk di hadapan komputer berkonde, yang sudah dilengkapi aplikasi sederhana pengeditan. Rupanya gue bukan orang pertama yang berusaha memanipulasi voucher hotel. Gue menambahkan kotak putih tanpa bingkai di atas kata Cina di file pdf voucher hotel.
Sesaat kemudian, voucher dengan identitas baru itu meluncur dari bibir mesin fotokopi yang juga digunakan untuk fotokopi paspor lama serta kebutuhan visa lainnya. Gue segera kembali pada pusat aplikasi sebelum batas waktu yang ditentukan. Dalam waktu kurang dari satu minggu, aplikasi visa yang sudah politically correct itu keluar dan guepun meluncur ke Shanghai menghadiri konferensi buah-buahan.
Selamat menyambut Tahun Baru Cina eh China! (Ingat! Tidak ada koma di dalam kalimat!)
**tentu ini pengalaman di masa sebelum pandemi, di mana yang membatasi kita berkeliaran bebas tanpa batas hanyalah batas-batas negara dan persyaratan visa!