Jangan Marah kalau Dibudakin Asing!

“Aku pikir Balikpapan tuh kebanyakan kayak gini,” komentar Idako, ketika melewati sebuah kampung terapung di muara Sungai Hitam, sesaat setelah melewati rimbunan hutan hujan tropis di tepi sungai dengan populasi buaya yang cukup padat.

 

Gue merespon dengan tatapan prihatin, dasar anak kota!

 

“Loh gimana, ini kan pertama kali ke Balikpapan!” Idako membela diri. Gue mencibir sekali lagi, makanya banyak jalan-jalan. dong!” Lalu menatap ke depan semacam petualang sejati. Padahal, sebenarnya gue punya pemikiran yang sama, ketika pertama kali ke Balikpapan.

 

Don’t blame us. Pengenalan kami akan Balikpapan hanya lewat teman-teman kami, anak Pertamina. Maksudnya, anak-anak yang orang tuanya kerja di sektor minyak. Sebagian besar dari mereka harus menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota minyak Balikpapan, atau kota satelitnya, Bontang.

 

Dan cerita mereka sama sekali tidak mendeskripsikan tempat yang menarik. Panas, pengap, bosan, nggak ada hiburan, cuma ada hutan, sama sungai, sama buaya, ga asik, ga indah. Begitu selalu ingatan masa kecil mereka.

 

Seorang teman pria yang bekerja untuk perusahaan minyak tersebut bahkan ngotot pulang ke Jakarta seminggu sekali untuk mengadakan pesta nakal di apartemennya lalu ketika cuti menghabiskan waktunya tiga kali seminggu di panti pijat sejenis. Alasannya: Di Balikpapan kurang hiburan, perlu pelampiasan.

 

Itulah sebabnya, di kali pertama gue ke Balikpapan, bertahun-tahun kemudian, gue tidak extend. Cukup satu hari aja. Nggak ada apa-apa, kan?
Ketika gue menjejak di Balikpapan, gue sebenarnya merasa telah ditipu. Gue menemukan sebuah kota yang teratur dan rapi, dan melihat tanda-tanda kemakmuran di setiap sudutnya. Mal memang tak sebanyak di Jakarta, tapi ada, dan demikian juga dengan cabang banyak restoran, butik serta perawatan kulit dari Jakarta.

 

Di sana bahkan ada DELTA SPA! Sesaat gue teringat sang teman. Sekarang gue bertanya-tanya apakah perilaku itu dilakukan karena perlu pelampiasan, atau karena kebiasaan? Gue yakin gue terlihat seperti gadis desa yang sangat naïf mempercayai alasan semacam itu selama bertahun-tahun. 

 

Seketika, semua stereotip tentang Balikpapan yang membosankan langsung runtuh. Kalau dibilang Balikpapan nggak punya barang khas untuk dibeli, well, budget belanja gue dibandingkan kota-kota lain di Indonesia, adalah terbesar di Balikpapan. Bolak balik ambil ATM demi memborong perhiasan emas, berlian, mutiara dan batu-batu mulia lainnya di Pasar Kebun Sayur. Kualitas bagus harga cenderung miring.

 

Gue pun menikmati sore yang nyaman di pinggir Pantai Kemala. Sebuah pantai berpasir putih halus macam pantai di Tanjung Bira. Letaknya persis di balik jalanan utama kota Balikpapan, Jalan Jendral Sudirman. Ada juga restoran tepi pantai macam di Jimbaran. Tampil trendi remang-remang dengan pencahayaan lilin. Di Balikpapan nggak ada tempat romantis? Ah, gue ditipu lagi.

 

“Kita juga kalau dipaksa tinggal di sini juga begitu kali,” Idako memberi balancing point.

Itulah yang gue khawatirkan.

Di sepanjang jalan teratur dan bersih milik Balikpapan, terlihat tanda-tanda pembangunan yang luar biasa. Toko alat berat, mesin mekanik, kantor eksplorasi minyak berjejer megah. Namun semuanya impor. Tidak ada yang buatan Indonesia.

 

Ketika tiba di Samboja, pusat rehabilitasi orang utan yang dipelihara manusia sebelum kembali ke hutan, gue langsung bertaruh bahwa tempat ini adalah milik asing.

“Masa sih, yang maintain tapi orang Indo kok,” kata Idako.
“Iya, tapi konseptornya pasti orang asing. Tempatnya rapi, penginapannya menyenangkan, lagian, rasanya nggak mungkin ada orang Indonesia yang peduli orang utan dan hutan yang terbakar.” Jelas gue dangkal.

 

Dan memang benar. Samboja dibangun atas modal seorang Belanda, berkembang atas dasar dukungan donasi asing, dan kemudian diakui pemerintah.

 

Nyaris tidak ada bantuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan yang keburu gundul lalu terbakar berkobar-kobar. Samboja membeli satu demi satu hektar lahan ilalang, memupuk, menanam, hingga akhirnya kembali menjadi hutan hujan tropis.

 

Boro-boro bantuan, minjem helikopter militer untuk melepas kembali orang utan ke hutan saja di-charge harga normal, 5 M untuk dua kali jalan. Padahal orang utannya punya Indonesia.

 

Kekhawatiran gue meningkat saat itu. Selama ini gue selalu mencaci asing yang seolah menjajah bangsa ini. Menguasai semua resor eksklusif di tempat tereksotis Indonesia.

 

Tapi jika tidak ada orang asing yang menghargai kekayaan Negara ini, siapa yang akan peduli nasib beruang madu yang dipisahkan dari ibunya sejak umur 3 bulan? Bagaimana gue masih bisa melihat bekantan di Sungai Hitam di Samboja?

 

Kenyataannya, gue yang orang Indonesia tidak sepeduli itu dengan kekayaan alamnya sendiri. Yang tinggal di Balikpapan saja akhirnya jadi konsumen semua. Kalaupun ada, biasanya sekadar mengeksploitasi bahan mentah. Yang punya kekuatan mencegah, biasanya sudah dijejali suap sampai belagak bego.

 

Dan jika sumber dayanya sudah dikuasai asing, salah siapa kalau akhirnya yang tinggal di sini harus membabu pada asing yang menguasai sumber daya?

 

Mau nyalahin pemerintah? Bisa juga sih. Mereka itu dosanya banyak. Baru sekarang kowar-kowar mencegah penebangan hutan. Telat. Hutannya emang udah abis, dibalak semua.

 

Tapi menurut gue yang juga tidak kalah salahnya adalah gue, orang Indonesia yang terlalu sibuk mengincar posisi di perusahaan multinasional, hingga lupa bahwa kekayaan terbesar ada di jantung Indonesia sendiri.

 

Membiarkan semua potensi terlihat ‘biasa saja’ buat gue, dan buat orang asing adalah permata tak ternilai, diasah, kinclong, lalu ‘ngeh’nya belakangan. Kemudian misuh-misuh merasa permatanya diambil.

 

Kalau begitu, ya jangan marah kalau diperbudak bule! Kita yang nyari gara-gara!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *