Setiap kali melihat pasar ikan, gue selalu teringat seorang teman yang ditinggal kawin karena gagal ujian memilih ikan.
Di hari ketiga liburan romantis bersama sang pacar di Bali, si teman, kita panggil saja Miss Vi, diajak ke sebuah pasar di Jimbaran di mana ia disuruh memilih ikan yang segar. Miss Vi, bos perusahaan event organizer yang memang jarang ke pasar juga jarang masak, berakhir dalam kegagalan.
Sepulangnya dari liburan tersebut Miss Vi diputusin. Tiga bulan kemudian, lelaki tersebut menikahi perempuan lain. Gue selalu berseloroh jika itu gue, maka gue akan naik banding. Jangan milih ikan dong, emang loe pacaran sama Mentri Susi. Bawa gue ke pasar induk! Bakal gue tunjukkan kemampuan milih manggis yang gak getah kuning sekali pegang!
Tapi Miss Vi yakin biarpun gue bisa milih manggis, gue tetep bakal ditinggal kawin jika nggak bisa miih ikan. Pasalnya, Miss Vi sudah lulus ujian masak rendang, biarpun sebenarnya ia curang, karena memakai panci presto sehingga hanya memakan waktu 2 jam.
Di lain kesempatan, teman yang lain, kita sebut saja si Eneng, tangannya menegang menggenggam pisau, ketika calon pacar saat itu tiba-tiba berkomentar, “kok kamu motong wortelnya ga secepet mamaku sih?”
Beruntung Eneng, seorang dosen di sebuah universitas negeri ternama Indonesia adalah orang yang halus dan penyabar. Kalau itu gue, tentu sudah ada anggota tubuh yang terpotong lebih cepat daripada tukang sop buntut motong wortel.
And we are the ones who are labeled ‘picky’?
Berjuta-juta kali, sebagai perempuan di atas 30 tahun yang nampaknya tidak punya masalah serius disfungsi seksual atau kepribadian ganda, gue menerima pertanyaan tersebut, ‘kok belum nikah sih?’. Dan setiap kali gue menjawab secara apa adanya tanpa tendensi pencitraan bahwa gue ‘belum ada yang mau’, gue disambut dengan rentetan tuduhan yang menurut gue tidak lebih baik daripada klaim bahwa gue emang nggak laku, yaitu:
Ah masaaa.. lebih mentingin jalan-jalan kalii..
Ahhh.. pasti cari yang karirnya sama hebatnya ya.. susah mbaaak..
Aduhh.. pasti banyak yang mau tapi mbaknya banyak syarat!
Mbak bohong yaa.. pasti mbak suka nolak-nolakin cowo ya kan.. ayo ngaku!
Danlainsebagainya, yang jelas menuduh gue sebagai perempuan yang egosentris, penuh dusta, punya syarat 1000 candi sebelum dinikahi, yang menganggap remeh kaum adam. Padahal dalam kenyataannya justru sebaliknya.
Bahwa justru semakin tinggi pendidikan, jabatan, serta usia seorang perempuan, semakin tinggi juga syarat-syarat yang diajukan oleh kaum pria untuk menjadi kekasihnya, sehingga tidak masuk akal untuk dipenuhi.
Bagi perempuan freshgraduate usia 22 tahun, persyaratan pernikahan lebih meliputi bisa masak sederhana (goreng telur, sayur bening, nanak nasi), nggak bikin ngamuk mertua, bisa Microsoft word, excel dan powerpoint.
Tapiii… bagi perempuan berkarir atau berpendidikan tinggi, persyaratannya bertambah menjadi
- Bisa membedakan ikan jenis kudu-kudu segar dengan mata tertutup
- Mengganti popok dengan satu tangan dalam waktu kurang dari 1 menit
- Masak rendang pakai kayu bakar yang lebih gurih daripada rendangnya Padang Surya Benhil
- Naik sepeda roda satu membawa lima rupa sayur-sayuran dari Kramat Jati ke Kelapa Gading
Yang tentunya jika gue punya kemampuan semacam itu, segala gelar tidak akan gue gunakan karena gue sudah punya acara masak-memasak sendiri di TV menggantikan Sisca Soewitomo.
Okelah, gak seekstrim itu, tapi gue merasa syaratnya bertambah dan merambah ke ke luar ‘area of expertise’ kami. Seolah-olah kalau kami wanita karier, maka sudah pasti tidak cakap berumah tangga, tidak tunduk, tidak memenuhi syarat-syarat istri yang baik. Untuk itu perlu ujian, tapi ujiannya yang berat sekalian.
Padahal pernah nggak gue kemudian minta si calon suamik untuk:
- Memancing ikan kudu-kudu tadi di Kepulauan Selayar
- Mencari kayu bakar di Taman Nasional Bukit Barisan serta menyalakan apinya dengan menggosok-gosokkan batu
- Jadi juara lomba lari marathon 100K keliling Tambora mengalahkan pelari Ethiopia
Nope.
Nope.
Nope.
Dan jika ada yang mengira bahwa lelaki yang kami hadapi adalah bangsawan Enggeris cucunya ratu Elizabeth, sehingga jelas aja banyak permintaan dan sedikit yang bisa dituntut, nope, nope, nope, salah lagi.
Pacarnya Miss Vi, Eneng, ataupun beberapa lelaki yang misi-misi numpang lewat kemarin, sebenarnya lelaki semenjana saja kok. Atau mungkin justru karena kesemenjanaannya, berusaha menutupi insecurity justru dengan mengajukan syarat dan kondisi yang sulit terpenuhi sehingga terkesan, pasangannya juga bisa gagal?
Suatu kali gue menunjukkan koleksi mobil-mobilan die-cast gue pada seseorang. Gue memang hobi ngumpulin begituan dari kecil. Biar jadi motivasi suatu hari untuk beli yang beneran. Khayalan babu sore-sore gue itu ditanggapi sinis olehnya, ‘terus siapa yang berani nikahin kamu kalau nyetir Lambo?’
Entah karena letih dengan asumsi prestasi seorang perempuan yang paling berharga adalah menikah. Atau gerah melihat kelakuan yang egosentris sedemikian. Nawarin kerja keras biar bisa beli kek.. Teraspirasi untuk bermimpi tinggian kek..
Gue mencetus, kalau gue sudah berhasil membeli mobil itu, tentu gue sudah cukup sukses dan gak akan punya waktu untuk puk-puk ego lelaki yang PD-nya cuma setinggi pohon toge! Needless to say, gue tidak pernah melihatnya lagi. Mudah-mudahan, sekarang PD-nya sudah berkecambah dan jadi kacang ijo.
Pengamatan mata gue ini memang berbanding terbalik dengan dating trend dunia yang dipublikasikan dalam Journal of Evolutionary Psychology. Katanya sekarang ada Clooney Effect, yaitu 87% lelaki mulai mendambakan perempuan yang lebih independent dan berhasil secara finansial, sedangkan perempuan tidak mengubah preferensinya. Tetap maunya lebih matang, lebih kaya, lebih… banyak maunya pokoknya.
Tetapi riset ini tidak sampai pada hasil akhir BERAPA yang kemudian betul-betul punya pacar perempuan lebih matang dan lebih super itu. Apakah yang 13% itu kebetulan tinggalnya di Indonesia semua, atau memang ada selisih antara aspirasi, apa yang dianggap keren, dengan apa yang kemudian terasa nyaman dijalani.
Gue kira gue, Eneng, atau Miss Vi sudah cukup amsyong. Tapi masih ada Loli, yang baru menyelesaikan beasiswa S3-nya di Geneva. Loli yang di saat kami baru lulus kuliah, sudah bergaji 9 digit.
Bayangkan, ujian macam apa yang harus ia lalui untuk membuktikan kemampuan seimbang dua alam pada calon suami. “Percuma si Loli, kuliah tinggi-tinggi, kalau nggak bisa masak rendang pake tungku 8 jam, nggak bakal dinikahin!” gue terkekeh.
Loli berkata penuh kemenangan, “Asal loe tau ya, gue kalau masak pake bumbu rendang Indofood, jangankan 8 jam, kompornya gue nyalain 24 jam!” Lah Lol, ini bukan lomba lama-lamaan masak! Itu mah cuma kuat-kuatan beli tabung gas!