Jika Aku Besar Nanti

Dimana kamu kancing rok-ku? 

Tiba-tiba saja engkau pergi meninggalkanku Kehilangan kamu membuatku sengsara Tak taukah kamu bahwa kini fitnah telah menerpaku?

Puisi pendek di awal pagi

 “DEE! KANCINGNYA YG PALING ATAS KOK ILANG?”

Sebutir kancing membuat kegegeran di pagi yang cerah. Entah kapan dan dimana Si oknum kancing ini melarikan diri dari rok gue. Yang jelas, nyokap gue bermaksud mengusut tuntas perkara ini.

 

Bagaimana mungkin gue ga nyadar kehilangan kancing sebesar itu yg letaknya sedikit di bawah dada di bagian depan? Jika hilangnya pada saat dicuci atau disetrika, pasti ada jejaknya. Bagaimana mungkin  kancing yang terjahit kuat bisa copot begitu saja? Kemana aja? Bisa hilang dimana?

 

Terdakwa satu: Margareta, punya alibi kuat bahwa dia tidak terlibat kasus hilangnya kancing: 1. Hari itu gue pulang cepet, jadi ga mungkin sempet kemana2 dulu. 2. Ini bulan puasa, jadi kemungkinan aneh2 berkurang 80%, plus sisa yang 20%-nya takut dibambu runcing FPI. 3. SUMPAH GUE GA TAU DIMANA SI KANCING! Gue bahkan baru tau kalau rok gue kancingnya ada 3!

 

Dari jauh si kancing mengirim salam kepada gue: SELAMAT DATANG KEMBALI DI RUMAH ORANG TUA! Meski tidak terang-terangan, si kancing seperti menjadi pertanda bahwa kini gue harus berhati-hati dan mempertanggungjawabkan segala tingkah laku.

 

Gue mengalami cultural shock: dari perjaka di ranah rantau, menjadi perawan pingitan. Selama empat tahun hidup sebatang kara, mau pulang jam 7 pagi, mau ga pulang, semua jadi tanggung jawab sendiri. Apalagi masalah kancing copot, ga bakal ada yang peduli, asal tetep lulus tepat waktu dan tidak merepotkan kluarga dengan bayi tanpa ayah. Tapi pas balik ke rumah, teman sepergaulan, gaya bergaul, harus dimonitor secara seksama.

 

Dan cultural shock ini membuat gue takjub, bagaimana mungkin setelah empat tahun jadi orang dewasa, gue kembali dilemparkan ke periode ABG? Ketika seringkali gue protes tapi aku kan uda gede…uda bisa jaga diri..uda ngerti tanggung jawab…Kalau kaya gini, kapan sih gue gede-nya? Di umur brapa gue, seorang perempuan kota dinyatakan: yap! Kamu sudah dewasa! Bisa dipercaya!

 

Lalu mulailah gue mencoba menerka, takaran macam apa yang dipakai…

A.      Sampai kawin

Mengingat keperawanan sering dibawa-bawa dalam tingah perilaku, nampaknya sampai menginjak pelaminan seorang perempuan akan dianggap anak kecil yang harus diatur dan dikontrol. Tapi ini sungguh criteria yang tidak bisa diterapkan! Bagaimana jika gue ga kawin sampai umur 40? Masa iya tetep diaturin? Atau..kalau yang MBA umur 18, sudah layakkah beliau dianggap dewasa atas tindakan yang mencerminkan kurangnya kehati2an?

B.      Sampai lulus kuliah dan kerja

Ini jelas-jelas tidak valid! Gue udah lulus kuliah, uda kerja, tetep aja harus ikut aturan. Yee..biar uda kerja perilaku juga harus mencerminkan kedewasaan dong…ini tetep manja..dicuciin, distrikain..dimasakin…Tapi kalau begini, ini sama aja dengan chiken vs egg: apa karena gue dimanja gue jadi ga bisa dianggap dewasa, atao…karena gue ga pernah dianggap dewasa gue jadi manja?

C.      GUE TIDAK AKAN PERNAH JADI DEWASA

Seorang teman mengeluh, meski sudah jadi pegawai negri, dia tetap tidak boleh pacaran. Kalaupun berdekatan dengan pria, harus menjaga jarak aman 50cm. Padahal dia berencana pergi ke Thailand dengan ‘teman dekattttt’-nya. Tentunya sulit untuk terus berada stengah meter dari sang pria jika berada dalam satu kamar…lalu diapun protes, masa umur sgini masi diatur2 juga?!

 

Teman cowo gue tertawa, “Darling, you’ll never grown up!” Menurutnya, bagi orang tua, usia anak perempuannya stuck ketika ia meninggalkan rumah. Buat gue, umur gue stuck di 18 tahun. Selamanya gue menjadi ABG lulusan sekolah khusus perempuan dengan rok menyapu jagad. Gue mungkin aja udah tinggal sendiri, udah punya kerjaan, udah kawin, tapi di mata orang tua, gue akan tetap jadi bayi keluarga; Si bungsu yang manja dan suka sok-sok cadel.

 

Humphh..kalau gini kriterianya…wajar aja kalau gue ga pernah gede…tapi see from the bright side, mungkin gue MEMANG ga pernah gede. Teringat pas masi SMP dan ngotot ngabur sama Oknum yang tidak distujui…seminggu kemudian gue juga yang berasa beliau memang tidak layak diperjuangkan. Teringat ngotot milih sekolah yang jauh biar bisa nge-kost di Kemang pas SMA…sekarang gue bersyukur gue terpaksa sekolah untuk sekolah dan bukan sekolah untuk gaul.

 

Sampai kapanpun, orang tua tetep bakal lebih tua dari gue dan akan selalu punya lebih banyak pengalaman untuk mengambil keputusan yang dianggap lebih tepat. Mungkin there will come a day, ketika gue bersyukur, nyokap gue begitu ribut tentang masalah kancing yang hilang di pagi hari…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *