Siapa pembaca budiman yang pernah menerbalikkan mobilnya ketika menyetir?
Gue pernah. Iya, 4 roda di atas gitu.
Suatu ketika setelah lepas usia 17 tahun, gue meneruskan tradisi keluarga untuk belajar nyetir. Papih menjadi instruktur. Kami muter-muter Kelapa Gading, hingga sampai batasannya dengan Priok.
Seperti pada pelajaran menyetir pada umumnya, mobil gue mati di tanjakan. Tarik rem tangan, genjot gas. Demikian papih memberi instruksi. Oke sip. Rem tangan ditarik maksimal, gas digenjot juga maksimal. Lalu rem tangan dilepas. Terbanglah starlet putih mini kami. Kalau zaman dulu udah ada Instagram reel, pasti jadinya kayak di pelem-pelem.
Sesaat kemudian gaya tarik bumi menarik starlet mini kembali ke bawah. Dengan 4 roda di atas, mobil di bawah. Takut meledak seperti di film aksi, kami buru-buru merangkak keluar lewat jendela mobil yang dari awal memang dibuka.
10 kang ojeque yang lagi mangkal pagi-pagi membantu beramai-ramai mendorong mobil ke posisi awal. Kap mobil ringsek berat. Entah bagaimana caranya, kami berhasil menyetir pulang mobil kembali di rumah untuk mengalami extreme makeover di bengkel tetangga.
Lalu apakah setelah kejadian itu gue kapok nyetir?
Well, you know the story…
You’ve heard about my car.
Never. Ever.
Jika gue baru belajar menyetir lagi lima tahun kemudian, itu lebih disebabkan karena tidak adanya instruktur nyetir yang berani mendampingi gue setelah insiden tersebut. Papih jelas angkat tangan. Supir papih bersedia asal nyalain lampu hazard sepanjang jalan. Ih itukan malah bahaya! Lagipula gue kemudian kuliah di Singapura, tanpa menjadi krezi rich, sehingga harus menjadi tukang nebeng permanen.
Tapi semangat menyetir dalam diri gue malah semakin membara. Begitu kembali ke Indonesia, gue menyogok seorang sepupu yang tidak mengetahui rekam jejak kecelakaan gue untuk menjadi pendamping. Dan hingga kini, lisensi tour de Bali, Padang-Payakumbuh, Jakarta-Tasik PP 24 jam, sudah gue kantongi.
You can only flip your car once in a lifetime.
Begitu kepercayaan gue. Coba yang baca sambil geleng-geleng kepala, pernah nggak denger orang yang mobilnya terbalik dua kali seumur hidup? Gue belum pernah. Sekali aja jarang. Maka gue meyakini bahwa telah melewati mobil terbalik membuat gue menjadi supir yang lebih aman.
Gue sudah pernah kebalik. Giliran gue sudah lewat. Gue justru bisa lebih tenang belajar nyetir karena tidak perlu khawatir akan terbalik lagi. Justru situ yang belum pernah terbalik musti hati-hati. Masih bisa kejadian.
And that’s how I approach life. I’ve gotta try it at least once. Penolakan tidak membuat gue malu. Kegagalan tidak membuat gue mundur. Risiko tidak membuat gue gentar. Metode seperti ini, yang telah membuat gue berakhir dengan a few cuts and bruishes di seluruh tubuh, dalam hati, maupun jaringan saraf. Yang mungkin, telah membuat gue menjadi seorang psikopat dengan luka batin mendalam.
But at the same time, mold me to be who I am right now. I don’t have the most money on earth. I don’t have the most wisdom on human. But I have no regrets either. Gue coba. Gue gagal. Gue paham gagalnya di mana. Gue mungkin mencoba lagi jika gue bisa mengatasi kendala itu. Gue bisa sukses. Gue bisa gagal lagi. Tapi gue tidak menghabiskan hidup gue bertanya-tanya what if.
Emang sih, nggak semua hal bisa dijalankan dengan filosofi yang sama. Buktinya gue kena COVID 3 kali. Atau jejeran orang-orang sial tapi beruntung lolos kecelakaan pesawat dua kali. Lagian kan nggak semua pelajaran musti dari pengalaman sendiri.
Tapiii… itu membawa gue pada filosofi hidup yang lain, bahwa growing up is a matter of luck. Menatap kerjap-kerjap api unggun di usia sunset menuju paruh waktu usia 40, gue (dan teman-teman) merekap segala hal-hal yang kita lakukan nggak pake dipikir itu bisa berakhir pada penjara, kematian ataupun sakit permanen. Hal-hal yang telah membuat banyak anak muda dengan masa depan menjanjikan, tamat ceritanya.
Yang membedakan? Gue tidak bisa menemukan hal lain yang membuat gue lebih baik dari mereka, kecuali, mungkin, HOKI. Gue lebih beruntung untuk terus melangkah maju dalam kehidupan setidaknya sampai umur 36 ini. Atau memang masih harus membayar utang-utang kehidupan lampau di dunia.
So, might as well. Menghindari risiko bisa jadi mendekatkan diri dengan risiko yang lain, jika kurang beruntung. Mengambil risiko, juga bisa lolos dari maut, jika beruntung. Entah apapun hasilnya, kenanya tetap cuma satu satu kali. Dan jika dengan meyakini itu gue bisa melampaui ketakutan, mencoba lagi dan akhirnya menguasai kemampuan, it’s a chance worth taking.
Tapi satu yang nggak usah dicoba: Pasang rem maksimal. Pasang gas maksimal. Lalu lepas remnya. Jangan.