Karyawisata

“Tante A minggu ini ke Singapur, ke Universal Studio.”

“Ihh…ngapain? Emang tante A masih bisa main jetcoster?”

“Nemenin cucunya, ada karyawisata.”

“Karyawisata ke Universal Studio?”

“Iya, cucunya kan sekolah di sekolah internasional, jadi karyawisatanya ke Singapur.”

“Haa…Jauh amat! Kalau nggak mampu gimana?”

“Ya pasti mampu, lah! Sekolah internasional, mahal! Muridnya mampu semua!”

Gue manggut-manggut sambil misuh-misuh mendengar berita Mamih tentang karyawisata keponakan gue yang baru berusia SD itu. Sesaat kemudian gue mulai bertingkah seperti emak-emak yang merasa lahir pada jaman penjajahan Jepang sehingga sangat sengsara, waktu gue masih kecil nggak ada tuh yang namanya pake baju Baby GAP, tas Gucci kecil, main mobil-mobilan pake bensin, dapet kid’s massage, main di Kidzania, makan yogurt, punya babysitter tiga, KARYAWISATA KE SINGAPURA…

 

Ya! Ya! Gue tahu! Gue paham! Jaman memang sudah berubah. Sulit untuk membandingkan masa kecil gue dengan milik keponakan gue. Perkembangan peradaban telah membawa kehidupan yang lebih baik bagi anak kecil di sebagian besar pelosok dunia. Tentu saja gue nggak pake Baby GAP, tas Gucci kecil, atau Zara Baby. Lha pada masa itu memang GAP, Gucci dan Zara belum mengeluarkan koleksi anak kecil! Zara aja belum masuk ke Indonesia!

 

Seandainya jaman itu sudah ada Baby GAP, gue mungkin akan memakainya. Ga acih dong kalau gue mencela-cela keponakan hanya karena dia lahir setelah Universal Studio didirikan. Setidak acih saat si Mamih mengeluhkan, mana mungkin dirinya di masa kecil akan main polly pocket, pake sepatu OshKosh B’Gosh, hingga sekolah ke luar negeri hingga bisa membeli apartemen di awal karir.

 

Keki kan kalau pembandingnya kayak gitu? Namanya juga jamannya beda. Sekalian aja dibandingkan bahwa di jaman revolusi industri. Anak-anak seusia keponakan gue sudah harus bekerja di pemintalan benang dari pagi hingga malam dengan kehilangan hak bermainnya!

 

Gue menerima dengan ridho bahwa kelak, anak cucu gue akan hidup lebih sejahtera, dengan barang-barang berkualitas lebih baik, pendidikan yang lebih cenggih serta baju-baju yang lebih lucu. Sungguh! Tulus iklhas! Nggak ngiri! TAPIII… terkadang, hanya terkadang, ada beberapa hal yang membuat gue gelisah, bahwa segala fasilitas dan modernisasi itu, malah menghilangkan esensi nilai dari hal yang sebenarnya mau dituju dari pembentukan seorang anak.

 

Karyawisata, misalnya. Namanya juga KARYA-WISATA. Kegiatan jalan-jalan yang menghasilkan karya. Atau STUDI-WISATA. Kegiatan wisata sambil belajar. Makanya, dulu sekalipun, dengan karyawisata lokal-regional yang tidak bisa dibandingkan dengan Singapura dan Universal, gue diajak ke TMII, bukan ke Dufan. Belajar apa keponakan gue di Universal Studio selain belajar mengatasi rasa takut naik roller coaster?

 

Salah satu hal yang juga baru gue sadari setelah gue besar adalah karyawisata mengajarkan anak-anak TK dan SD itu untuk menjadi mandiri dan bisa mengakses lingkungannya Bepergian di luar lingkup sekolah, bersama dengan kawan-kawan saja, dengan sedikit pengawasan guru, membawa gue melangkah ke dunia lain tanpa adanya lindungan orang tua.

 

Karyawisata terlalu jauh, apalagi ke Singapura, malah mengundang seluruh orang tua dan handai taulan untuk ikut mengantar, lalu mengawasi anak-anaknya dari jarak 5 meter sambil menyeruput Fanta lima dolar dalam botol Shrek di toko cendera mata.

 

Dan bayangkan betapa kuatnya nilai borjuisme yang ditanamkan dengan karyawisata ke Singapura saat teman SD Inpresnya pergi ke Ragunan. Tentu saja, borjuisme bisa muncul dari mana saja. Nggak karyawisatapun, gue sudah selalu dibuat iri sejak kecil dengan foto-foto teman-teman berlatar menara Eiffel saat liburan, saat gue baru bisa berfoto dengan latar demikian setelah bekerja. Atau dengan oleh-oleh telor burung onta saat gue cuma bisa memberi gantungan kunci.

 

Tapi setidaknya itu terjadi saat liburan, di mana memang tujuan kegiatannya adalah bersenang-senang, bukan saat sekolah. Bukan saat di mana sekolah bertanggung jawab terhadap pertumbuhan anak muridnya. Bukan saat…karyawisata….

 

Gue juga tidak tahu, kelebihan apa yang didapat dengan pergi ke planetarium dan ke Keong Mas yang filmnya membosankan. Mungkin di mata anak SD, semua itu hanya rekreasi setelah setahun belajar. Mungkin memang tidak ada nilai yang bisa menempel. Atau kalaupun ada, mungkin nilai itu tidak ada gunanya. Apakah menghafal naskah proklamasi di tugu proklamasi itu punya kontribusi terhadap bagaimana seseorang bersikap di masa depan? Mungkin tidak.

 

Kalau memang hanya nilai rekreasi, mungkin tamasya ke Universal Studio akan lebih berguna daripada ke Keong Mas yang sungguh membosankan. Namun seiring dengan bertambahnya usia para sekolah internasional, gue semakin sering mendengar cerita anak-anak Indonesia yang mengaku tidak tahu matoa itu apa, atau bertanya bagaimana bentuk Lubang Buaya. Dan mendengarnya, gue kasihan.

 

Sama seperti rasa kasihan yang gue rasakan saat mendengar bahwa banyak sekali anak kuliahan saat ini yang tidak hafal Pancasila, apalagi lambangnya. Bukan karena Pancasila itu penting, apalagi jika itu menentukan bagaimana manusia endonesia ini bersikap. Tapi karena it tells so much about being a person with knowledge, living in one country.

 

Kasihan karena di usia yang sudah dewasa, ada banyak sekali hal yang tidak pernah dilihat dan diketahui dari Negara dan kota yang ditinggalinya itu. Kasihan, karena seberapa tidak pentingnya, itu menandakan mereka punya pengetahuan umum yang lebih sedikit dibandingkan orang lain. Suatu hari akan ada yang bertanya apa saja jenis ikan dalam air tawar Indonesia dan mereka tidak akan bisa menjawab, senembak-nembaknya.

 

Dan itu terjadi bukan karena mereka tidak mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang cukup. Sesaat gue bersyukur pernah melihat Jakarta dari ketinggian Monas meski tidak lebih kece daripada melihatnya dari Menara Imperium. Gue bersyukur pernah dibawa melihat kursi lapis emas di Museum Gajah, meski sampai di usia yang cukup tua, tidak pernah tahu bentuknya Merlion. Gue jadi manusia berpengetahuan, seperti seharusnya karyawisata membuat gue, di usia tujuh tahun.

 

Sekali lagi, sungguh, gue tidak mencela kemewahan yang dinikmati anak-anak yang lahir di atas tahun 2000 itu. Kalau memang harus karyawisata ke luar negeri, tapi ke Asian Civilization Museum, misalnya, gue mungkin masih lebih mengerti esensinya. Meski tetep aja, ngapain jauh-jauh ke Singapur nyari museum? Tuh Museum Gajah aja juga banyak isinya!

 

Jika sesuai dengan esensinya, gue mungkin hanya berdecak iri tanpa mampu protes. Bukan salah mereka kalau  keponakan gue bisa bermain profesi orang dewasa dengan properti lengkap dan riil dalam kenyamanan sebuah mall.

 

Sedangkan, profesi orang dewasa yang bisa gue bayangkan terbatas pada menjadi ibu rumah tangga dan koki, lewat permainan masak-masakan. Atau jadi atlet dan pembalap lewat permainan lari-larian dan mobil-mobilan. Serta dokter-dokteran, lalu setelah lebih gede, bisa jadi suster-susteran dengan properti yang lebih lengkap seperti baju putih mini dan kacamata bingkai merah. *lho kok jadi kinky?

 

Diharapkan mereka akan menemukan cita-cita mereka di usia yang lebih awal, tidak nyasar masuk IPA dulu lalu baru masuk komunikasi, karena waktu kecil pernah mencoba pura-pura jadi insinyur dan wartawan. Tapi jika fasilitas itu malah membuat keponakan gue jadi kurang berpengetahuan? Ih, malu-maluin!

 

Tetapi setelah gue pikir-pikir lagi, mungkin ada tujuan mulia dibalik tamasya Singapura ini. Mungkin dengan dibawa jalan-jalan, keponakan kecil gue jadi terinspirasi mau sekolah di sana. Tunggu saja sampai nyaho nyesel-nyesel pengen pulang!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *