Kenapa Bukan Ahok

“Sebenernya, gue ngerti sih kenapa orang-orang pada gak milih Ahok..” gue nyengir sambil nengok kiri-kanan, di tengah pujasera pusat perbelanjaan. Gue yakin akan banyak yang mengangkat alis kalau gue bicara secara publik soal ini. Namun dengan hanya seorang teman, gue berani curcol.

 

Dari grup whatsapp, makan malam keluarga, hingga reuni sekolah masih diisi dengan satu pertanyaan: kenapa? Kenapa, rakyat tidak bisa melihat pekerjaan hebat gubernur sang petahana? Kenapa mereka begitu goblok dipanas-panasin dengan isu-isu agama?

Tiga minggu sebelum PILKADA, gue mulai mendapat jawabannya. Seperti relawan #kelasmenengahngehe lainnya, gue mengarahkan setir mobil ke rorotan, semper, marunda, serta daerah yang dalam Bahasa KAMi itu adalah grassroot.

 

Di sanalah, gue bertemu kembali dengan becak. Ya becak, angkutan roda tiga bertenaga manusia itu. Gue kira becak sudah dilarang pas jaman Ali Sadikin. Tapi di tahun 2017 ini gue berhadapan dengan 20 becak, semacam nostalgia 60an.

 

Jalanan gompal-gompal nyaris tak beraspal, penuh tanah liat di sana sini. Jarak pandang tersisa 10 meter, karena tertutup kabut debu yang lumayan pekat. Jangan bandingkan sama kota besar lain di Indonesia. Sama Jeneponto aja, kabupaten di Sulawesi Selatan di mana sapi masih bebas nyebrang jalan sendiri.

 

Beberapa gudang besar milik perusahaan multinasional tampak di sekitar jalan, namun tidak banyak aktivitas di sekitarnya. Biarpun relatif dekat dengan laut, area ini tidak punya akses langsung melaut, kecuali yaa.. Tanjung Priok, 20 menit kalau hari minggu, 4,5 jam kalau hari biasa, dengan ancaman keracunan timbal dan ambeyen kumat.

 

Warga di kampung terapung masih membuat kerajinan mainan kertas untuk peneman kerupuk. Untungnya Rp. 6,- per buah. Enam rupiah. Pernah lihat recehan lima rupiah?  Berarti untuk mendapat untung 600 rupiah, mereka harus membuat seratus.

 

Suka gak suka, apa yang dikatakan orang-orang nyinyir itu benar. Jakarta maju, tapi belum menyeluruh. Ada bagian-bagian yang justru makin kontras dengan Jakarta yang sekarang.

 

Gue tidak bilang pemerintah DKI salah membangun. Gue hanya mau bilang bahwa inisiatif yang sekarang ada; perbaikan sistem birokrasi, pembenahan iklim usaha, pembetulan akses transportasi, lebih dirasakan oleh gue si kelas menengah yang ulang alik pinggir Jakarta ke tengah Jakarta, hingga merasakan betul manfaat pembersihan kali dan penertiban kaki lima.

 

Namun program-program ini seperti tidak berdampak langsung pada masyarakat kelas bawah yang sayangnya masih dominan di Jakarta. Kalau gue, tinggal di salah satu area berjarak pandang 10 meter itu, cuma sanggup naik becak setiap harinya dan seperti dalam survey, bahkan puluhan tahun tinggal di Jakarta belum pernah lihat Istiqlal, gue tidak akan percaya Jakarta sudah menjadi lebih baik.

 

Tapi kan ada KJP? KJS? Rusunawa, bukankah itu semua dibuat khusus buat masyarakat kecil?

 

Tentu saja gue awalnya berpikir demikian. Bak penjajah Portugis menjejakkan kaki di bumi Amerika, gue dengan gagah berani cenderung sombong membawa kabar gembira itu. Bahwa hei kalian manusia-manusia tak tahu terima kasih, tidakkah kalian menyadari betapa beruntungnya kalian dengan KJP, KJS, RPTRA yang sebenarnya tidak layak kalian nikmati itu!

 

Tidak, gue tidak disambut dengan sinis dan ditolak sebagai pendukung penista agama. Gue disambut dengan sorot mata harapan, betul kami bisa dibantu mendapatkan KJP ? Sepanjang gue jalan lebih banyak mereka yang berhak tapi belum mendapatkan daripada yang sudah.

 

Sesuai SOP, kami mendata mereka yang belum dapat, berjanji akan membantu mengurus. Antusiasmenya luar biasa. Seorang teman mendapatkan hingga 1000 data yang ingin mendaftar. Tidak ada omongan tidak mau menerima karena dari Ahok.

 

Sayangnya, implementasi KJP sangat rumit dan melibatkan terlalu banyak pihak luar seperti Bank DKI dan sekolah yang kinerjanya tidak sepenuhnya bisa dikontrol pemerintah provinsi. Kami sempat bergunjing lirih, seandainya penyerapan KJP dan KJS ini sudah 100%, sudah pasti Ahok akan menang telak.

 

Gue tidak bilang yang plus-plus bakal lebih baik. Gue hanya bisa memahami mengapa janji yang terlihat palsu mudah diterima. Karena bagi sebagian, KJP dan KJS ini sudah terbukti janji palsu, sedangkan yang satunya lagi, bisa palsu bisa enggak.

 

The ultimate problem is economy. Isunya masih perut. Kalau semua sudah kenyang, pasti tidak akan mudah memakan isu agama. Para pemilih kaum seberang tidak semuanya penuh kebencian. Mereka memakan isu agama, karena hanya itu yang diberikan setiap harinya. And nobody is telling them otherwise. We didn’t.

 

Relawan kelas menengah terlalu sibuk perang di social media, menghalau isu dan hoax. Tanpa sadar, bahwa pemilik rusun jarang banget yang punya smartphone. Sebagian main Facebook dengan pinjam tetangga yang punya. Sisanya main via SMS.

 

Relawan kelas menengah sibuk kerja setiap harinya, hanya sempat keliling pas akhir pekan. Itupun bagi sembako atau ngajak jalan-jalan, lalu sorenya harus pulang. Ada acara makan malam keluarga atau temen kawinan.

 

Tidak banyak relawan kelas menengah yang sanggup nginep di masjid 3 hari berturut-turut, hingga hafal siapa warga yang sakit, yang butuh kursi roda, lalu sambil memberikan, membisikkan dalil-dalil keagamaan.

 

Gue pun biasanya begitu. Hanya satu kali, karena kesalahan logistik, gue terpaksa nongkrong lebih lama di salah satu rusunawa Jakarta. Gue, seorang Cina kresten naik mubil sedan, ongkang-ongkang sendirian di warung Bang Jek dari jam 9 pagi hingga sore.

 

Semua ketakutan itu menjadi nyata. Gue terpaksa menikmati indomie dan teh botol seharga sejuta. Diperas Bang Jampang yang menuduh gue lagi kampanye terselubung sampai hampir digebukin kayak di tipi-tipi, dan oknum preman yang bilang mau nolongin tapi hanya nagih uang lelah sejuta.

 

Namun setelah gue dimiskinkan (hingga semiskin grassroot) tapi tidak kabur, mereka pun mengacuhkan gue, membiarkan gue mengamati keseharian mereka dan melakukan interaksi yang berangsur natural.

 

Di pagi hari gue dipanggil ‘Bu’, mereka datang dengan penuh harap mendapat sembako, bercerita agak dibuat-buat tentang betapa bangganya bergubernur Pak Ahok. Melihat gue tidak bawa apa-apa, mereka pamit, ntar balik lagi ya, mau masak dulu.

 

Jelang siang mereka balik lagi, bawa fotokopi KTP dan KK untuk didaftarkan jadi pemilih, melihat gue masih di tempat yang sama. Gue dipanggil ‘Enci’. Masih di sini? Tanya mereka, lalu cerita mereka dari gusuran Kalijodo, bisa nggak didaptarin nyoblos di sini aja, kalau ke Kalijodo jauh…

 

Di sore hari mereka kembali datang, memanggil gue ‘Mbak’. ‘Jangan pulang dulu, sini aja nongkrong, bentar lagi ada senam, seru mbak bisa poco-poco!’

 

Lalu mereka cerita tentang kampanye BADJA yang jadi ribut. Bukan karena tanpa izin, tapi karena gambar dalam flyer tidak sesuai yang dibagikan. “Di gambarnya tempat sampah yang pake injekan! Dibagiinnya yang biasa itumah udah pade punya! Kalau sama kita mana ribut!” curhatnya.

 

Mereka ingin tahu apa yang gue kerjakan, semangat berbagi cerita. Gue tahu, jika gue kembali lagi besok, lalu keesokan harinya dan menghabiskan waktu lebih sering lagi, gue akan punya otoritas untuk membantah suara toa masjid itu.

 

Namun gue tidak kembali lagi. Seperti relawan lain gue kembali sibuk pada kegiatan keseharian gue, dan membiarkan suara penuh kebencian, segelintir kaum yang benar-benar rasis serta anti keberagaman berkawan akrab dengan sebagian besar orang Jakarta.

 

Kekalahan pertama adalah expected bagi gue. Tapi mendengar ‘kekalahan kedua’ dalam bentuk vonis yang tak adil, gue menangis.  Gue tahu pembodohan terstruktur dan masif yang sudah karatan, dimulai dari jaman penjajahan Belanda menang mutlak lagi.

 

Dari dulu, rakyat Indonesia selalu dibego-begoin. Akses pendidikan selalu dihambat, dibuat sulit. Karena begitu rakyat ini pintar mereka akan melawan. Maka kepintarannya dijaga, agar mudah dikompori sebagai ‘massa tak bernama’.

 

Karena pendidikan yang diberikan, gue tahu betul, bahwa proses pengentasan kebodohan sedang dijalankan. Namun mayoritas mungkin tidak seberuntung gue. Ada terlalu sedikit waktu dan terlalu banyak orang yang ingin rakyat Indonesia tetap bodoh, at any cost.

 

Gue tidak membuat tulisan ‘tidak populer’ ini untuk menambah garam kepedihan. Sebaliknya, gue justru sangat frustrasi, merasa tidak berdaya, mengetahui teman-teman baru gue yang akan semakin dihambat akses menjadi pintarnya.

 

Dan gue khawatir kemarahan membuat kita kembali termangsa oleh para pembodoh masyarakat, yang ingin kita sibuk misuh-misuh, bukannya membantu memerangi kebodohan ini di medan perang yang sebenarnya: grassroot.

 

Jika begitu, akan semakin lama bagi orang yang ingin mencerdaskan bangsa untuk dapat kesempatan beraksi. Sekarang saja, mungkin harus menunggu bertahun-tahun lagi. Nampaknya gue masih harus bersabar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *