“Bu, kadar oksigen yang bagus tuh berapa sih? Kok gue tes di 88-92?” gue bertanya di suatu sore pada seorang teman dokter.
“Gak tentu, Gy, orang tuh beda-beda, jadi yang penting tahu soal kadar yang biasa dan memantau apakah naik atau turun dari kadar yang kita biasa,” demikian Bu Dokter menjawab.
Ahhh..ok sip! Gue berpikir riang dalam hati. Saat itu sudah dua minggu gue merasa tidak enak badan. Demam pengsan sih enggak, lebih kayak kena flu tahunan tapi napas terasa sesak. Parnoan karena illness of the year lagi gahar-gaharnya beredar, gue memutuskan membeli oksimeter mungil di Toped.
Bacaannya membuat gue watir. Kalau dari artikel-artikel daring itu, kadar saturasi oksigen yang baik ada di rentang 95-99. Di bawah 95 sudah tidak baik. Di bawah 90 sudah bahaya. Di bawah 60 perlu bantuan oksigen.
Namun mendengar penjelasan Bu Dokter membuat gue tenang. Mungkin karena gue darah rendah, saturasi oksigen gue ikutan rendah. Mungkin memang rata-ratanya cuma 88-92 itu. Mungkin alat buatan China lisensi Jerman yang cuma seratus ribu gratis ongkir ini emang bacaan standarnya segitu. Missing in translation pas dikalibrasi.
Hingga beberapa bulan kemudian si mamih sakit flu. Kembalilah gue mengeluarkan oksimeter itu dari sarung, dan mengecek keampuhannya. 98-99. Gue lalu mencoba pada diri sendiri. 97-98. Dicoba lagi besoknya. Sama.
Loh.
Gue kemudian menyampaikan fakta anomali tersebut pada Bu Dokter yang sama.
“Bu, loe inget nggak pas gue bilang bacaan oksimeter gue Cuma 88-92?”
“HAH? Siapa? Gile parah banget rendah banget!” Bu Dokter menjawab kaget.
“Lah GUE! Kan gue WA waktu itu, loe bilang nggak apa tergantung orangnya aja, nih gue SS wa loe!”
Screenshot WA dikirim…
“Ya ampun, Gy, gue salah baca! Gue kira loe nanya Tensimeter, ternyata Oksimeter! Kalau Oksimeter mah margin errornya 2%! Kalau di bawah 95% dah ga boleh!”
Komprang. Gue memainkan adegan-adegan enam bulan silam itu dalam pikiran gue. Could’ve… Would’ve.. Should’ve…
Gue sering mendengar psikosomatis. Bagaimana kekhawatiran bisa menjelma menjadi gejala penyakit fisik, bahkan meskipun tubuh sebenarnya berfungsi sempurna. Lagi ngetrend, tiba-tiba berasa sumeng, tenggorokan berasa kering pengen batuk-batuk, setelah membaca berita-berita tentang COVID-19.
Sindrom yang menunjukkan betapa kuatnya pikiran dalam mempengaruhi kondisi fisik dan realita di sekitar. Dan secara ekstrim, gue menjadi contoh the power of mind dengan cara kebalikannya.
Pernyataan bu dokter memberi sugesti diri yang kuat bahwa gue tidak sesak, cuma sekadar psikosomatis. Gue mulai melakukan selftalk. Gue gak sakit, cuma diroso-roso aja. Maka gue melanjutkan aktivitas seperti biasa. Kerja, zoom-an, nyuci nyetrika. Bahkan gue memaksa diri berolahraga demi meningkatkan hormon endorfin biar pikiran jadi positif.
Ngos-ngosan sih. Pengen narik napas tapi kok kayak nggak ada udaranya. Semakin keras bernapas semakin cape, muka sampai kesemutan. Tapi memang gue nggak pernah mengalami sesak sebelumnya, jadi nggak ada benchmark-nya. Jadi sekali lagi gue membisik mantra; aku sehat, aku bisa napas, aku cuma kebanyakan baca forward-an WA.
Kalau sekali-sekali pikiran nge-blank, sulit konsentrasi, gue buru-buru ruwatan. Mandi aer garem dan kembang tujuh rupa. Pasti gue mao disantet nih. Trus minum vitamin sama ati ampla takut kurang darah. Dan menyibukkan diri nulis ngeblog biarpun paling cuma sebaris-sebaris.
Apakah itu berarti gue kena Happy Hypoxia? Cuma Tuhan Allah yang tahu. Gue nggak cek secara medis waktu itu karena meyakini gue cuma lebay. Bisa saja gue kena penyakit lain MIRIP COVID kayak UAS. Dan gue cukup beruntung bahwa kondisi itu bisa berlalu tanpa berakhir fatal. Gue nampaknya tetap happy sampai fase hypoxia berakhir.
Berkat konsul sama dokter yang tidak teliti itu, gue tanpa sadar telah mensugesti kesehatan gue hingga mungkin melalui masa seriusnya. Sugesti yang mungkin tidak bisa mengusir virus, tapi memproduksi endorfin yang lalu meningkatkan imun tubuh hingga akhirnya mengalahkan sakit.
Bayangkan jika gue dikasi tahu bahwa itu bahaya. Gue pasti langsung lemas. Makin engap. Micin-micin Indomie langsung terasa reaksinya di tenggorokan. Kepala jadi pusing. Lemah lunglai tak berdaya.
Buru-buru ke RS. Kalau ternyata salah, gue lalu sudah berkontak dengan banyak orang dalam kondisi tubuh lemah. Kalau benar, kemungkinan diberi bantuan oksigen. Yang mana harusnya begitu, tetapi gue juga tahu bagaimana jahatnya pikiran. Sulit bahagia saat dikurung.
Tentu saja, gue beruntung. Ada kasus-kasus happy hypoxia lainnya yang tidak bernasib sebaik gue. Kerabat keluarga sendiri dan kenalan telah menjadi korbannya. Namun gue merasa virus ini benar-benar suka bermain dengan pikiran. Seperti observasi bahwa dari 400 orang dengan gangguan jiwa di Makassar yang tertular COVID-19 tidak ada satupun yang berkembang menjadi gejala berat dan fatal.
Adalah konspirasi semesta yang membawa Bu Dokter salah baca di saat yang tepat, membawa gue menemukan kekuatan pikiran. Bahwa pikiran (kepepet) positif bisa menyurutkan banyak gejala penyakit, dan membuat gue bertahan di saturasi oksigen yang sangat rendah. Atau bisa juga sih berhasil belagak gila.