Karena Kita Berbeda
Demikian hasil sebuah polling kecil yang diadakan sebuah radio wanita di Jakarta. Bahwa sebagian besar pasangan di ibukota, menjadikan perbedaan agama menjadi alasan terbanyak kedua putus hubungan mereka yang terakhir, sedikit di bawah ‘keluarga tak setuju’.
Digambarkan secara dramatis dengan nyanyi-nyanyi lagu Marcell, mengingat ini adalah hasil MAYORITAS, sudah pasti bakal banyak perempuan kota Jakarta yang tertawa-tertawa menangis meringis mendengarnya. Ya, ngaku. Gue juga. Apalagi gue. Yang seumur hidup sudah menggunakan alasan itu untuk menghancurkan hati ini over and over again. Caileh. Curhat. Biarin blog sendiri.
Sepintas gue langsung setuju. Jakarta yang semakin majemuk ini sungguh membuat pertemuan individu berbeda agama jadi gampang. Apalagi Jakarta juga makin sekuler, membuat pertemuan individu sama agama, juga semakin sulit.
Tapi di sisi lain, gue jadi menaikkan alis setengah senti meringis, sambil mikir, ah nih orang-orang pada nyari alasan aja. Karena sebanyak gue menjalaninya, sebanyak itu pulalah gue putus, dan sejujurnya, tidak pernah sekalipun agama menjadi penyebab gue putus dengan para mantan yang berbeda agama.
Setiap orang yang memasuki hubungan beda agama rasanya sudah dibekali dengan kesiapan akan toleransi yang tinggi. Jarang sekali dalam sebuah hubungan gue akan membawa-bawa soal agama, apalagi sampe berantem lalu PUTUS!
Jangankan yang pacaran beda agama, yang sama aja belum tentu akan mengisi waktu berduaan dengan membahas kitab suci. Oh No… Gue tetep bakal putus kalau begitu acaranya.
Dan tidak mungkin dalam hubungan seperti ini, yang lagi lucu-lucunya berjalan, tiba-tiba muncul pembicaraan, ‘marilah kita hentikan hubungan yang indah ini karena kita beda agama dan tidak mungkin menikah.
Tidak! Pembicaraan itu hanya terjadi saat pihak yang memulai pembicaraan punya alasan yang tidak terucap. Misalnya, sudah punya BACK-UP, sodara-sodara! Karena sudah ada orang lain yang sama rupawan, sama pintar, sama tajir, DAN bisa dinikahi Atau karena ada yang mulai membentak dan melempar barang-barang *eh itu namanya KDRT, ya? Ada yang karena bosan saja.
Dan di titik nadir bosan itu, maka pembicaraan agama mulai muncul. Yang awalnya nggak papa nikah beda agama, rela nikah di Pyongyang meski jauh, atau rela hidup jauh dari orang tua, kini minta convert, minta poligami, minta stiker rumah gadang ditempel di jidat. Pokoknya setidakmasuk akal mungkin, agar tercetus, ‘yah, kita nggak cocok lagi, putus aja deh!’.
Padahal, sungguh, alasan-alasan sebenarnya cukup universal, Kalau ada KDRT, selingkuh, ataupun bosan, mau agamanya Kresten, Katolik Budha, Konghucu, Islam, Hindu, Tao, Kepercayaan, Sikh, Sintoisme, atau apapun, tetep aja, dia tidak akan menjadi Imam/Pendeta/Pastor/Biksu/atau sekadar pemimpin keluarga yang baik bagi siapapun.
Lantas, alasan beda agama itu nggak valid, dong? Jadi semua orang, TERMASUK GUE, selama ini mengada-ngada tiap cari alasan putus gitu ya? Eh, valid juga ah!
Coba kalau pacar gue agamanya sama, biarpun dia suka melempar barang-barang, mungkin akan tahan-tahanin. Gue bakal belajar karate. Sehingga tiap kali dilempar barang, gue akan berteriak ciyaatt..sambil melempar balik barang bak bumerang. Apalagi kalau dia ganteng, kaya raya, dan…jarang ada di rumah. Ban Kuning juga cukup.
Tapi karena beda agama, gue mikir. Coba bayangkan, gue masih seger, buger, seksi, punya kerjaan gini aja uda dilempar permen. Gimana kalau gue hidup sendiri, dikucilkan orang tua, teman dan tetangga tiada sudi membantu, tiada mendapat pekerjaan, hidup bergantung secara ekonomi-fisik-dan batin, tua, keriput, menopause, kering? Pasti bukan barang-barang lucu lagi yang dilempar. Kompor! Itu sangat berbahaya!
Atau kalau misalnya agamanya sama, mungkin gue tidak selingkuh. Demikian juga alasan yang disebut mantan pacar guna membela diri saat itu, dia berkata, ‘kalau kamu Islam, aku juga nggak akan nyari yang lain,’ gitu. Dan gue menerimanya dengan lapang dada. Itu masuk akal kok.
Kok bisa? Coba ditilik tabel syarat lelaki pujaan versi gue ini. Ngaku, setiap orang pasti punya tabel serupa, yang dikeluarkan saat sedang bingung di antara dua hati. Oke, gue memang gak terlalu mahal, kriterianya sedikit saja, nilainya juga semua seimbang, kecuali kekayaan.
Materi | Nilai |
Seiman | 1 |
Ganteng | 1 |
Kaya | 2 |
Baik Hati | 1 |
Misalnya ada dua pria yang datang mendekat, yang satu ganteng, kaya baik hati, tapi nggak seiman. Lalu ada pria kedua, seiman, ganteng, kaya, tapi jahat. Dan ada pria ketiga, Seiman, kaya, baik hati, tapi jelek, maka akan dimasukkan nilai seperti tabel di bawah ini:
Materi | Nilai | Pria A (Tak seiman) | Pria B (seiman) |
Seiman | 1 | X | 1 |
Ganteng | 1 | 1 | 1 |
Kaya | 2 | 2 | 2 |
Baik Hati | 1 | 1 | X |
See! Nilainya jadi sama! Logikanya, kalau sudah punya pacar yang ganteng, kaya baik hati harusnya tidak mencari yang lain. Tapi karena beda agama, nilainya tidak sempurna, dan karena manusia selalu mencari Tuhannya yang sempurna, maka kecenderungan mencari yang lain jadi tumbuh.
Sebaliknya, kalau sudah seiman, maka kecenderungannya ditahan-tahanin, gapapa deh dia jahat, yang penting dia seagama, bisa dinikahi di katedral, hore! Atau gapapa deh dia jelek, yang penting dia baik dan kaya. Kalau buat cewe itu yang paling penting kan? Iya kan? Kan? Kan?
Dan masih banyak hal kecil lainnya yang sebenarnya bukan merupakan sifat kha suatu agama, tetapi karena BEDA AGAMA, sifat khas itu menjadi lebih ganggu, lebih tak tertahankan. Duh udah beda agama, orangnya begini begono lagi…Mau dibawa ke mana…
Lalu mulailah gue bersikap fanatis. Gue akan bilang ih dia jahat karena dia ini itu. Lalu dia marah dan menuduh gue fanatik. Lalu gue marah karena dianggap fanatik (padahal iya). Lalu dia menuduh gue fanatik karena gue ini itu. Lalu gue bilang dia fanatik karena menuduh gue fanatik. Dan berakhirlah kita bak poso mini di Jakarta.
Maka akhirnya, agama tidak pernah menjadi alasan untuk putus. Tetapi, perbedaan agama menjadikan hubungan lebih rapuh, karena semua alasan-alasan putus lainnya jadi lebih mudah untuk muncul. Seseorang menjadi kurang mau berusaha untuk mempertahankan hubungan.
Tentu saja hal ini terasa aneh. Mereka yang berbeda agama cenderung gigih, melawan orang tua dan guru (kalau sekolahnya sekolah agamis ya..). Mengusahakan segala hal demi persatuan mereka.
Ini memang benar, bagi mereka yang berhasil menikah. Tapi kegigihan itu di satu sisi juga lebih mudah tergerus, karena satu beban yang ditahan itu. Ketika ada satu masalah muncul, yang ditahan bukan satu masalah ini, melainkan satu PLUS…satu masalah perbedaan agama yang sudah dari awal muncul.
Lantas, apakah dengan begitu gue akan berhenti menyebut hubungan gue berakhir karena beda agama dan mulai dengan jujur menyebut alasan aselinya, meski tentu hanya akan terjadi karena beda agama? TENTU TIDAK!
It’s the best excuse ever! Kalau gue bilang gue putus karena selingkuh, atau karena gue nabok pacar gue pake dandang panas, siapa yang bakal kasihan sama gue? Siapa juga mau jadi korban pacar gue selanjutnya? Tapi kalau gue bilang gue putus karena beda agama, gue bisa mengklaim diri gue sebagai korban kehidupan kota Jakarta yang plural, bertumbukan dengan adat dan kehidupan agama.
Itu alasan paling valid dan juga lebih trendi daripada ‘ketidakcocokan’. Gue bahkan bisa mengindikasikan diri gue sebagai pribadi yang plural, tidak membeda-bedakan dan punya pergaulan luas.
Agama memang terlalu sering dijadikan kambing hitam utama untuk memuluskan hal-hal yang negatif. Bakar rumah ibadah atas nama agama. Larang konser pake atas nama agama. Mungkin karena terbiasa ini makanya ada banyak ‘gue’ yang mengatasnamakan beda agama sebagai alasan putus, biarpun beda agama sudah dari sejak pacaran, thus the survey.
Sedih ya? Nyanyi lagi aja yuk….