Kilas Mudik 2012: Hong Kong

“Kenapa cowok Singapur jelek-jelek?”

Pertanyaan itu muncul di tengah tumpukan studi kasus hukum media di beberapa negara, makalah kuliah jurnalisme online dan setumpuk buku teks organizational behaviours. Gue, yang saat itu sedang mengerjakan tugas kelompok bersama kedua rekan lainnya, merasa telah bekerja keras dan butuh reward dalam setidaknya pemandangan indah. Sesuatu yang jelas tidak gue dapatkan dalam lingkup perpustakan kampus, di Singapura.

 

Tapi pertanyaan insensitif yang berbau SARA dan maha subyektif itu tidak keluar dari mulut gue, seorang Indonesia. Pertanyaan itu justru keluar dari mulut salah seorang teman sekelompok gue saat melihat gue blingsatan siang itu.

“Ini gersang banget ya, Gy?”ujarnya penuh pengertian

“Iya! Ini mahasiswa bukannya dandan dikit, ga lihat apa kita nih anak komunikasi uda dandan cakep-cakep gini? Udah pake rok mini, pake tank top, pake hak tinggi, pake bedak powder!” gue tidak mau langsung mengarah pada celaan fisik dasar.

“Ih apa gunanya, mereka dandan juga tetep aja ga enak dilihat, lha emang dasarnya jelek!”

“Kenapa sih…”

 

Lalu muncullah pertanyaan itu. Pertanyaan yang sudah muncul dari benak gue, tiga hari setelah mendarat di Singapura. Sungguh gue merasa tidak sulit untuk terpuaskan. Gue baru lulus dari sekolah homogen perempuan semua yang super ketat. Lalu gue masuk fakultas yang isinya 80% perempuan. Harusnya, gue kalau ngeliat kambing pake dasi pun udah seneng dong ya? Tapi ternyata tidak. Berjalan-jalan di Orchard Road yang katanya pusat Singapura, nongkrong di perpustakaan deket fakultas teknik, tetap tidak memuaskan dahaga gue. Tetep rasanya berada di…pasar kambing… Tapi gak mungkin dong, masa seseorang jadi jelek hanya karena terlahir di satu negara tertentu? Takdir macam apa itu!

 

“Itu selera aja kali. Kalau gue memang orang Indonesia, jadi sukanya yang mukanya endonesia, kalau orang Singapur kebanyakan keturunan Cina, jadi gue ngeliatnya jadi jelek,” Gue berusaha obyektif menimpali rekan sekelompok.

“Enggak kok! Kita juga orang Singapur, tapi kita juga ngerasa kalau orang Singapur lebih jelek-jelek!” ujar rekan sekelompok 1.

“Iya! Gue pernah ke Batam. Bahkan di Batam, yang deket banget sama Singapur, yang isinya juga cowo Cina semua, gue ngerasa lebih ganteng-ganteng!” rekan sekelompok 2 menimpali.

“Apa karena kita dari Selatan makanya kita jelek-jelek?” Tanya rekan sekelompok 1, mengingat teori bahwa daerah yang keras itu mempengaruhi para penduduknya jadi punya tampang ‘susah’.

“Ah enggak gitu dong, Indonesia keturunan Cina juga dari Selatan, dari Yunan,” gue membantah

“Iya, kayaknya enggak gitu deh, cowo Hong Kong itu selatan, tapi maap-maap nih Margie, mereka lebih OK daripada cowo Indonesia!” ujar rekan sekelompok 2

“Iya bener! Kita dari Utara kali ya? Makanya jelek?”

 

Pembicaraan itu tertinggal gantung, karena buruknya pengetahuan masing-masing orang terhadap sejarah leluhur mereka. Lalu gue berjalan-jalan ke Beijing, di utara Cina. Di sana, muka macam gue ini sudah cantik-cantik banget. Dari rekan bisnis hingga pembantu berdecak-decak, ‘hen piao liang!’. Semua bertanya-tanya gue itu Cina dari mana. Banyak yang menganggap muka gue menyerupai salah satu putri-putri Yunan.

 

Setelah ke Beijing, gue mengunjungi Shang Hai. Di situ muka orang-orangnya masih bisa diterima akal sehat, tapi karena sudah pernah ke Beijing, gue tetap GR bukan kepalang. Sudah pasti, teman gue itu salah. Mereka dari Utara, biasa hidup dengan cuaca ekstrim. Dan benar teori itu, bahwa makin ke Selatan, orang Cinanya makin cakep. Apalagi orang Indonesia, udah paling selatan, pasti Cina Indonesia itu yang paling OK! Gue melupakan segala logika bahwa lokasi geografis tidak bisa mempengaruhi bentuk wajah.

 

Lalu…libur lebaran kemarin gue ke Hongkong, dan perjalanan itu telah mematahkan segala teori yang beredar. Gue langsung teringat kedua teman kuliah yang menyebutkan cina Hong Kong itu lebih cakep-cakep dari Cina Indonesia. Satu detail yang gue sadari ketika menjejak di bumi leluhur adalah, ya, mereka cakep cakep banget.

 

Alis tebal, bulu mata lentik, wajah mulus merona merah, sudah jadi milik umum warga kebanyakan, mulai dari bintang pelem sampai tukang sapu. Bahkan, mata mereka lebih besar daripada milik Cina Indonesia yang sudah minjem darah-darah semua leluhur Jawa, Betawi dan mana-mana lainnya. Di mana-mana sepanjang jalan, gue melihat orang-orang berwajah macam yang di pelem-pelem Hong Kong gitu. Padahal, Hong Kong letaknya lebih utara daripada Yunan, yang mana leluhurnya orang Indonesia itu.

 

Sisi makanan juga salah. Pas ke Beijing, gue turun berkilo-kilo. Pas ke Shang Hai dan ke Gui Lin, gue naik gara-gara doyan nasi goreng Yang Zhe. Pas ke Hong Kong, gue naik berkilo-kilo bersama seluruh keluarga karena makanan yang enak banget. Bahkan, lebih enak daripada makanan Cina di Indonesia yang harusnya cucok berats. Si mamih yang ga suka makan babi aja sampai rela empat hari berturut-turut menyambangi restoran Cheers demi samcian babi garing dan udang King Prawn telor asin.

 

Semua aturan geografis makin Utara makin…Makin selatan selatan makin…bagi keturunan Cina langsung terpatahkan di sini. Mau bilang orang Cina yang di utara lebih jorok? Salah juga! Orang Hong Kong itu bersih sampai paranoid, lebih parah daripada orang Singapur yang di selatan.

 

Di restoran besar sekalipun, mereka mencuci ulang peralatan makan mereka dengan air panas lalu air cuciannya dibuang di baki yang disediakan di tiap meja. Sedangkan kami, si Cina Indonesia ini, malah menggunakan air panas itu buat nyeduh teh! Pasti kita dikira CIna yang jorok sekali! Nggak kebayang jika mereka makan siomay depan kantor yang sendoknya bermerk ‘Sour Sally’. Gue rasa saudara-saudaraku di Hong Kong ini bakal langsung kena kolera.

 

Nampaknya memang sulit membuat generalisasi terhadap penyebaran etnis Cina di dunia ini. Meski sama-sama aseli Cina, ada banyak pengaruh yang membuat satu daerah dengan daerah yang lain jadi berbeda total. Apalagi yang berbentuk kepulauan seperti Hong Kong, Singapura, sampai Indonesia.

 

Kondisi geografis aja nggak cukup. Biarpun di utara lebih susah dan lebih dingin, toh tetep orang Hong Kong lebih ganteng daripada cowo Indonesia yang terbiasa menikmati matahari 24/7. Tapi mungkin pengaruh kondisi geografis + kondisi kultural + kemajuan negara, bisa menarik keluarga cina tertentu untuk tinggal di satu tempat, dan keluarga Cina tersebut melahirkan orang-orang berkarakteristik tertentu.

 

Belum lagi jika para keturunan Cina itu mendapat suntikan darah dari etnis lain, tentu rupanya bakal makin berbeda. Seperti gue yang Cina ini tapi tidak ada sepersepuluhnya rupa saudara di Hong Kong, ketika mencetus bahwa gue akan mudik ke Hong Kong, rekan kerja langsung menaikkan alis.

“Emang loe dari Hong Kong?”

“Enggak sih, tapi kan Hong Kong udah jadi bagian dari Cina. Gue Cina, jadi gue pulang kampung ke Hong Kong!”

“Kenapa nggak ke Arab? Ke Jawa? Atau ke Tanah Abang?”

 

Ah! Iya lupa! Nggak adil kalau gue menyebut Cina Indonesia lebih jelek dari Cina Hong Kong tapi lebih cantik dari Cina Singapur dengan menggunakan gue sebagai takarannya! Udah kurang asli!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *