Di Semarang ada apaan sih? Gue seringkali dihadapkan pada pertanyaan ini, setiap kali gue bepergian ke ibukota Jawa Tengah itu. Bayangan udara lembab semenanjung berpadu dengan terik matahari menyapu gedung-gedung kuno yang mulai digeregoti tanaman liar, membuat setiap penanya, baik yang sudah pernah pergi maupun yang tidak, mengerenyit pesimis.
Petualangan, gue menjawab dalam hati. Masa SD gue diwarnai oleh serial detektif jadul berlatar Semarang berjudul Noni. Lewat kisah karangan Bung Smas itu gue mengenal Gombel, Karang Anyar, Simpang Lima, di saat Noni, sang tokoh utama, merambah sudut-sudut Semarang untuk memecahkan misteri kejahatan.
Tapi tentu saja sedikit orang yang setuju bahwa Semarang berarti petualangan. Habis yang tahu Noni aja kayaknya cuma gue dan anggota keluarga yang sempat tinggal di Semarang. Sekarang saja gue tidak pernah berhasil melengkapi serial itu, lantaran di setiap loakan pun tidak ada yang jual.
Hingga gue mengikuti Tur Jejak Inggris di Jawa bersama tim Penerbit Buku Kompas, dan gue bisa bilang, tuh kan! Semarang tuh seru! Lewat tur 3 malam itu kami dibawa menyadari sebuah fragmen sejarah yang seringkali luput diceritakan, sebuah kisah yang mungkin kalah pamor dengan kisah-kisah lain di negeri ini.
Ternyata, Semarang, yang katanya nggak ada apa-apanya ini, pernah jadi rebutan antara Kerajaan Inggris, Kerajaan Belanda, dan Perancis. Begitu ngebetnya mereka ingin memiliki sepotong kota ini, sehingga Napoleon Bonaparte yang waktu sedang menjajah Belanda sampai berpesan-pesan pada pasukan ‘nafas terakhir’ jangan sampai Semarang ini lepas.
Gue membayangkan Semarang beberapa abad yang lalu itu. Pastilah sama pengapnya, sama gersangnya seperti sekarang yang bisa bikin basah-ketek dalam waktu lima menit. Ibaratnya perempuan, ini pasti bukan yang paling cantiknya. Lantas mengapa tiga negara ‘raksasa’ ini berbondong-bodong datang buat berantem di negeri orang?
Ternyata karena seperti kata iklan, mereka melihat apa yang tidak dilihat oleh orang Indonesia sendiri. Ketika mereka mendaratkan kapal di pelabuhan, mereka melihat teluk naga; sebuah kota tepi laut berlatar tujuh gunung gemunung. Inilah pintu masuk menuju jantung Pulau Jawa. Letaknya strategis sebagai pusat perdagangan rempah dan barang lainnya.
Sungguh ironis, sebuah kota yang dicuekkin, justru jadi rebutan bangsa lain. Saat itu gue berpikir, jika perkara satu daerah saja sudah dianggap sepele, bayangkan berapa banyak sejarah bangsa yang dianggap enteng dan tidak dibanggakan.
Kasus perang Inggris ini misalnya. Dalam buku sejarah, semua dirangkum dalam 3 paragraf pendek yang intinya: Indonesia kalah aja. Kita itu bodo dan kudet, wajar aja dijajah.
Tanpa pernah menyadari bahwa perang Inggris melawan SATU kerajaan di Jawa adalah perang terbesar Inggris era itu. Begitu berat di ongkosnya dan begitu pentingnya, hingga Inggris merasa tidak sanggup jika harus menghadapi terlalu banyak kerajaan di Indonesia. Satu saja sudah bikin repot.
Saat itulah ditetapkan bahwa Indonesia harus dibuat menjadi negara yang tidak berbangga. Karena jika bangsa ini menyadari kemasyuran mereka dan bangkit memberontak, tidak ada bangsa lain di dunia yang dapat menandingi kekuatannya.
Begitu takutnya akan kesadaran bangsa ini hingga di hari pertama Inggris menaklukkan Kesultanan Yogyakarta, mereka langsung melucuti pusaka keraton serta merampas habis semua kitab-kitab dari jaman kerajaan Hindu-Budha yang menjadi acuan peradaban nenek moyang Indonesia. Hingga kini, kitab-kitab itu tidak pernah kembali ke Indonesia.
Sebagai gantinya, Raffless menulis buku History of Java, sebuah buku berdasarkan cerita dan fakta-fakta tentang Indonesia, hanya dipoles dan dipercantik sana-sini. Tujuannya adalah agar bangsa ini kehilangan referensinya terhadap seberapa besar ia bisa berkembang. Juga tidak punya panduan tentang kebudayaan yang berhasil memajukan bangsa.
Inggris lalu memajang meriam dan pamer kekuasaan, seolah menandakan, elu mah gak ada apa-apanya, lu maju gue gibas! Padahal, itu hanya taktik karena Inggris tidak akan mampu melakukan perang seperti di Jawa lagi.
Demikian juga dengan Perang Diponegoro. Dibalik woro-woro satu lagi pahlawan Indonesia yang dikadalin Belanda, sang penjajah tahu pasti bahwa mereka sebenarnya tidak akan pernah bisa mengalahkan Diponegoro jika bukan karena iming-iming perdamaian dan umroh gratis.
Begitu traumanya hingga Belanda hingga 100 tahun ke depan masih melarang penerbitan foto Pangeran Diponegoro dengan sorban. Takut simbol-simbol ini jadi pemersatu lalu bangkitlah rakyat Indonesia. Bisa repot. Setiap kali ada keturunan Sang Pangeran yang potensial, mereka diasingkan, dijauhkan dari akar masyurnya.
Lambat laun taktik ini berhasil. Berulang kali dilibas mentalnya, digebuk harkatnya dan dicabut dari akar sejarahnya membuat bangsa ini tumbuh jadi bangsa yang minder. Merasa tidak berdaya dan selalu inferior dibandingkan bangsa lain. Orang tua yang minder melahirkan anak-anak yang minder. Anak-anak yang minder membuahkan cucu-cucu yang minder.
Demikian seterusnya hingga bahkan setelah penjajahnya angkat kaki, mental ini tetap melekat pada generasi hingga saat ini. Merasa diri bobrok, banyak utang, mental tikus, membuat para bule-bule dari desa terpencil di Eropa bisa seenaknya jadi bos di kota besar Jakarta.
Lebih parah lagi, karena merasa negara ini sudah ‘tidak ada obatnya’, lantas fokus pasrah mengikuti arus, menjadi salah satu koruptor tukang boong yang cari selamat memperkaya diri sendiri.
Padahal, kita pernah jadi bangsa yang PEDE. Kita pernah jadi pusat peradaban Asia. Gajah Mada pernah punya mimpi menyatukan Nusantara.
Kita bahkan masih jadi bangsa yang PEDE saat Inggris menginvasi Keraton. Sultan Hamengkubuwono II saat itu menolak untuk gencatan senjata dan bernegosiasi. Kalau gue jadi HB II waktu itu juga gue gak bakal mau. Gue punya 7000 pasukan lawan Inggris yang cuma 2000. Persenjataan gue lengkap. Gue tarung di tanah sendiri. Siape elu?
Kita juga seharusnya tetep pede karena bangsa Indonesia tetap punya kemampuan seperti dulu. Saat gue kuliah, mahasiswa Indonesia itu yang paling pinter-pinter, biasanya lulus jajaran terbaik. Orang Indonesia juga kreatif luar biasa; baca saja rentetan meme Ibu Pengabdi Setan. Sayang PEDE itu kemudian luntur… Dan dengan menyepelekan jati diri bangsa kita sudah menyukseskan program penjajah jauh setelah merdeka!
Kita, elu kali! Sesaat gue tertawa sendiri membaca ulang tulisan ini. Siapa gue, nyuruh-nyuruh orang Endonesah PEDE melawan penjajah mental. Bahkan mungkin buat sebagian orang yang percaya dikotomi pri-nonpri era Orba malah meyakini kalau guelah si aseng penjajah.
Macamnya Peter Carey, si penulis buku Inggris di Jawa, dosen Oxford ahli sejarah Indonesia yang mati-matian meyakinkan generasi muda bangsa ini betapa kerennya kita, dengan memboyong kami dalam tur sejarah.
Mungkin memang kerennya Indonesia ini cuma bisa dilihat kacamata si aseng dan asing. Seperti Semarang di mata orang Inggris dan Belanda. Dan itu telah membuat Peter Carey, atau gue di skala yang lebih kecil, merasa ingin sekali jadi bagian dari bangsa keren ini dan ingin warganya berbangga hati. Yah kalau boleh.. kalau yang merasa penduduk asli nggak keberatan sih…