Koper atau ransel?
Beberapa tahun yang lalu sempat ada sebuah acara TV yang mengusung tema ini. Tentang dua orang yang melakukan perjalanan ke tempat yang sama, tapi dengan gaya yang berbeda.
Koper, melambangkan perjalanan yang ‘lux’. Namanya juga bawa koper, pasti nggak bisa dipanggul-panggul berjam-jam ke atas gunung. Nggak bisa juga digeret-geret ke hotel terpencil yang jalanannya rusak. Koper, cocoknya diturunin dari mobil lalu masuk ke lobby hotel. Yang mewah, kalau bisa.
Sedangkan ransel, mewakili genre travel sebaliknya. Genre yang lebih susah. Yang tinggal di tempat-tempat termurah, yang dicapai dengan cara yang sulit juga. Kalau ditaroh di depan hotel bisa-bisa dianggap buntelan sampah. Namun biasanya, para wisatawan ransel jadi bisa mengunjungi lebih banyak tempat dan mendapat lebih banyak pengalaman.
Jadi, koper atau ransel?
Kalau gue pribadi, tentu pilih yang koper dong. Siapa sih yang nggak suka kenyamanan hidup? Lagipula di mana gue harus menaruh berbagai barang rempong gue itu, alat make-up, obat cuci muka dan serangkaian suplemen diet? Di ransel nggak keren. Di tas selempang bisa membuat skoliosis.
Namun sayangnya, dengan keterbatasan dana dan niat jalan-jalan yang sedikit terlalu besar, gue lebih sering berakhir memilih cara ransel. Tinggal di mana saja OK asalkan terdapat cadangan air bersih. Kalau pergi harus dengan pesawat yang sedikit mengancam nyawa, ya sudah lah, daripada nggak berangkat.
Terlalu seringnya gue ‘terpaksa’ mengambil opsi ransel, hingga akhirnya gue sudah lupa rasanya jalan-jalan ala koper. Dan ketika saat ke Gili Trawangan kemarin gue kembali berkesempatan menikmati akomodasi ‘koper’, tiba-tiba gue merasa tidak nyaman dan ingin kembali nge-ransel.
Gue mengawali perjalanan gue dengan cara yang gue kenal, cara ransel. Tiba di Lombok tengah malam, gue menginap di sebuah hotel di kawasan kota Mataram, dekat Matahari Department Store, jauh dari pantai yang seharusnya adalah cita rasa jalan-jalan ke Lombok. Semalamnya kurang dari Rp. 500,000,-
Nggak masalah, yang penting gue bisa merebahkan diri di malam hari. Kamar bersih dan ada HBO, bahkan ada kolam renang. Perkara esok paginya gue bangun seolah di tengah taman kota karena banyak yang piknik, ah sudahlah, itu kan hanya lima menit yang canggung.
Gue kemudian menyeberang ke Gili Trawangan dengan kapal penumpang umum. Kapal yang ketika ditanya ‘berangkat jam berapa?’ jawabannya adalah ‘nanti kalau sudah 25 orang’. Kenyataannya kapal berkapasitas 40 orang itu diisi penuh hingga 60 orang. Plus koper gue yang tetap gigih mempertahankan status meski sedang naik transportasi ransel.
Di Gili, berkat entah liburan apa yang membuat kepadatan hotel mencapai angka fantastis 80%, gue tidak tinggal di hotel paling wah di sana. Sebuah villa dekat daerah barat yang lebih sepi. Nggak masalah sama sekali. Meski mereka memasang keran air panas terbalik, air panasnya sempurna. Sarapan juga penuh charge plus plus, tapi secara kuantitas dan rasa, cukup baik.
Lagipula, ini Gili. Tempat di mana setiap orang tanpa peduli kasta dan golongan dapat goler-goler di pantai berpasir putih sambil mendengar musik reggae dan teler dengan substansi lokal. We are family, every little things is gonna be alright.
Gue menikmati perjalanan naik‘public boat keliling Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Jauh lebih murah, dan super puas dengan durasi yang panjang, meski tetap kelebihan muatan dan habis-habisan dikeroyok ubur-ubur.
Lalu gue kembali ke Lombok, untuk menginap di daerah Senggigi. Tinggal di hotel bintang lima yang punya private beach. Ini harusnya jadi highlight. Akhirnya jati diri koper gue dapat dipuaskan. Namun berada di tempat di mana koper gue akhirnya tidak saltum, gue malah merasa risih.
Tentu saja, senyum manis menyapa gue ketika tiba di pelabuhan. Ada penjemputan dengan mobil berlogo hotel. Senyum yang sama lebarnya, sama bentuknya juga menyambut gue di hotel, lengkap dengan minuman selamat datang.
Namun gue tidak bisa menghilangkan rasa merinding, membayangkan, betapa palsunya senyum itu. Betapa jika gue bukan tamu hotel ini, gue bakal ditendang keluar tanpa ada senyum setipis apapun. Bayangan yang mungkin juga muncul karena itulah yang persis terjadi sehari sebelumnya.
Ketika minta dijemput di pelabuhan, gue ditanya berkali-kali apakah gue benar-benar akan tinggal di hotel tersebut. Meskipun sudah ada daftar tamu yang harusnya terkomputerisasi, mereka tetap menggunakan momen ini untuk membuat gue merasa rendah diri dan bertanya-tanya apakah gue sungguh layak tinggal di hotel mereka.
Seolah bagian dari klarifikasi, gue berkali-kali juga di mana gue tinggal di Gili Trawangan. Apakah di resor terhits di sana? Tidak, gue jawab. Dan terdengar nada ‘ooo…’ panjang yang seolah bertanya jika gue tidak mampu membayar resor hits itu, apakah mampu gue membayar sebuah hotel chain internasional?
Dan setelah berhasil menemukan nama gue di daftar tamu, sebagai penutup mereka kembali menegaskan bahwa fasilitas ini di luar fasilitas hotel, dan harap gue sungguh-sungguh membayarnya lunas. Oh, nggak ada cicilan nol persen ya mas? Sebuah pertanyaan dan jawaban yang redundant menurut gue, karena kalau gue nggak tinggal di situ ngapain juga gue minta dianter ke daerah jin buang anak?
Kembali ke hotel mewah, gue menemukan gue sama sekali tidak menikmati pengalaman gue. Ya, tentu saja gue naik Fortuner ke mana-mana. Tentu saja ada seribu pelayan yang mengantar makanan, menegur kiri kanan, mengambilkan handuk. Tapi semuanya begitu commercialized.
Tidak ada keramahan dan semangat ingin membantu yang terasa kental di setiap guest house dan villa yang gue tinggali. Semua yang ada di sini kerja, mungkin dengan gaji yang minim dan jam kerja yang panjang. Wajar saja tidak ada yang ingin melakukan extra miles. Semua usaha dihitung dengan uang.
Gue akan dibawa ke pusat kerajinan mutiara yang mahal melintir. Tipe yang akan memberi komisi pada supir. Harga diantar naik mobil makan ayam taliwang bisa lebih mahal daripada harga tur public boat gue satu hari. Dan, melangkah keluar hotel menuju pantai, gue langsung dikerubuti preman dan pedagang asongan, meyakini gue adalah bank baru bagi mereka.
Gue bertanya-tanya apakah gue sekadar menjadi manusia sinis yang karena ketidakmampuannya mencela segala kemapanan dunia. Namun, mengawali kesukaan jalan-jalan dari sebuah perjalanan jurnalistik, gue menyadari penuh betapa pentingnya interaksi manusia dalam sebuah perjalanan.
It’s all that makes it meaningful. Gue hanya kangen diperlakukan seperti manusia biasa, bukan nyonyah, bukan juga gembel. Kangen berkawan dengan resepsionis. Bertukar canda tanpa harus dicurigai gila atau harus membayar extra charge. Gue kangen kehangatan pemilik usaha yang karena membuka hotelnya dengan penuh cinta, dapat selalu membagikannya pada tamunya.
Berada dalam mobil mewah sendirian gue malah bosan. Gue tidak bisa mengamati beragam penumpang kapal kotok dan berusaha mengidentifikasikan apakah mereka datang dari Surabaya, Jakarta, atau Lombok. Atau mengetahui bagaimana turis dari London, Lyon, dan kota besar lainnya menilai Indonesia lewat Gili Trawangan, seperti dalam sebuah public boat.
Lagipula, secara mengejutkan, bukan berarti standar akomodasinya jadi lebih tinggi, lho! Hotel besar yang punya ratusan kamar itu selalu berjuang melawan penuaan dan perawatan berbiaya besar. Akhirnya cenderung kuno dan kamarnya jadi kecil-kecil.
Masuk kamar di hotel mewah Senggigi itu gue langsung protes. Kamar mandi gue di villa tak dikenal di Gili Trawangan gue itu jauh lebih besar dan mewah dibandingkan kamar tidurnya.
Buffet breakfast besar yang melimpah ruah dengan iringan denting piano juga tidak membuat gue terkesima. Akhirnya, gue toh cuma akan mengambil beberapa piring makanan, membiarkan sisanya dibuang percuma.
Dan apa yang ada di piring gue itu dingin, tidak khas daerah, tidak selezat makan di pinggir pantai Gili Trawangan. Jusnya palsu, bukan jus asli seperti welcome drink di Gili Trawangan.
Nampaknya koper melawan ransel itu harus direvisi. Bukan standar bintangnya yang mengidentifikasikan, melainkan pengalaman yang diberikan. Di setiap boutique villa yang gue singgahi, gue merasa jadi penting. Setiap orang di sana sangat ramah dan selalu siap membantu, mulai dari menjelaskan peta hingga mencarikan sepeda tandem. Di situ, gue merasa senyaman menggulingkan koper saat berjalan.
Sebaliknya, di hotel mewah berbintang gue merasa jadi rakyat semenjana. Seperti ada notion bahwa gue ini hanya dianggap penting hari ini saja, besok, jadi pembantu lagi. Gue mendapat fasilitas namun merasa kaku. Yang rasanya seperti ini, di Jakarta juga banyak ketika bekerja. Ngapain gue jauh-jauh ke Lombok kalau rasanya seperti di kantor? Rasanya seperti memanggul ransel 15 kg ke atas gunung.
Tentu saja, itu semua tanpa menghilangkan esensi rasa yang harus kualitas internasional. Kamar yang bersih dan nyaman, makanan standar master chef, dan skala keamanan juga harus terjamin. Kadang, memang semua itu ada pada sebuah standar hotel berbintang. Tapi terkadang, bintang di langit lebih menjamin!