Korban Move-On

“Gue sih nggak bahagia sama pernikahan gue, tapi gue akan tetap pertahanin, buat menghukum mantan pacar gue!” ia berujar gagah, dengan suara bulat mantab.

 

“Tunggu, tunggu bentar.. yang ga bahagia dalam perkawinan, eloe?” gue bertanya mencoba mengklarifikasi.

“Iya,” jawabnnya mantab

“Yang dihukum, mantan loe?”

“Iya,”  jawabnya makin yakin.

“I see..” gue manggut-manggut, berusaha menelaah logika gaya baru ini. Emang sih di socmed orang gila makin banyak. Cuma gue kira gilanya cuma urusan agama dan pulitik aja. Mana tau, urusan mantan juga ogeng!

“Loe tau kan mantan loe udah punya pacar lagi sejak putus sama loe? Empat orang kalau ga salah, dua bahkan dipacarin di waktu bersamaan?”

“Iya, dia tuh ngelakuin itu sebagai pelarian, gue yakin dia tuh cinta mati sama gue!”

“I see…” gue kembali menelan cucoklogi edisi berikut. Pacar barunya si mbak mantan ini oke-oke banget! Gue juga mao lari-lari sama yang kayak begini.

 

“Eh tapi bukannya loe yang ninggalin die? Kenapa die yang musti dihukum?” bak seorang masokis gue kembali mencecar kegilaan.

“Ya tapi die yang bikin gue akhirnya memilih nikah! Coba kalau dia nggak gitu, gue pasti udah nikah sama dia dan gue akan lebih bahagia! Sekarang gue jadi harus hidup menderita! Pokoknya gue akan membuat dia sama menderitanya dengan gue!”

“Dengan mempertahankan pernikahan loe yang gak hepi ini?”

“Iya!”

“I see..”

 

Gue melonggarkan tenggorokan dengan menelan French fries sejumput penuh. Keselek. Lalu menegak es teh. Berharap pahitnya teh tawar ini dapat melumerkan waktu mempercepat waktu pulang. Gue takut ketularan gila.

 

Gue membayangkan kalau sang mantan yang mendengar pembicaraan ini, responnya bakalan LAH BODOAMAT.. bahkan bisa jadi ‘Ini mantan yang mana sih?’

 

Gaes.. gaess.. sini yaa.. gue bisikin rahasia move on paling tokcer.. STOP MENJADIKAN ORANG LAIN DASAR KEPUTUSAN LOE! PLIS!

 

When we put our highest emotion to someone, we often think that what we could influence that very person. Tapi masalahnya emosi itu adanya di kita. Dan sebanyak usaha kita mentransfer emosi, yang tersampaikan hanya ekspresinya, bukan emosi dasarnya. Tergantung yang nerima, tertular emosi dasar itu atau tidak.

 

Kalau ada orang yang sedih patah hati lalu bunuh diri, yang mati ya yang bunuh diri. Pasangannya paling sedih bentar, lalu terus melanjutkan hidup.

 

Tapi dalam proses menyampaikan emosi itu, sebenarnya seseorang malah terbelit lebih dalam dengan emosinya sendiri.

 

Pernah dengar seseorang yang bilang ‘kalau saya nggak bisa memiliki dia, orang lain juga tidak!’? Coba tebak siapa yang udah pasti nggak bisa dimiliki orang lain? Ya yang ngomong!

 

Segala usaha untuk menjauhkan seseorang itu dari orang lain bisa berhasil bisa enggak. Tapi dalam segala usaha itu, orang yang mengusahakan akan memusatkan pikiran dan tenaganya. Ia tidak akan punya waktu untuk memperhatikan orang lain di sekitarnya. Dan dengan begitu ia sebenarnya telah tidak membiarkan dirinya dimiliki orang lain.

 

Ironisnya, usaha untuk mulai berhenti sok-sok mempengaruhi hidup orang lain justru hanya bisa terjadi jika seseorang mulai bertanggung jawab atas keputusan dan kejadian hidupnya.

 

Bab satu dalam buku How to Win Friend and Influence People karya Dale Carnegie menegaskan satu hal, ga ada satu orang pun, pembunuh berantai sekalipun, yang merasa dirinya jahat. Nggak ada. Setiap orang selalu menjadi satu-satunya orang yang dapat melihat sisi baik dari.. diri sendiri.

 

Manusia nggak ada yang mau salah. Dan kalaupun, secara sah dan meyakinkan terbukti di mata hukum kita ternyata salah, sang manusia akan mencari cara untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kesalahan dibuat.. karena orang lain.

 

Begitu pinginnya manusia jadi bener sehingga akhirnya manusia menciptakan suatu ilusi yang ia percayai betul-betul terjadi, hingga menggantikan realita yang sebenarnya.

 

Pembunuh berdarah dingin menyalahkan korbannya yang ngehe atas pembunuhan yang dilakukan. Kalau korbannya ternyata nggak nyebelin, ia akan menyalahkan keadaan, menyalahkan orang tua yang KDRT, menyalahkan kehidupan masyarakat yang busuk, lalu.. menyalahkan TUHAN..

 

Dalam skala yang lebih cemen, hal ini terjadi dalam peristiwa move-on. We hate to claim that we lose a person we really like, because of us. Nggak, kita nggak pernah salah. Kita akan bilang kalau orang itu yang ninggalin, biarpun kenyataannya kita kewong duluan. Makanya kita yakin orangnya bakal balik. Kita OK kok!

 

Begitu yakinnya kita bahwa kita tidak akan melakukan sesuatu yang membuat orang lain KZL, hingga kita membuat suatu realita baru. Di mana dalam dunia itu, bayi tidak berdosa ditinggalkan begitu saja karena orang itu jahat, bukan salah bayinya dong..

 

Padahal, it’s much easier to claim that the mistake is ours. Tinggal mengakui secara jujur dan terbuka, iya, eike salah.. eike orangnya nyebelin.. wajar aja ditinggalin.

 

Maka membiarkan seseorang pergi dari hidup karena.. eventhough I am irritating I don’t want to change who I am for you, akan terasa lebih mudah. Dan tidak ada kebutuhan untuk balas dendam dan mempengaruhi hidup orang lain dalam fantasi fana yang telah kau ciptakan, hey.. hey.. hey..

 

Ya gak apa juga sih, kalau memang mau susah sendiri. Mau hidup untuk seorang yang bahkan udah lari-lari bugil sama orang lain. Tapi di dunia yang serba terkait ini, apa yang dilakukan seseorang seringkali punya dampak mendalam justru pada orang-orang di sekitar, yang nggak ada kaitannya obyek terarah.

 

Sakit hati karena capres pilihannya kalah, jadi sibuk nyebar hoax ke mana-mana. Sampe udah mau pilpres lagi, temen-temen yang nggak ikutan voting karena sudah pindah kewarganegaraan dibuat ikut empet.

 

Kesel karena cagubnya ga kepilih, jadi nyumpahin biar banjir turun lagi. Lalu setelah banjir diketawain. Ya nikmat sih, gue harus mengakui, di saat gue gak kebanjiran tapi orang lain kebanjiran.. Tapiii apakah bener yang banjir itu semuanya nyoblos gubernur terpilih?

 

Sedangkan, Jokowi mah tetep aja jadi presiden, ngeresmiin tol sana sini. Tanah abang tetep aja ditutup, biarpun udah ada petisi tanda tangan begitu banyak orang.

 

Dan yang terburuk, adalah ketika kemudian dalam perjalanan menghukum seseorang, we punish people who matters, who care about us the most.

 

Move on habis disantet buat gue adalah salah satu ujian terberat dalam hidup. Siapa yang gak keki, lalu gue berfokus untuk menghukum orang-orang yang telah mencelakai gue. Mampus loe Mampus loe.

 

Dalam perjalanan itu tentunya sebagai seseorang yang doanya pas-pasan musuhnya banyak, gue lebih banyak jatuh sakit lagi daripada sehat. Hingga seorang teman mengingatkan,

 

“ya gak papa sih Gy, loe mau menempuh semua ini, karena loe care dengan orang lain, dan loe mau orang yang menurut loe salah dihukum, tapi moga-moga loe ga lupa, bahwa selain orang ini, ada gue, ada Ipin, keluarga, ada temen-temen loe yang khawatir banget sama loe, dan kita semua jadi sedih ngeliat loe sakit terus..”

 

Dhuar-dhuar dhuar.. saat itulah gue menyadari betapa susah move-on nya gue mungkin telah makan korban. Semata karena gue yakin yang gue lakukan mempengaruhi orang lain. Semata karena gue.. nggak ridhoan anaknya..

 

Dan ternyata, memang nrimo kalau yang terjadi dalam diri gue adalah buah kengehe-an gue di masa lampau, dan menyadari bahwa semakin ngehe tidak mempengaruhi siapa-siapa kecuali gue sendiri, membuat gue move on tanpa dicari-cari. Tapi sayangnya gue gak punya cukup kesabaran untuk bercerita seperti ini pada pemuda Gagal Move on.

 

Gue musti buru-buru kabur! Moon maaph, gue dah nggak sanggup nahan ketawa. Takut orangnya kesinggungan lalu gue juga ikutan dibuat ‘menderita’!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *