#Kulblog

My exboyfriend is on Twitter

Dan itu membuat gue galau.

Dengan sifat ganggu yang dimiliki sebagian besar dari mereka, dan kecomelan gue dalam menjelek-jelekkan orang lain, terutama mantan, di ranah publik, kami bisa terjebak dalam twitwar! Idih amit-amit. Bagi gue, tidak ada yang lebih hina dalam aktivitas twitter daripada berantem dengan 140 karakter per argumen DENGAN MANTAN PACAR. Itu buruk sekali bagi pencitraan. Tidak elegan, tidak classy, dan sangat patetik.

Itulah sebabnya, dulu, saat gue berkeluh kesah pada Tuhan mengapa tidak berhenti menghukum gue atas kesalahan memilih pacar di masa lalu, gue selalu menyembatkan diri bersyukur bahwa tidak ada satupun dari masa lalu gue yang menyebut diri mereka blogger, influencer, social media expert, atau Marisa Haque.

 

Dan gue bersyukur bahwa setidaknya beberapa hubungan terakhir is bad enough, untuk membuat kami saling blokir di Facebook dan segala bentuk messenger-an. Beberapa bahkan sampai perlu menghapus akun social media mereka, selamanya. Puji Tuhan. Mungkin agar tidak teringat pernah punya pacar yang cari makan lewat internet macam gue .

 

Itu dulu.

Dua hari lalu, seorang mantan menyatakan ia sudah memiliki sebuah akun Twitter dan bernisiatif untuk saling follow. Oh tidak. Selamat tinggal freedom of expression. Setelah dia menjadi teman di BBM hingga tak bisa terlalu sering ganti status, dan kurang ekspresif di messenger karena berteman dengan rekan kerja, kini gue pun tak bisa comel di twitter.

 

Sudah jarang nge-twit, sekarang gue harus lebih berhati-hati dan sedikit menyensor diri dalam setiap perkataan dan perilaku. Kalau tidak, gue yakin akan muncul urusan dapur gosong yang ditandai dengan angka agar mudah diikuti dalam timeline gue. Amit-amit.

 

Mungkin ini yang dirasakan oleh mereka yang followernya ribuan lalu akhirnya jadi sering kultwit, gue berpikir. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pribadi seseorang dalam twitter atau blognya akan berubah, seiring dengan bertambahnya pembaca atau follower-nya. Begitu mencapai angka psikologis 1000, akan muncul perubahan, angka psikologis 10.000 lebih-lebih lagi.

 

Hal ini karena concern utama pemilik Twitter sudah tidak lagi pada dirinya dan apa yang ingin dikatakannya, melainkan bergeser pada para pembaca alias pengikutnya itu. Ia mulai mengetwit, bukan karena ingin atau butuh, tetapi karena merasa pembacanya butuh twit tersebut. Ia mulai mereka-reka apa keinginan pembacanya, dan menulis sesuai dengan keinginan, agar terus disukai.

 

Seorang kenalan influencer pernah menyatakan, bahwa ia kini tidak bisa lagi nge-twit seperti dulu. “Banyak followers gue itu ABG, mereka lagi proses mencari jati diri. Gue harus ngetwit yang memberi contoh baik buat mereka, gue harus pikirin apa yang baik buat mereka,” demikian jelasnya saat diprotes timelinenya tidak terlalu menceritakan kehidupan sebenarnya.

 

Itulah sebabnya, banyak twitter kondyang yang makin sering kultwit, menjadi lebih arif dan bijaksana atau berusaha lebih lucu dibandingkan dengan diri yang sebenarnya. Pencitraan dunia maya. Padahal, mungkin yang membuatnya difollow 1000 orang, atau 10.000 orang, justru adalah dirinya yang apa adanya. Jika dia artis, itu karena ia jujur dan membuat penggemar melihat sisi lain dari glits dan glamor kehidupan yang ditampilkan di media lain.

 

Dan pengikut berakhir menjadi sebuah kutukan daripada anugerah, kecuali dalam hal menjadi influencer. Karena tanpa sadar, pembaca itu telah mematikan ‘diri’ pemilik akun, dan menyensor hingga tak lagi bebas mengekspresikan pendapatnya yang sejujur-jujurnya.

 

Kalau dalam kasus gue, tidak ada follower atau pembaca yang jumlahnya ribuan. Tapi memikirkan SATU follower gue yang satu itu telah membuat menjadi harus berpura-pura dalam satu aspek kehidupan di mana seharusnya gue bisa bebas jujur dan jahat.

 

Gue lalu mempertimbangkan bagaimana caranya agar tidak terjebak dalam fenomena sedemikian. Punya follower ribuan juga kagak, tapi sudah harus sensor diri. Mungkin dengan tidak nge-twit sama sekali. Punya akun social media ya berarti ikut dalam rat race itu, yang punya banyak anggota, yang menang. Konsekuensi, you know… Kita memang tidak melakukannya untuk diri sendiri.

 

Ya udah sih, kalau sebel sama orang disimpen dalam hati aja, atau dibagi ke orang-orang terdekat, ngapain juga hal-hal personal dibagi-bagi di ranah publik macamnya twitter. Kayak Ababil aja. Perlu ya semua orang tahu curhatan loe?

 

No…no..you don’t get it!! Gue langsung menyangkal. Jelas perlu! Marissa Haque yang jelas udah nggak ABG aja perlu! Kenyataannya, we love to share our personal stuff in public. Manusia suka memajang foto profil narsis meski dikomen orang nggak jelas, ingin isi hatinya diketahui seluruh dunia. Itulah mengapa Facebook sahamnya mahal, dan di masa yang lebih lalu, ada studio Malibu sama antrian M-photostudio.

 

Kalau gue nggak perlu, ngapain gue ngeblog dari dulu. Itu kan tujuannya hanya untuk mencela-cela orang. Dan salah satu fitur yang gue nikmati sekali adalah, karena dengan begitu, gue dapat dukungan. Gue tidak mencela-cela sendirian. Yang membaca dan setuju seperti berkata AMIN terhadap celaan gue. Apa yang lebih nikmat daripada rame-rame menertawakan orang lain? Kita kan anak gank. Ha! Ha! Ha!

 

Tapi sekarang bagaimana caranya agar cacian itu didengar secara publik, oleh semua orang, kecuali satu orang yang sedang dicaci, agar satu orang ini tetap tahu dari orang lain, tapi tidak secara langsung bahwa gue mencacinya. Kompleks memang hidup bermasyarakat itu…

 

Dengan kebutuhan ini, membuat jejaring social gue menjadi privat itu bukan solusi. Memang aman, karena gue bisa tetap mencela di hadapan publik, tanpa perlu khawatir berada di republik yang salah. Tapi tetep aja, terbatas. Yang harusnya mencela bersama 1000 orang, sekarang hanya mencela bersama 200 orang. Ih apa serunya. Kalau cuma untuk teman dekat, langsung aja kumpulin anak-anak SMA sekalian reunian. Atau gelar symposium di kantor. Malah bisa langsung saling menanggapi.

 

Juga tidak dengan membuat akun baru dengan nama palsu. Cari follower untuk satu akun saja susahnya setengah mati. Bahkan sampai ada yang harus kursus dan pakai trik dari social media expert tentang menambah follower. Gue butuh promo besar-besaran agar semua teman-teman yang lama tahu gue punya akun palsu. Dan dengan demikian berakhirlah sudah keanoniman dari akun tersebut…

 

Baiknya satu orang itu diblok aja, gue tergoda. Seperti saat menghapus kontak dari BBM lalu pura-pura tidak terima re-invite. Nggak! Nggak! Nggak bisa begitu! Salah secara norma sosial! Kita harus menjaga hubungan baik dengan siapapun dimanapun, meskipun sebenarnya nggak mau. Kita harus ramah tamah dan saling menghormati meskipun pingin ngegampar.

 

Kalau diketahui bahwa gue ngeblok satu orang, apa kata orang tersebut. Pasti gue sama patetiknya seperti kalau sedang twitwar. Blok itu sikap bermusuhan, dan biasanya hanya orang sakit hati yang musuhan. No way man, gue bukan perempuan bitter, gue laku lho.

 

Bahkan mengubah network yang diajukan, dari ‘friends’ menjadi ‘online buddy’ saja terasa kurang etis. Seolah menyatakan, maaf, ya, kita belum kenal-kenal dekat tuh, jadi online buddy aja dulu dhe ya, jangan sok-sok jadi temen. Howwww?

 

Mungkin sudah waktunya menciptakan jejaring social yang baru. Sambil berharap adaptasi teknologi beliau jauh lebih lambat dibandingkan dengan teman-teman sejawat. Atau justru sebaliknya, balik ke era blog macam ini. Dipikir-pikir, sudah makin jarang yang berantem via komentar dalam blog, kecuali di blog yang punya jasa blogging ini.

 

Lagipula, dari dulu gue mencela sesuka hati, anak baru twitter itu juga nggak pernah membuat onar. Entah karena beliau sudah lupa alamat URL-nya, atau selalu membaca sambil hati keki, tapi tidak berani berkomentar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *