Ini kok tiap kali makan selalu sejuta, sih? Begitu si mamih protes, ketika melihat tagihan makan kali ini.
Sebenarnya ketika pertama kali berencana pergi berlibur ke Swiss, kami sudah mempersiapkan mental. Swiss konon merupakan salah satu negara termahal di Eropa. Sedangkan Zermatt dan St Moritz, adalah dua resor ski yang dianggap eksklusif di sana.
Ati-ati loe, di sana pokoknya ga ada yang harganya di bawah sejuta, demikian Oknum R memperingatkan saat itu. Dengan peringatan macam itu, tentu kami sekeluarga lebih berhati-hati membelanjakan uang.
Makan siang pertama kami sederhana, tidak dengan appetizer lalu dessert macamnya keluarga koruptor lagi jalan-jalan. Hanya rosti dengan susis menghabiskan uang senilai sejutaan. Ok, ini mahal, kami bersepakat, dan bertekad untuk tidak makan malam.
Jadilah di malam hari kami memutuskan untuk sekadar makan cheese fondue, sejenis keju leleh yang dimakan bersama roti,yang konon merupakan makanan khas daerah ini. Satu saja untuk bertiga, ditambah teh agar hangat. Dan bon yang keluar? Sejuta lagi. Nggak enak pula. Rasanya seperti makan roti dengan lelehan kaus kaki.
Kalau begitu besok kita jangan sok-sok-an makan ala Swiss. Semua di Swiss itu mahal! Dan ala swis brarti ala mahal! Begitu kesimpulan kami membuat kami mengarah pada Mc.Donalds keesokan harinya. Mc.Donalds harganya standard, ya kan?
Salah besar. Harga Mc Donald situ mengikuti kesejahteraan rakyat di daerah tempat ia berada. Dan ketika bon keluar, surprise, surprise, nilainya sejuta lagi. Idih, amit-amit, kita kapan sih keluar dari Negara ini? Demikian kami akhirnya menjadi frustrasi.
Bukan hanya masalah makanan yang nilainya selalu sejuta, transportasi dan akomodasi juga lumayan mencekik masyarakat dunia ketiga. Seingat gue, untuk naik kereta jarak pendek saja satu tiketnya selalu di atas Rp.300.000,-.
Naik Gelacier Express dari Zermatt ke St Moritz, tiket kelas duanya total menghabiskan sekitar Rp. 7,500,000 bertiga. Upgrade jadi kelas satu plus buffet lengkap? Nambah sekitar 5 juta.
Sepanjang gue berjalan-jalan keliling Zermatt, gue juga tidak berhasil menemukan penginapan murah. Satu-satunya hostel dengan satu kamar berbagi 12 di sana adalah senilai 36 Swiss Franc semalam. Sekitar Rp. 400,000,-.
Sedangkan kamar gue di St Moritz juga sebuah hostel, dengan kamar mandi sharing. Itulah satu-satunya kamar yang bisa gue tiduri dengan nilai hanya sekitar 2 jutaan semalam. Yang lain? 4 juta ke atas.
Dan ke mana souvenir magnet buatan Cina yang murah meriah itu? Cindera mata termurah pasti masih di atas 100 ribu, bahkan kaos bertuliskan I LOVE SWITZERTLAND yang bisa di-KW di Bandung saja harganya setengah juta.
Jangan tanya soal bermain ski, menyewa peralatan ski, atau naik cable car. Percayalah, kalau kita bisa bayar dengan rupiah, maka kita akan perlu nominal baru untuk Rp. 1.000.000,-. Sekali bayar selembar.
Dengan kedaan semacam itu, sudah jelaslah kesimpulan kami: Tidak akan ada orang yang bekerja halal yang mampu tinggal di Swiss. Gue yang di Indonesia tidak miskin-miskin amat, cenderung punya pekerjaan yang baik saja bisa jadi gembel lalu mati kena hipotermia di tengah salju kalau kelamaan tinggal di sini.
Kecuali koruptor dan pelaku pencucian uang, tentunya seseorang harus menjual jiwanya pada dewa-dewa kapitalisme untuk mampu hidup layak sejahtera di Negara yang mahal ini.
Tapi seolah perjalanan ini ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Di Zermatt, kota ski eksklusif itu, tinggalah seorang Jepang. Ia pertama kali datang di Zermatt untuk bermain ski, namun ia kemudian jatuh cinta pada Zermatt dan memutuskan untuk tinggal di sana. Sebuah ide yang gila, bukan?
Tanpa pekerjaan, ia kemudian merintis sebuah usaha travel arrangement khusus untuk turis Jepang yang ingin bermain ski saat musim panas di Zermatt. Pasarnya hanya satu daerah: Jepang. Jenis kegiatannya hanya satu: Mengurus perjalanan ski. Momennya juga terbatas: peak season adalah musim panas.
Tapi dengan bisnis yang begitu sederhana, begitu niche kalau tidak bisa dibilang sempit, ia bisa hidup berkecukupan. Menikah dengan seorang Swiss, punya dua anak. Jangan khawatir, kedua anak mereka bersekolah di tempat yang baik dan mereka punya RUMAH di Swiss. Di tempat gue tidak bisa membayangkan punya meja makan.
Sungguh ironis. Di tempat di mana gue yakin tidak seorangpun bisa hidup tanpa nangis darah setiap malamnya, gue menemukan seseorang yang justru bisa hidup nikmat mengerjakan sesuatu yang ia cintai.
Untuk menambah ironi, gue kembali menemukan contoh serupa di Venezia. Di kota super turis yang segalanya dikomersialisasikan, gue berkenalan dengan sosok Giovanni, pemilik Bed & Breakfast tempat gue menginap.
Tempatnya sangat sederhana. Terletak di lantai dua sebuah bangunan kuno di pinggir area Castello. Namun kamarnya spekta. Ada perapian dan punya dua lantai. Setiap pagi gue disuguhi breakfast istimewa menghadap Grand Canal.
Tentu saja terkesan sulit untuk punya hotel. Cuma Hilton, JW Mariott, atau Aman Jiwo, ya kan? Tapi nyatanya tidak. Giovanni punya effort yang minimal sekali. Setiap pagi ia datang, mengurus pembayaran dan check out tamu hotel sekaligus beramah-tamah. Lalu di sore hari ia pulang ke rumahnya.
Sesekali ia akan datang untuk menunggu tamu yang akan datang. Namun sisanya, hanya ada satu orang asisten rumah tangga membersihkan keenam kamar setiap pagi, membuat sarapan, lalu pulang. Simpel. Tapi menguntungkan. Saat gue tinggal, setidaknya 4 dari 6 kamar terisi. 60% occupancy rate.
Kerja itu pilihan. Tiba-tiba sepotong kalimat itu terlempar dan terngiang di otak gue. Nobody is forcing you to do anything that you don’t like. Nobody forced you to work. YOU are the one telling yourself to do something you hate just because you are too afraid to change.
Pemikiran itu menampar gue, lebih dari harga cheese foundue di Zermatt. Setiap harinya, sebagian besar masyarakat menengah kota Jakarta bangun sebelum matahari terbit sambil mendumel-dumel, membayangkan bos yang menyebalkan, atau setumpuk pekerjaan admin yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Sebagian besar itu makan hati, sendiri maupun keluarga dan teman-teman, merelakan hal-hal yang ingin dilakukan melayang begitu saja karena ‘tidak punya waktu’.
Dan sebagian besar dari masyarakat ini akan menyatakan bahwa mereka ‘terpaksa’. Dihimpit oleh kebutuhan hidup dan tuntutan perkotaan, berhenti kerja saat belum ada pilihan pasti adalah bunuh diri. Jakarta ini lebih kejam daripada ibu tiri!
Padahal siapa sih yang menyatakan bahwa untuk berhasil membayar cicilan KPR, kredit rumah, uang susu dan sekolah anak itu harus menjalani hidup yang KAYAK GINI? Di depan mata gue, ada orang-orang yang hidup santai leha-leha, melakukan sesuatu yang disukainya, dan bisa survive hidup di negara termahal di dunia.
Ah, mereka kan cuma hoki, begitu kemudian, masyarakat menengah yang tidak bahagia ini, termasuk gue berkata. Hanya 1 di antara 1000 orang yang berhasil mencapai impian semacam ini. Sisanya kepleset masuk jurang utang dan ratapan. Kalau hanya 1 di antara 1000, berarti kan hoki.
Atau… bukan hoki, tetapi hanya 1 di antara 1000 orang yang dilahirkan dengan nyali lebih besar. Untuk menyatakan tidak terhadap kemapanan yang nggak mapan-mapan amat. Dan menjadikan waktu senggang mereka, waktu liburan mereka, sebagai pekerjaan full time.
Beberapa tahun silam gue meninggalkan Singapura karena empet saja. Dengan berhenti kerja dari perusahaan berbasis di negeri Singa itu, hilang sudah semua privilege gue sebagai lulusan Singapura. Gaji dan kemapanan gue pasti tidak akan bisa ngejer teman-teman yang lain. Gue menghibur diri dengan berkata: ah hidup di Jakarta kan lebih murah…
Tapi gue terkejut menyadari bahwa dengan tingkat inflasi yang rendah, kenaikan gaji di Singapura juga sangat lamban. Ternyata, penghasilan gue dari gaji pokok dan sejuta sabetan kanan kiri atas bawah yang tidak mungkin gue lakukan di Singapura sudah sama atau lebih tinggi daripada penghasilan rekan sebaya, dengan pengalaman kerja yang sama di perusahaan multinasional.
Pilihan nekat tanpa banyak pertimbangan yang gue ambil beberapa tahun lalu karena membela kesenangan ternyata tidak membuat gue mati. Entah apakah gue terlalu senang kerja di Jakarta, sehingga jadi lebih produktif, entah kepercayaan gue pada industri internet di Indonesia terbukti benar, gue malah bisa hidup lebih enak dibandingkan banyak teman-teman gue yang berkata ‘mau sih pindah ke Jakarta, tapi apa bisa mereka bayar gaji gue?’
Alangkah patetiknya jika gue, demi alasan ‘keamanan’ menerima dimaki-maki bangsa asing dan dipaksa mengikuti budaya mereka karena gue ‘makan dari mereka’. Tentu saja, gue tetap seorang pengecut. Gue tetap bekerja kantoran demi kepentingan kapitalis.
Tapi gue sadar jika gue punya mimpi, it’s time to test it out. Sepulangnya dari Zermatt gue punya aktivitas baru yang cukup gila. Survey lokasi tanah untuk impian membangun boutique villa. Bergadang larut malam untuk membuat jadwal perjalanan bagi usaha online travel consultation. Cari supplier ceker ayam untuk berdagang dengan Cina.
Gila, karena tidak ada satupun yang merupakan latar belakang sehari-hari gue. Gue bukan sales, bukan anak perhotelan, bukan juga pembawa acara travel. Lebih gila lagi, karena gue dalam kondisi BANGKRUT gara-gara Swiss.
Tapi seperti beberapa tahun silam, inilah hal-hal yang gue impikan dan gue percayai. Dan seperti beberapa tahun silam itu, gue juga nggak mau kebanyakan mikir. Setidaknya, kalaupun gue ganti mimpi nantinya, gue bisa punya credibility kalau mau jadi masyarakat menengah Indonesia yang bitter.