License to be Selfish

I did it. Kesalahan terbesar dalam sejarah profesi. Blunder terburuk yang selalu diwanti-wanti para penasihat karir. Penghancur relasi bisnis, penolak bala kesempatan lebih baik, penanda buruknya attitude. Mulai dari sekarang, akan ada coreng besar dalam CV gue. LinkedIn gue akan selamanya dikutuk pemburu talent.  Karena gue mengundurkan diri satu setengah bulan setelah mulai bekerja.

Sekarang saatnya kita semua menghela nafas dan menggumam, gee..that’s too fast..how come?

I can barely defend my decision. Jadi gue akan mengalihkan topik dengan bercerita latar belakang semata.

 

Setelah satu setengah tahun bekerja untuk MSN, gue memutuskan sudah waktunya meninggalkan rumah nyaman gue selama ini. Nasib mujur membawa gue pada pekerjaan baru di sebuah kantor berita online terbesar di Indonesia.  Jabatan yang diberikan? Menjadi lifestyle editor untuk situs gaya hidup terbaru.

 

It’s all that I could dream on.  Sebuah situs yang akan di-manage sendiri. Menjadi ‘ibu’ dari ‘bayi’ yang akan dilahirkan dan ikut dalam segala proses pembentukan embrionya, melahirkannya, hingga membesarkannya. Lebih baik lagi, ini adalah bayi yg sudah pasti akan jadi ‘orang’.

 

Dengan jumlah pembaca saat ini, kekuatan promosi dan brand yang kokoh, situs ini mendapat garansi SUKSES, jauh sebelum dibentuk. Dan ini portal lifestyle, sesuatu yang entah mengapa selalu terasa dekat bagi gue (mungkin karena sok dekat juga).

 

Lalu datanglah pinangan perusahaan lama. MSN menawarkan sebuah peran baru, yang memberi gue kesempatan menyentuh hampir seluruh Asia Tenggara dalam pekerjaan. Sebuah jabatan yang membiarkan gue bermain-main dengan cerita dan foto-foto cantik, bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, berkubang dalam internet, dan dikelilingi my bestest people.

 

Gue berada dalam dua pilihan yang tidak akan bisa dibayangkan oleh seseorang dalam posisi junior seperti gue.  Tak ada yang salah dengan kedua pilihan, tapi setiap orang waras dan warga profesional akan menyarankan hal yang sama: Just stay.

 

Alasannya umum dan jelas: Gue baru 1.5 bulan bekerja. Masa percobaan saja belum beres. Belum berprestasi dan menghasilkan apa-apa. Ketidaknyamanan harus dilawan, menjadikan gue lebih kokoh dan tangguh! Lagipula, siapalah MSN di Indonesia ini. Jika ingin membentuk citra diri dan membangun karir di Indonesia, pindah adalah tindakan bunuh diri.

 

Dan demi pindah yang ‘nanggung’ ini, kurang jauh, kurang tinggi naik pangkatnya, gue akan menghancurkan kredibilitas professional gue.  Seumur hidup gue akan dicap sebagai kutu loncat, tak punya loyalitas, mau untungnya saja, oportunis,yada-yada-syalala. Selamat tinggal mendaki karir yang lebih baik! Seumur hidup orang tak percaya!

 

Gue punya alasan pribadi yang menjadikan pilihan yang satu akan membuat gue lebih bahagia dan nyaman dari yang satunya lagi. Tapi saat mencari wangsit, jujur gue mengkeret. Gue gak berani membayangkan kehancuran profesial di mata mereka yang kecewa dan dirugikan dengan tamasya singkat gue.  Dalam pikiran gue berusaha menyadarkan diri bahwa berhenti adalah keputusan tergila tertidakmasukal, tertidakterencana, yang cuma akan membawa gue pada jurang masa depan suram.

 

Fear! Hesitate! Uncertain! Unacceptable!

 

TIba-tiba gue merasa menjadi seorang pengecut.

 

Pikiran gue melayang saat gue masih kecil dan menggambar buku dengan tulisan PENULIS. Itulah lukisan cita-cita. Impian pertama gue. Tapi kata orang penulis bukanlah cita-cita. Lihat saja para wartawan bergaji minim dan harus ngontrak saat pensiun. I am way too bright to be just a writer, I should be a doctor, an engineer, something.

 

Lalu Margie SD ketakutan ga bisa punya mobil seperti impian, padahal ia gak bisa naik sepeda, apalagi motor. Ia jadi ragu gue benar-benar ingin jadi penulis. Ia tak bisa menjawab kepastian masa depannya, maupun merencakan plan A, B, C. Karena takut mayat,  Margie SD akhirnya menulis ARSITEK/PENGUSAHA. Dan semua orang gembira. Gue melalui masa kecil dengan aman dan bahagia. Tidak masalah gue cita-cita gue telah berubah.

 

Margie SD kini masuk SMA. Ia sudah tak ingin jadi penulis, tapi ia mulai muak belajar aljabar. Margie SMA lebih senang di kelas bahasa, lalu bisa belajar banyak bahasa sesuka hati. Tapi orang bilang Margie cocoknya di IPA. I don’t have talent in language, I’ll do better in science. Students outside science class aren’t respectable enough.

 

Lalu Margie SMA ketakutan gengsinya turun. Ia jadi ragu apakah ia memang punya kesempatan di kelas bahasa. Jika ia masuk bahasa, mau kuliah apa dia? Sastra Jawa? Apa rencana jangka panjangnya? Seperti yang telah diprediksi, Margie SMA mencontreng IPA di lembar penjurusan. Semua mengangguk-angguk. Gue jatuh cinta pada biologi dan meraih nilai yang baik di semua bidang. Ternyata bahasa bukan jalan gue.

 

Lulus dari SMA, Margie yang tidak ambisius cuma ingin kuliah di Bandung, sambil ambil jurusan teknik seperti yang diharapkan. Margie sengaja terlambat mendaftar universitas dan menghancurkan tes NTU secara sadar.

 

Tapi kata orang, Margie harus kuliah di Singapura. Biaya tidak besar, anaknya mampu, dan masa depannya terjamin. Margie jadi takut kalau ia cuma jadi beban keluarga jika sekadar kuliah di dalam negeri. Bagaimana jika ia malah jadi anak gaul rusak kontributor video Glodok? Maka ia mati-matian meyakinkan dekan dan diterima.

 

Semua tersenyum bangga, ini dia harapan bangsa. Gue menemukan sahabat-sahabat istimewa, lulus tepat waktu dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Mungkin keinginan kuliah di Bandung cuma nafsu sesaat.

 

Sisa hidup gue, ada banyak pilihan yang harus diambil. Sebagian besar keinginan gue sesuai dengan apa yang harusnya dipilih. Tapi saat keinginan gue bukan jadi apa yang diharapkan orang lain, I’ll go with the flow. Tentu saja gue percaya hidup sudah ditakdirkan dari atasnya. Gue tak ingin menyesali jalan yang telah ada. Lagipula jika ditanya apakah gue bahagia, tentu gue BAHAGIA! But could I be happier? Had I chosen the way I want?

 

For my whole life, I’ve always made decisions that please everyone.  Ketakutan, keraguan, ketidakpastian, keinginan untuk diterima, selalu menjadi landasan pengambilan keputusan. Sebagai anak kecil, sebagai ABG, sebagai remaja. But I’m 24-year-old right now. Do I still have to take a decision based on a fear of an 8-year-old?

 

For once in my life, can’t I make decision that pleases me? Although it’s not what everyone is expecting? Although it’s out of norm, out of mind, out of sanity? For once, just for this once, can I not care about how people feel and think more about what I feel? Can I not sacrifice my most happiness and negotiate for something lesser? Can’t I be selfish JUST FOR ONCE?

 

Itulah saatnya tanpa ragu gue memutuskan untuk melakukan blunder terbesar dalam sejarah perkariran tersebut. I quit.  Karena ini adalah keputusan yang jauh membuat gue lebih bahagia. Karena gue menolak jadi ‘upik abu media’. Dan soal karir, exposure, better opportunity? Surprisingly,  I don’t care!

 

Dalam jangka waktu tertentu, rekan seangkatan akan menjadi tokoh senior yang dihormati dalam bisnis media. Dalam jangka waktu yang lebih dekat lagi, gue akan menyaksikan pengganti gue meluncurkan calon bayi, tampil gemilang, mendapatkan begitu banyak sorotan dan kesempatan membentuk citra diri.

 

Dan saat semua itu terjadi, gue tahu gue akan duduk exactly where I begin. Gue akan terus menulis blog mungil yang hanya dibaca rekan dan kerabat dekat saja, tanpa ada perusahaan lain yang bernyali memberi tawaran bagi si tengil ini. Gue tak akan jadi tenar, bergaji 10x lipat, atau dikenang bangsa.

 

But I’m still smiling right now. Because I finally make a decision that pleases me. I guess I should call it an achievent equivalent to all fame, money and glory in the world.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *