Yang kurang, mungkin hanya lagu New Kids on the Block, gue berpikir saat membuka jendela mobil lebar-lebar mengharapkan udara segar pegunungan, meski hidung langsung tersumbat asap knalpot angkot di hadapan.
Berbekal alasan mengejar MoU dan bermaksud mengajak kerja sama blogger yang ‘sayangnya’ bermarkas di Cisarua, gue dan seorang teammate berhasil piknik ke Puncak memanfaatkan mobil kantor dan jam kerja di Jumat yang indah. Tentu saja, ini jadi piknik yang sangat berarti bagi kami berdua, apalagi ditambah semangat nostalgia.
Siapa anak Jakarta yang masa kecilnya tidak diisi dengan bermalam minggu di Puncak? Semasa kecil, nyaris tiap minggu keluarga gue naik gunung. Mamih – Papih punya sebuah rumah cantik di Cipanas tempat mereka membawa tiga anak perempuannya main setiap akhir pekan. Seperti banyak keluarga, kami punya ritual-ritual khusus, seperti makan di Rindu Alam sebelum sampai, berenang di kolam renang villa yang sedang kosong, naik kuda keliling kompleks hingga berbagi cerita hantu di malam hari.
Hingga akhirnya ketiga anak perempuan mereka menjadi ABG. Kesel nggak bisa ketemu temen dan pacar karena diseret atas nama ‘liburan keluarga’. Bosan di ‘udik’ yang nggak ada 21, nggak ada Planet Hollywood serta hiburan khas tahun 90an lainnya. Dan akhirnya ritual keluarga itupun perlahan menjarang hingga ditinggalkan sama sekali, 13 tahun yang lalu.
Rekan kerja juga punya pengalaman yang sama. Sering ke puncak waktu kecil, lalu mengalami fase ABG, lalu lewat masa ABG-nya, sudah bosan dengan akhir pekan di mall. Kini kami rindu akan pemandangan berseri-seri kebun teh, sambil mengenang masa kecil nan indah.
Sepanjang jalan, tak habis-habisnya kita berdecak, ini keren banget nih, dulu! Kami menunjuk-nunjuk restoran tempat kami dulu pernah makan, motel yang pernah kami inapi, hingga tempat wisata museum dinosaurus yang kini tinggal reruntuhannya saja.
Hingga tiba-tiba gue merasakan keganjilan saat berkata ‘ini keren banget nih, dulu!’. Entah karena kami berusaha menyamakan visi anak kecil dengan visi orang dewasa yang sulit dibuat kagum, entah jamannya memang sudah berubah. Namun gue merasa aneh saat segala sesuatu yang dulunya keren itu, masih ada persis seperti dalam ingatan, hanya sudah tidak lagi tersisa keren-kerennya.
Berjalan bernostalgia ke Puncak, gue seperti tidak berjalan ke sebuah tempat yang dulu pernah punya arti namun kini telah berubah. Gue merasa seperti sedang naik mesin waktu, masuk kembali ke era 90-an, meninggalkan era millennium, macamnya blast from the past.
Segala sesuatunya di Puncak adalah sama persis seperti saat gue tinggalkan 13 tahun yang lalu. Seolah daerah ini berhenti tumbuh di tahun 90-an, dan kini hanya tinggal menanti depresiasinya saja. Tidak ada hal baru yang belum gue lihat sebelumnya. Tidak ada jalan baru, penginapan baru, vila baru maupun toko baru. Paling yang berubah, hanyalah kini nama jalan, penginapan serta toko itu ditulis dalam bahasa Arab…
Lebih terasa ganjil, karena segala sesuatu yang sudah ada itupun seolah berhenti dikembangkan. Bahkan tidak ada usaha pembaharuan yang dilakukan. Villa-villa, penginapan-penginapan yang dulu terlihat keren di tahun 90an, kini terlihat kuno tanpa tersentuh renovasi. Lewat kaca mobil gue dapat melihat jelas tanda-tanda kehancuran. Gue jelas tidak berani nginep di sana, for fear of living and death creatures…
Masuk ke restoran paling gres tahun 90an, gue seperti terlemparkan kembali jadi Margie kecil. Tidak ada satupun hal yang berubah dalam restoran ini. Settingnya benar-benar tahun 90an, hanya lebih bobrok saja. Gue masih duduk di bangku yang sama (hanya sekarang sudah bolong-bolong), melihat dari kaca yang sama (kini mulai buram di sana sini), dan melihat dekorasi yang sama (kini jauh lebih dekil).
Dan mengambil jalur alternatif via Jonggol, gue dihadapkan pada kenyataan terpahit, bukan hanya tempat ini berhenti membangun, tempat ini juga menjadi lebih buruk dibandingkan tahun 90. Gue ingat jalur alternatif ini adalah jalur yang gelap, sempit dan jelek. Namun gue berharap 13 tahun adalah waktu yang cukup untuk listrik masuk desa, pelebaran ruas jalan dan pengaspalan.
Gue keliru. Daerah vila yang di tahun 90an itu gencar mengadakan pesta duren, kini sudah menjadi kota mati. Dan seiring dengan matinya daerah tersebut, makin terpencillah Jonggol. Jalur alternatif itu menjadi makin gelap, makin sempit, makin jelek. Sisa-sisa aspal tahun 90an sudah nyaris tak bersisa. Jembatan penghubung, kini hanya impian. Kata kakak yang sering ke pabrik daerah situ, begitu Bu Tien meninggal, pembangunannya langsung dihentikan.
Sayangnya, Puncak bukan satu-satunya tempat yang seolah berhenti di tempat seiring dengan berakhirnya Orde Baru. Gue teringat saat pergi ke Mekarsari. Dari yang awalnya merasa bangga sebagai bangsa Indonesia yang di tahun 90an sudah bisa membuat kebun rekreasi sebesar ini, gue berakhir miris. Kebun ini, memang nggak jelek untuk ukuran tahun 90an, tapi jelas nggak cukup baik untuk tahun 2012.
Menara pandang, jembatan gantung dan berbagai fasilitas hiburan Mekarsari sudah mulai keropos sana-sini. Kegiatannya tidak pernah di-upgrade, kurang menarik buat anak muda jaman sekarang. Padahal seandainya dikembangkan dan dikemas lebih baik, tentu bisa menjadi andalan wisata masa kini.
Indonesia seperti berhenti membangun di tahun 98. Segala sesuatu yang kita nikmati sekarang, adalah produk tahun 98 atau sebelumnya. Yang dikerjakan sekarang, hanyalah menghabiskan yang pernah dibangun, atau membongkar pasang yang dulu dibuat, seperti gorong-gorong Jendral Sudirman. Gue tidak tahu apa istilahnya untuk negara yang berhenti membangun. Yang jelas, kondisi ini tidak terdefinisikan sebagai ‘maju ke depan’.
Tentu saja, gue paham, bahwa kata ‘maju’ itu relatif. Gue pun termasuk pendukung reformasi yang menyatakan, bahwa pembangunan yang terjadi di orde baru itu semu. Yang dibangun hanyalah proyek-proyek simbolis, kelihatan keren di depan, tapi sedikit pengaruhnya demi kemakmuran rakyat. Lagipula, semuanya dibangun atas dasar utang. Begitu ditagih, ambrol semua.
Namun proyek-proyek ‘simbolis’ itu juga ‘menyimbolkan’ hal-hal lain. Wisata adalah kegiatan tersier. Mereka yang berwisata, berarti sudah bisa memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Majunya Puncak, Cibubur, dan (harapannya) Jonggol dan daerah wisata luar Jakarta tidak bisa hanya didukung pembangunan infrastruktur. Ini adalah simbol bertambah besarnya kelas mereka yang sudah bisa mencari kebutuhan tersier,namun dekat-dekat Jakarta di masa itu. Bertambahnya, middle class yang sejahtera.
Sekarang memang Bandung menjadi pilihan liburan kelas menengah tersebut, apalagi dengan adanya Cipularang. Namun dengan menghitung pertumbuhan penduduk, jika peningkatan kesejahteraan masih sama dengan dulu, setidaknya daerah-daerah lain tidak akan mengalami penurunan pengunjung.
Berkembangnya Puncak dan Jonggol saat itu juga menunjukkan pemerataan pembangunan yang lebih besar daripada era otonomi daerah masa kini. Gue memang belum sempat berkeliling nusantara untuk melihat jika pembangunan menjadi lebih pesat daripada jaman orba. Namun berkeliling beberapa kota di Jawa, satu-satunya pembangunan signifikan yang bisa gue lihat hanyalah di Jakarta.
Tidak, gue tidak mau latah bilang Orba lebih baik daripada Reformasi. Jika Soeharto masih jadi presiden, bisa-bisa gue tidak punya lahan pekerjaan lantaran banyak media yang dibredel, apalagi yang online! Gue juga tidak mau latah bilang pemimpin ini lebih jelek daripada itu-itu. Bagaimanapun juga, reformasi mendobrak banyak struktur yang sudah bercokol puluhan tahun. Butuh tahunan untuk membenahinya kembali. Wajar saja pemimpin era ini masih tidak sempat membangun.
Gue cuma seorang anak yang lagi piknik ke Puncak, lalu gelisah karena alih-alih sekadar nostalgia, malah dilemparkan ke dekade silam. Apalagi saat terjebak macet delapan jam di Puncak saat kembali ke Jakarta. Gue takut terperangkap dalam masa lalu. Nggak bisa balik ke dunia modern!