Liga Persaingan antar Perempuan

Mas mantan masa kuliah zaman baheula dulu pernah ketauan selingkuh. Sebenarnya sih orangnya sudah cukup mahir menyembunyikan, dengan pemilihan lokasi selingkuhan dan pembagian waktu yang lebih cermat daripada waktu belajar. 

Namun sang selingkuhan cukup nyaring membanggakan pengalamannya ke teman-temannya. That she stole a guy. Bahwa pacar lelaki saat itu (gue) gagal mempertahankan hubungan. Bahwa ia pasti akan menang, mengingat ada beberapa competitive advantage seperti agama, yang ia miliki dibandingkan gue.

Meskipun zaman itu jejaring sosial kita baru Friendster, ocehan itu sampai juga ke telinga gue, di Boon Lay, ujung Singapura. Atau mungkin memang demikian tujuannya. Tapi waktu itu, gue tidak tertarik drama. Mempertahankan posisi di sekolah aja sulit pake musti mempertahankan lelaki. Mas Mantanlah yang gue labrak untuk langsung saja mengambil keputusan. 

Bujuk rayu manis you are the one dan ia telah jatuh pada godaan enggak mempan. It takes two to gatel, prinsip gue. Lagipula gue ga suka ide jadi nomor satu tapi diduakan. Memohon dan meminta maaf juga gak laku. Emangnya gue Dewi Welas Asih. Baru setelah kartu pamungkas mengungkit-ngungkit masa lalu hamba yang juga tak luput dari kesalahan, gue menyerah.

“Okelah impas,” tapi dengan syarat beliau harus juga menyampaikan keputusan pilihan kepada sesembak yang harus juga sampai pada telinga gue dengan cara yang sama kabar perselingkuhan tiba. Jangan digantung lah anak orang, begitu gue sok bijak.

Rupanya inilah hukuman termanjur. Lelaki memang sudah suka ghosting dari dekade lampau. ‘Aku harus bilang apa?’ Misuh-misuh mencari alasan yang seolah menarik pernyataan bujuk rayu gombal manis yang mungkin sudah terlanjur tersampaikan. Hanya karena kadung sok-sokan sudah memilih dan takut dicap plinplan, beliau menyambangi dengan cara yang cukup publik supaya didengar teman-temannya lalu sampai lagi ke gue.

Seperti yang sudah diduga, sang perempuan tidak terima. But why her? Mas mantan bingung mau bilang apa. Lebih baik ya udah pasti enggak. Lebih cantik juga bohong. Akhirnya ia memilih  pernyataan ‘lebih pintar’, sebuah takaran yang tidak bisa terbandingkan karena kami beda universitas juga beda jurusan. 

Sianying emang. Dia kira dia dosen penguji.

Perempuan tersebut merasa terhina karena merasa kalah. Lalu mencari jalan untuk membuktikan bahwa mas mantan salah. Bahwa ia lebih pintar dari gue, dan oleh karenanya harus dipilih.  Persaingan tidak sehat ini terus berlanjut bertahun-tahun bahkan setelah jodoh yang nggak panjang-panjang amat itu berakhir.

Hingga akhirnya kami beneran ada di mata kuliah yang sama. Entah bagaimana caranya mencari cara supaya duel masa lalu bisa terselesaikan. Dan di tengah momen canggung kami bersanding sebelahan satu kelas, gue mengumpat-umpat dalam hati. Yang mutusin Mas Mantan, sakit hatinya ke gue!  Kan gue jadi musti belajar beneran karena gengsi kalau nggak pintar!

Beberapa tahun lagi setelah lulus, gue kembali dipertemukan oleh Mas Mantan. Gue sendiri sudah punya pacar lain waktu itu, tapi hasrat membalas dendam gue masih ada. Maka gue membiarkan beliau meyakini bahwa gue anaknya susah move on. 

Tetapi reaksinya ketika mengetahui gue sudah punya pacar, tidak sama seperti reaksinya sesembak. Tidak, dia tidak melihat ini sebagai sebuah kompetisi di mana jika ia berjuang ia bisa menjadi pemenang. Ia tidak melihat Mas Pacar saat itu sebagai pesaing. Ia malah MARAH. “What am I then?” ujarnya tersinggung.

Ya selingkuhan. Gimana sih? Tapi ujaran manis gue bahwa you and me got a whole lot of history (you sing you lose) dan gue bisa aja memenangkan Mas Mantan, tidak diwaro. Baginya menjadi selingkuhan adalah sebuah penghinaan. Pride-nya sebagai seorang lelaki terluka. 

Mas Pacar saat itu (sekarang juga sudah jadi mantan), responnya sama. Gue divonis selingkuh.  Padahal gue sudah menegaskan bahwa ini hanyalah bentuk balas dendam semata yang tidak ada hubungannya dengan esensi sebagai lelaki. “You decide, and you let me know what your decision is,” demikian gue diultimatum. Sampai di ujung jodoh kita, nama Mas Mantan masih jadi topik sensitif yang bisa memicu perang teluk.

Setiap kali gue mendengar kisah pelakor dan pebinor gue selalu teringat bagaimana gender akan membedakan cara menghadapi kompetisi mendapatkan pasangan.

Bagi perempuan, menjadi selingkuhan adalah sebuah kemenangan. Keberhasilan mencuri sesuatu dari sesama perempuan. Merasa lebih baik, menjadi lebih dipilih dibandingkan perempuan lain. Tidak peduli perempuan lain itu adalah sahabatnya sendiri, mereka adalah para saingan dalam liga kompetisi merebutkan trofi utama, laki-laki.

Siapapun yang akhirnya dipilih, baik yang pelakor maupun yang terlakor, merasa menang. Merasa memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Ada kebanggan tersemat saat bersanding di sisi pria yang direbutkan yang tidak menggubris perempuan lain, seperti saat mengangkat piala juara satu lomba cerdas cermat PPKn. 

Sebaliknya bagi laki-laki, menjadi selingkuhan sama rasanya dengan sebuah kekalahan. Kegagalan menjadi yang utama. Harga dirinya sebagai lelaki tercoreng. Tidak peduli nanti dia yang dipilih atau tidak. Jika terpilih yang muncul adalah kebesaran hati, ‘aku bisa memaafkan’, jika tidak terpilih juga terlihat gentleman ‘aku bisa menerima’.

Dan itu membuat gue selalu nyinyir setiap kali bahkan teman-teman dekat gue berkencan dengan gebetan temannya. Nanya pendapat apakah mau lanjut atau tidak, tapi sambil gemes-gemes bangga dan tidak mau kalah.

Tapi kan cowoknya udah nggak kontak temen gue, sah dong gue deketin?

Tapi kan emang cowonya sukanya sama gue bukan sama dia!
Tapi emang itu temen gue itu ANEH sih! Masa ya dia gini gini gitu.. Pantes aja nggak ada yang mau!

And we’re talking about women’s pride here? 

Bagaimana mungkin, perempuan bisa dianggap tinggi dan berharga, ketika sesama perempuan justru saling menginjak dan menjatuhkan. Saling justru mengangkat kesalahan dan kelemahan? 

Bagaimana bisa melihat diri punya tujuan hidup luhur, ketika melihat lawan jenis sebagai piala yang diperebutkan dan menjadi parameter kesuksesan?

Berhentilah berlaku seperti orang yang harus berjuang keras untuk diinginkan. Berhenti menyalahkan perempuan lain dalam setiap kegagalan hubungan. Stop nyalahin istrinya, stop nyalahin pelakornya. Ingat, it takes two to gatel.

Balik lagi menilik kisah dekade-dekade lampau yang masih terus berputar di sekitar, gue mencatat guepun telah berlaku salah terhadap harkat perempuan. Gue mungkin tidak merasa bangga, tapi gue juga tidak pernah berusaha untuk mengembalikan kebanggaan sesembak. Bahwa alasan yang diutarakan itu cuma dikarang-karang, bahwa no, I’m not smarter than her and we shouldn’t be in any competition.

Gue bahkan harusnya nggak kemakan kata-kata Mas Mantan bahwa we’re the jerks no one else deserve. Nggak, karena gue berhak mendapatkan orang lain yang juga punya niat taubat. Atau mungkin gue harusnya jangan sok rajin, so I can let another girl win and gain her pride. 

I am sorry if for anytime in my life I have ever looked down to other women. And for every women, in whoever state of relationship you are, I support you. Para perempuan yang kehilangan pasangannya adalah korban. Dan para perempuan yang merebut pasangan orang lain juga korban. Mereka adalah korban tatanan yang menuntut perempuan baru punya nilai ketika bersanding dengan pria dan karenanya harus mengorbankan sesamanya.

Dan buat yang lagi njomblo-njomblo unyu seperti yang nulis, kita bisa latihan menghargai perempuan dengan menjadi pemirsa yang budiman saat menyimak berita-berita tikungan di sekitar kita. Memang berita perselingkuhan di lambeturah itu sedap. Jambak-jambakan rambut itu mewarnai hidup. Sangat mudah dan sangat asik untuk menghakimi lalu menyebut satu pihak sesama perempuan sebagai lebih baik dari yang lain.

Nanti, setelah kecenderungan pemberitaan media infotainment yang maskulin itu bisa dilawan, we can talk about women’s solidarity.

2 thoughts on “Liga Persaingan antar Perempuan”

  1. Meisya says:

    Kembali lagi ke kata yang menyiratkan “merasa lebih dari orang lain ” rasanya sudah menjadi tujuan hidup khalayak ramai saat ini hehehe.

    Aku juga berusaha pisan buat ga masuk ke dalam kalimat ngeri tersebut dengan mengalihkan pada kalimat “menjadi lebih baik dr aku yg kemarin”.

    Karna yg aku rasain klo cuma tujuannya ingin lebih baik dr orang lain senengnya dikit (pas merasa kayakny lebih unggul) tapi babak belurnya lebih banyak. Wkwkwk

    Sehat dan happy terus ya cici sayang…

    1. margareta astaman says:

      ahhh ini lah bener banget, kenapa kita gak fokeus ke diri sendiri ya.. diri sendiri aja masih banyak room to improve kok ya.. hahahah thank youuu kakaaa.. slalu sehat.. selalu happy..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *