“Mau pergi ke mana?”
“Ke pasar, beli pupuk.”
“Beli krupuk terus, yang kemarin aja masih belum digoreng, masa udah mau beli krupuk lagi?”
“PUPUK bukan KRUPUK!”
Dulu gue dan seorang teman, Mbak Bu pernah berdebat, mana yang lebih penting: mata atau telinga. Gue, seorang yang suka menulis, memotret dan jalan-jalan, jelas ngotot membela mata. Bagi gue mata adalah jendela dunia, kenikmatan terindah yang diberikan Tuhan adalah saat kita bisa menikmati dunia lewat kedua mata.
Tapi Mbak Bu, penggemar Erykah Badu dan pemilik suara emas jelas keberatan. Ia lebih memilih kehilangan pengelihatanan daripada pendengaran. Tanpa mata, orang masih bisa melihat, dengan mata hati. Tapi tanpa telinga, mana mungkin orang bisa mendengar?
Gue tidak mau kalah. Balik membalas, gue menyatakan betapa mata lebih besar kegunaannya daripada telinga saat dimiliki seseorang. Saat orang punya mata, orang pasti melihat (see). Tapi banyak orang yang punya telinga, tapi tidak mendengar (listen).
Seorang PR handal, Mbak Bu memutarbalikkan fakta. Banyak juga orang yang melihat namun tidak ‘melihat’, sehingga hidupnya hampa. Mending matanya dicongkel. Seorang calon jurnalis, gue kembali berkelit.
Orang yang tidak ‘melihat’ meski punya mata bisa jadi orang yang jahat dan hati nuraninya tidak peka. Namun orang yang tidak ‘mendengar’, meski punya telinga, biasanya pintar. Tidak melihat, berarti jahat. Tidak mendengar berarti pintar. Hayo pilih tidak mampu yang mana?
Gue punya dasar kuat untuk hipotesa ngawur ini. Sebuah survey perusahaan sumber daya manusia pernah mengindikasikan adanya hubungan antara kepintaran dalam organisasi dengan kemampuan mendengar.
Dalam sebuah percobaan, ditunjukkan bahwa satu tim perusahaan yang isinya orang pintar semua, akan punya performa jauh lebih rendah dibandingkan tim yang isinya satu orang pintar dan empat orang bodoh.
Bukti konkretnya bisa dilihat pada klub sepak bola. Punya atlet bintang semua tidak menjamin Real Madrid jadi juara La Liga. Justru Barca, yang bintang paling ngetopnya adalah Messi yang bisa menguasai kejuaraan.
Penyebab utama anomali ini, ternyata ada pada kemampuan mendengar itu tadi. Namanya juga orang pintar, tentu merasa dirinya benar. Dan mungkin sekali, memang benar. Pada tim dengan hanya satu orang pintar, ini tidak jadi masalah. Yang pintar mencetus ide terbaik, dan ngotot pada ide tersebut. Sisanya yang bodoh cuma manggut-manggut lalu ngikut tanpa banyak perlawanan.
Ide ini mungkin bukan yang terbaik, namun karena dilaksanakan, bisa menghasilkan sesuatu yang baik. Berbeda dengan tim dengan lima orang pintar. Masing-masing punya ide bagus. Masing-masing merasa idenya yang terbaik. Masing-masing tidak mau mendengar. Akhirnya, bubar jalan.
Ironisnya, sangking tidak mau mendengarnya, survey itu juga menunjukkan bahwa tiada jalan keselamatan bagi organisasi semacam ini. Namanya juga orang berteguh hati, sampai sungguh kepentok, perusahaan bangkrut, atau terjadi PHK massal, barulah orang-orang pintar itu, bukan akhirnya mau mendengar, tapi terpaksa regroup dengan tim lain yang lebih mau mendengar.
Seandainya ada kompromi, mungkin ada satu-dua program yang baik dan bisa berjalan sukses. Namun karena sibuk saling kritik dan saling veto, akhirnya, tidak ada program yang berjalan. Tidak ada program jalan, akhirnya tidak ada hasil sama sekali.
Bukti lain bahwa orang pintar biasanya tidak suka mendengar, adalah pada para pimpinan divisi dan kepala staf. Mereka adalah orang-orang yang dianggap lebih pintar daripada anak buahnya. Dan mereka, jugalah orang-orang yang biasanya dikeluhkan paling berteguh hati dan tidak suka mendengarkan orang lain.
Bahkan jika kengototan itu sering berakhir fatal. Seperti yang pernah didata oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya, Outliers, kecelakaan pesawat yang terjadi sekitar tahun 1997-1998 di Korea banyak yang disebabkan oleh satu hal: awak pesawat yang merasa percuma untuk bicara dan pimpinan penerbangan yang mengabaikan peringatan awak pesawat.
Bahkan saat awak pesawat mengetahui mereka sedang terbang ke arah kematian, mereka tidak berdaya memperingatkan. Mungkin juga berpikir, seandainya mereka ngotot dan kapal batal hancur, toh besoknya juga akan dipecat karena menyelewengkan perintah atasan…
Mendengar alibi gue itu, Mbak Bu langsung punya kasus banding, sebuah kisah yang selalu gue bangga-banggakan saat masih menjadi pegawai tingkat awal di sebuah perusahaan besar. Tugas gue, selain menyusun proposal, mengadakan riset, menyiapkan presentasi klien, nge-print, mengedit foto partner, dan tugas-tugas lainnya, adalah juga mengadakan pertemuan bulanan antar para kepala bisnis perusahaan-perusahaan klien.
Meskipun gue adalah pengirim undangan, penyedia makanan, dan penyedia materi, sudah pasti, posisi gue dalam pertemuan itu adalah yang terendah dalam mata rantai perkariran. Seperti jenis mikroba dan bakteri pembusuk di rantai terakhir makanan yang tak pernah melihat sinar matahari, gue menundukkan kepala sepanjang acara.
Tugas gue adalah mencatat tanpa bicara, sementara para kepala bisnis ini saling berdiskusi. Sebuah tugas yang sangat berat. Pasalnya, sebagai kepala bisnis, mereka semua adalah orang-orang yang sangat pintar. Dan sesuai hukum, orang yang pintar itu suka ngomong tak suka mendengar.
Yang disebut dialog lebih sebagai komunikasi satu arah, dengan satu orang terus berbicara pendapatnya tanpa menyambung pendapat yang lain. Dan yang lain akan memberi pendapatnya tanpa peduli pendapat yang lain.
Di akhir acara, tak tampak wajah ceria seolah mendapatkan ilmu. Seorang bos mengeluh pada gue, ‘nggak nangkep deh isi dialog ini apa, pada ngomong sendiri-sendiri!’. Ia lalu melihat catatan yang gue buat tanpa bicara tadi karena terpaksa, dan tiba-tiba tercetus terkejut. ‘Saya ngerti! Ini catatan yang bagus sekali, kamu pintar!’
Gue mungkin adalah orang terbodoh dalam ruangan itu. Orang dengan pengalaman dan ilmu paling sedikit. Gue tidak punya pemikiran fantastis untuk dituangkan. Yang gue lakukan hanyalah mencatat semua ocehan yang keluar. Sungguh kegiatan yang cenderung mindless. Bagaimana mungkin gue jadi pintar dan yang lain, yang memberikan ilmu itu tidak?
Mungkin bedanya adalah dalam status pendengaran itu. Sepanjang acara, banyak pemikiran yang cerdas tertuang, namun karena tidak ada yang mendengar satu sama lain, tidak ada yang jadi tambah pintar. Sedangkan gue, karena status sosial, terpaksa mendengar. Namun ternyata, cetusan-cetusan yang ada itu, bahkan jika didengarkan secara runut saja, sudah menjadi sebuah ilmu baru.
Seandainya, seandainya saja para kepala bisnis itu mau mendengar, mungkin mereka akan mendapatkan catatan yang sama dengan yang gue miliki, dan dengan sedikit kompromi ide, kecerdasan mereka takkan tertandingi.
Setelah makan, para kepala bisnis itu pulang. Mereka jelas pulang dengan pintar meski tidak mendengar sepanjang diskusi dan gue jelas tetap bodoh meski mencatat semuanya. Tapi mereka tidak pulang lebih pintar, sedangkan si jongos yang hanya bisa mendengar itu, pulang sedikit lebih pintar.
Kisah yang selalu gue sombong-sombongkan itu kini jadi senjata makan tuan. Bagi Mbak Bu, justru itu pentingnya pendengaran. Jika setidaknya ada, maka bisa dipakai. Dan jika dipakai, bisa membuat seseorang lebih pintar. Apa artinya hidup jika tidak berkembang?
Perdebatan antara dua manusia yang ternyata juga tidak saling dengar itu terjadi beberapa tahun lalu. Setelah itu, gue menjadi saksi betapa membuat frustrasinya orang yang tidak suka mendengar, membuat gue sungguh berharap semua orang dilahirkan dengan telinga yang dimanfaatkan secara sungguh-sungguh.
Dan percakapan di awal sungguh membuat gue yakin dengan kesimpulan tersebut. Mungkin telinga lebih penting daripada mata.Tanpa mata, seseorang akan tetap bisa membedakan pupuk dan krupuk. Tapi tanpa telinga, seseorang berisiko makan pupuk jika uang satu-satunya dihabiskan di pasar untuk krupuk namun penjualnya mendengar pupuk.
Ah, alangkah sayangnya jika orang pintar yang punya telinga dan sebenarnya bisa mendengar namun tetap berakhir makan pupuk….