Margie berjilbab.
Margie: mulut sampah, senonoh, celana pendek, tank-top. Berjilbab: Santun, tertutup, bahan panjang. Dua kata yang mengandung signifikansi berlawanan. Yang ketika digabungkan menjadi sama absurdnya dengan 100 persen kehadiran anggota DPR.
Maka Margie ke Aceh, menjadi sebuah konsep yang sama absurdnya. Kata orang, kalau ke Aceh itu harus pakai jilbab, soalnya ada hukum syariah Islam, kalau nggak pake bisa dicambuk, atau dirajam pakai batu.
Sedangkan Margie, tidak pernah punya baju tertutup seumur hidupnya. Dari bocah selalu milih celana pendek sama kutang. Dipakein rok panjang sedikit langsung nangis. Gimana caranya Margie bisa ke Aceh?
Tapi itulah yang terjadi dan gue berhasil menuliskan pengalaman itu, tanpa bekas cambuk, tanpa goresan rajam batu, sebagai bukti bahwa konsep yang awalnya tidak sejalan itu ternyata bisa terjadi.
Tentu saja awalnya gue juga tidak menyangka diberi perpanjangan hidup untuk bersaksi macam ini. Begitu pesawat gue transit di Medan, menurunkan separuh penumpangnya, tersisalah gue sebagai satu-satunya penumpang tak berjilbab.
Saat mendaratkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda, segelintir perempuan non jilbab dari pesawat lain langsung buru-buru melipir ke toilet, memasang jilbab portable, membuat gue jadi latah mengeluarkan selendang pashmina yang segera gue lilit di atas kepala macam kerudung Marsha and the Bear.
Suasana kota yang sepi mencekam jelang tengah malam semakin menciutkan nyali. Gue memang belum pernah ke Banda Aceh di masa lampau, tapi kisah orang ditembak di pinggir jalan (bukan urusan asmara) tanpa pernah tahu alasannya, cukup membuat gue yakin bahwa kota ini bukan gue banget.
Di mana besok gue akan mengajar? Di sebuah Institut Agama Islam. Gue buru-buru mendownload jilbab tutorial dan mempelajarinya sepenuh hati.
Lalu pagi menyapa dan semua kegalauan gue langsung luntur.
Kesan pertama yang gue langsung rasakan adalah kecuekan penduduk Aceh sendiri. Ya, kerudung gue memang tidak sempurna. Banyak anak rambut yang nyempil sana-sini. Belum lagi sering melorot dan nyangkut-nyangkut. Tapi mengopi santai di warung kopi khas Aceh, nggak ada tuh yang komentar usil atau bahkan sekadar melemparkan ‘stare’.
Di ‘provinsi tetangga’nya yang tidak memberlakukan syariah Islam, gue menerima lebih banyak bisik-bisik tetangga. Tapi di Aceh, nggak ada tuh yang tiba-tiba cerita betapa jilbab gue bisa menyelamatkan banyak orang (kepadanya gue bilang belum ada panggilan. Panggilan untuk berjilbab? Bukan, jawab gue, panggilan untuk menyelamatkan banyak orang).
Nggak. Jangan bandingkan Aceh dengan provinsi tetangga, atau bahkan provinsi di Jawa. Kenyamanan menjadi diri sendiri tanpa perlu terlalu khawatir dengan adat istiadat setempat saat menyeberang ke Sabang hanya bisa gue bandingkan dengan Bali, sebuah provinsi yang sebagian besar roda perekonomiannya bergantung pada pariwisata.
Handphone ketinggalan di meja rumah makan? Jangan khawatir. Besok-besok juga masih ada di meja yang sama. Bulan depan, mungkin nggak di meja yang sama. Disimpen sama yang punya resto, tapi nggak akan dipakai sedikitpun. Gue bisa jalan-jalan sendirian tengah malam tanpa takut ada yang nyolek.
Harga boat dan alat snorkeling adalah sama dan seragam di seluruh Pantai Iboih. Meski sebatang kara, gue tetap bisa menikmati alam bawah laut Pulau Rubiah nggak pake mahal. Puas banget, 2.5 jam mengelilingi pulau lantaran nggak bisa naik ke darat.
Nyasar, hotel jauh, kecapean di tengah jalan? Jangan khawatir. Penduduk sekitar akan membantu sebisanya. Gue bahkan bisa nebeng bonceng pemilik usaha diving tempat gue meminjam alat snorkeling. Sekalian pula diantar ke tugu nol kilometer tanpa biaya tambahan.
Dan kalau dibayangkan gue menjalankan semua pengalaman itu dengan baju selam lengkap sampai kepala. Anda salah besar! Berenang tidak pernah senyaman ini. Nggak ada yang suit-suit, colek-colek sambil matanya melotot-melotot. Bule-bule yang mau berbikini juga punya tempatnya sendiri.
Nampaknya konsep pemberlakuan hukum syariah, yang terdengar begitu mengerikan di mata turis, justru malah membuat Aceh menjadi tempat yang sangat nyaman untuk berwisata.
Tingkat kriminalitas menjadi sangat rendah di Pulau Weh. Kalau di Bali karena takut karma, di Aceh takut dosa. Pencurian, pemerkosaan, perampokan, penipuan adalah hal yang dilarang agama, dan karena penduduknya taat, menjadi jarang terjadi.
Diketok, sebuah pengalaman yang wajar di tempat wisata, tidak gue alami di Pulau Weh. Kalau ada yang memberi harga di atas rata-rata akan segera dihukum adat. Bikin malu nama Aceh sama turis.
Lagipula, selalu diajarkan agamamu agamamu, agamaku agamaku. Kalau nggak sesuai ya jangan dilihat, nambah dosa aja, mungkin begitu pikirannya. Bikini dilarang masuk desa juga dengan alasan yang sangat praktis. “Banyak anak kecil, yang belum ngerti apa-apa, suka pada niru, itu aja sih,” jelas tour guide hari itu enteng.
Meski tentunya, bukan peresmian pemberlakuan hukum syariah yang jadi faktor penentu. “Kita dari dulu juga sudah mayoritas Islam, dan sebagai pemeluk agama, sudah pasti akan menjalankan syariah, tanpa perlu ditetapkan jadi hukum daerah,” jelas salah seorang rekan.
Sudah pasti, kisah-kisah menakutkan tentang rajam dan cambuk itu langsung meluntur. Dengan roti cane, kopi Ulee Kareeng, sarang nemo di pinggir pantai, gurita, ikan buntel dan ikan dokter sebagai teman bermain, Aceh dan Margie menjadi konsep yang suka gue ulang-ulang.
Tapi bukan hanya itu konsep yang runtuh di mata gue saat di Aceh. Konsep berjilbab juga mengalami revolusi. Ternyata memakai jilbab tidak semenyengsarakan yang gue bayangkan. Lebih praktis, dibandingkan pakai kerudung Marsha.
Bisa lebih gaya, juga melancarkan bisnis. Untuk pertama kalinya, meski nggak ngomong pake bahasa daerah, gue nggak ditipu tukang duren. Tutorial hijab buatan gue bahkan lebih digemari oleh khalayak, karena bisa disesuaikan dengan bentuk wajah pemakai. Gue menamai beberapa gaya seperti ‘KruNeKoe (Krudung Inneke Koesherawati) serta ‘Jilmambo’ (Jilbab Imam Bonjol).
Tapi untuk sementara, kemampuan baru ini gue simpan dulu. Ke Aceh nggak perlu berjilbab!