So here we go again, me, in another life-threatening illness
Big surprise.
Mereka yang ada dalam hidupku selama minimal satu dekade kehidupanku tentu tahu betapa seringnya gue sakit. Mulai dari sinusitis pilek menahun, flu tiga bulan sekali disertai batuk berdahak, hingga muntaber sebulan, sakit liver, tifus, demam berdarah, campak, ginjal, dan menambah koleksi terakhir, usus buntu.
Selama 27 tahun hidup ini, gue sudah pernah:
• Naik mobil-mobilan kecil karena pingsan di Changi airport
• Dibawa dengan kursi roda di Soekarno Hatta
• Tiga kali di-USG
• Tak terhitung masuk UGD
• Dibedah di meja operasi
• Tiga kali opname
• Dan lain sebagainya.
Para pacar mungkin merasa tertipu, tidak mengetahui bahwa mengantarkan gue ke dokter setiap bulannya akan menjadi bagian dari komitmen kami bersama. Belum lagi absen malam minggu dan harus menemani makan bubur selama setidaknya 30% dari waktu bersama.
Para perusahaan juga sama. Tidak tahu bahwa gue selalu menggunakan reimbursement dan jatah asuransi to the max. Belum lagi izin cuti sakit di saat gue bahkan belum mengambil cuti melahirkan.
Gue memang selalu sakit, di hampir sebagian besar waktu hidup gue. Saat masih kecil, gue begitu ringkihnya hingga harus diganti nama panggilannya karena dipercaya membawa penyakit. Asal tahu saja, nama gue sekarang ini sama dengan nama babtis si mamih, menunjukkan urgensinya penggantian nama di masa itu.
Namun muntah secara konstan setiap habis makan dan ketidakmempanan temulawak meningkatkan nafsu makan membuat Margie kecil bak kecanduan antibiotik. Sebulan sekali pasti harus ke dokter dengan segala penyakit. Sakit panas. Muntah-muntah. Puser bodong. Lutut keseleo.
Runtutan penyakit tiada henti itu konon baru berhenti setelah gue disembur semacam air-airan dan nafas-nafasan oleh seorang Habib. Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Terakhir kali ke rumah sakit, si mamih dengan santai berkomentar, lain kali kita manasin roti di pantry ya…
Selalu ambil positipnya. Banyaknya jumlah penyakit yang pernah gue alami memberikan gue kesempatan untuk banyak merenung dan berefleksi, di tengah cuti sakit, waktu bedrest dan menunggu dokter.
So here I am, berusaha mengalihkan pikiran dari diskusi tim dokter pasien sebelah yang masih belum punya ide untuk mengeluarkan mata bor dari tagan seorang bapak, diputer-puter saja katanya, sambil memikirkan bagaimana dampak segala penyakit ini telah membentuk gue yang sekarang.
Secara singkat, it ruins me. Gue akhirnya terbentuk menjadi anak muda khas jaman sekarang, yang manja, ogah susah.
Di keluarga, gue adalah bayi yang paling dikasihani. Jangankan dikasih kerjaan yang berat, yang ringan aja bisa sakit-sakitan. Belum lagi betapa banyaknya waktu gue yang diminta untuk ‘bedrest’ sehingga tidak bisa nyuci piring, nyuci baju sendiri hingga merapikan kamar. Dan jangan lupa, di masa ini gue harus dibawakan makanan, dibuatkan teh, dan harus tidur di ranjang yang empuk.
Apalagi setelah pulang dari rumah sakit. Ohhh.. it’s the sweetest excuse! Gue bangun siang jam 10? Gak papah butuh banyak istirahat! Gue baru mau mandi dua jam kemudian? Gak papah takut masuk angin! Gue mau makan ini itu? Gak papah butuh gizi banyak! Tak heran biasanya setelah pulang dari rumah sakit gue malah jadi tembem.
Tapi kalau dipikir-pikir, somehow, gue juga selalu berhasil menyembunyikan sifat manja ogah susah ini. Para pacar dan pemilik perusahaan selalu berhasil mempercayai bahwa gue adalah seseorang yang mandiri, tangguh, rajin bekerja dan berdedikasi tinggi.
Gue tidak takut pulang malam demi menyelesaikan tugas-tugas yang masih tersisa. Bahkan, boleh berbangga hati tidak pernah mendapat teguran dari pekerjaan yang terselesaikan terlambat.
Ah, itu kan karena gue mengerjakan sesuatu yang gue sukai. Coba kalau disuruh mengerjakan kegiatan yang bertentangan dengan hati nurani.. pasti langsung sakit parah, ngambek, lalu berhenti kerja! Sisi hati gue yang lain berbisik.
Itu sebuah bisikan yang benar. Gue hanya tahan banting, saat gue mengerjakan hal yang gue suka. Tapi begitu disuruh kerja sales kayak waktu itu, gue langsung sakit komplikasi! Dan itu membawa pemikiran lain tentang dampak sakit-sakitan: gue hanya mau mengerjakan sesuatu yang gue suka saja.
Dalam otak,manusia punya satu bagian yang mengatur rasa takut terhadap kematian yang disebut sistem limbik. Bagian itulah yang membuat manusia itu enggak biasa aja menghadapi satu fase terakhir dalam kehidupan. Kita ketakutan, nggak kepingin mati, dan merasa hidup adalah bagian yang lebih endhes dibandingkan kematian.
Setiap kali sistem limbik itu terprovokasi, entah oleh satu kejadian yang mengancam kehidupan, manusia bereaksi. Mereka berusaha mempertahankan hidup, dan memikirkan kehidupan lebih panjang, mencari resort untuk menjamin masa setelah hidup ini juga lebih baik.
Dalam kasus gue, nampaknya bagian ini terprovokasi sedikit lebih sering dibandingkan orang lain. Dan membuat gue berpikir lebih sering tentang bagaimana gue tidak mau menghabiskan hidup yang menyenangkan ini dengan cara yang tidak menyenangkan.
Ok, I’m not Tuesday with Morries or anything equivalent. Gue tidak punya potongan berbijaksana, bahkan saat gue sakit sekalipun. Gue cuma seorang Cina perhitungan.
Dalam pemikiran gue, jika gue menghabiskan waktu 5 hari di rumah sakit yang tidak menyenangkan, lalu 5 hari lainnya bedrest di rumah yang juga membosankan, rugi dong kalau gue menghabiskan 10 hari berikutnya mengerjakan hal yang tidak gue sukai? Lalu gara-gara 10 hari itu gue sakit lagi?
Rather, gue akan mengusakan supaya 10 hari itu gue jalani dengan hati suka, supaya gue tidak sakit lagi. Atau kalau sakit lagi, jadinya worth it. Perkara 10 hari ke depannya lagi gue tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup, hmm.. itu nanti-nanti aja deh pikirinnya!
Dan gue tidak peduli dengan mereka yang mungkin berpikir gue mau enaknya saja, dan bahwa gue akan berakhir miskin tanpa penghasilan karena semua kerjaan juga nggak enak. Lha ya iyalah, siapa juga yang mau hidup sengsara? They can get back to their office, enslave themselves working 15 hours in a day, doing things they hate, under sucky supervision, hanya untuk sakit jantung di usia muda dan tidak pernah menikmati ‘masa depan ‘ yang tak pernah datang.
Jadi di saat gue terlentang menunggu bius total, di samping seorang bapak yang tangannya tertembus mata bor berdiameter dua setengah senti, dan seorang manusia(entah laki-laki atau perempuan) yang sekujur wajahnya tertutup perban kecuali matanya, gue mulai memikirkan, what am I doing here? Do I wish to wake up in the next few hours and going to do things that I want to do now?
Jik tidak, maka gue sebaiknya mulai menggunakan sisa waktu bedrest untuk memikirkan langkah selanjutnya. Sebenarnya, tidak pernah ada yang mengatakan bahwa karena gue sakit-sakitan, harapan hidup gue jadi lebih rendah.
Seseorang yang sehat sentausa, tiba-tiba bisa terkena mata bor. Justru karena gue flu terus menerus, si usus yang meradang jadi sempat terdeteksi dan dipotong sebelum terlambat. Tapi gue beruntung bahwa penyakit yang lewat seolah mengingatkan gue terus-menerus, bahwa life is too precious to be spent doing things that you don’t like.
Mungkin terapi takut mati itu memang benar-benar efektif bagi manusia. Seperti Veronica dalam buku Paulo Coelho, Veronica Decides to Die. Veronica memilih bunuh diri di saat hidupnya senang santai-santai membosankan. Namun ketika percobaan bunuh diri gagal dan dia hanya bisa hidup semingguan lagi, Veronica malah kepingin hidup. Bukan hanya hidup, tapi living her life.
Tentu saja gue berharap tidak ada manusia sahabat super yang perlu ditakut-takuti dengan penyakit untuk berani memilih cara hidup yang lebih disukai. But for me, gue punya lima hari bedrest untuk menonton semua infotainment, membaca majalah gak penting dan memikirkan how to make this little life, a little bit more fun. Is yours fun?