Matchmaking Contest

“Gy, kasi ide dong! Ini gue lagi ketemuan ama cowo yang dijodohin, garing banget! Mana gue cuma makan bakmi bayar sendiri terus mau nonton masih lama die maunya nunggu di tukang bakmi aje!”

 

“Dih, loe apaan sih, uda pegi aja lah, bilang loe lupa mau ke gereja!”

“Yee mana bisa! Jelas-jelas tadi dia jemput gue di Gereja!”
“Ya udah bilang kek, rumah loe korslet, tadi lupa cabut setrikaan, baju loe kebakar, ketiup angin, nyamber kompor, apa kek!”

“Duh, untung ini masih trial, gue kagak mau dah sama mak comblang yang itu, gak bakal balik modal!”
“Eh, gimana?”

Usut punya usut, lelaki yang ditemui sang teman adalah buah perkenalan dari seorang Mak Comblang. Ya, di era milenial macam ini, jasa perjodohan ternyata masih laris. Bahkan bukan Cuma laris, tapi juga MAHAL. Untuk tiga perkenalan, Mak Comblang menawarkan paket tiga juta rupiah.

 

“Udah deh kenapa sih, bukannya yang gratisan aja,” gue menyarankan pada Tinta.

“Lah loe kagak liat tuh Tinder isinya kayak apaan sekarang? MAS-MAS semua cuy!”

 

Gue manggut-manggut. Gue memang sudah tidak update dunia dating apps. Sejak terpaksa cuci gudang banyak aplikasi supaya storage iPhone masih bisa digunakan untuk hal-hal fungsional seperti email dan whatsapp. Dan karena menurut gue Candy Crush Saga lebih setia menemani malam-malam dingin dibandingkan cowok-cowok yang gue temui di Tinder, maka gue memutuskan menghapus Tinder saja.

 

Namun kegigihan Tinta ikut biro jodoh membuat gue terpicu untuk mengorbankan aplikasi kurang terpakai seperti Microsoft Word, untuk kembali mengunduh satu aplikasi perjodohan. Gue dan Tinta pun membuat ulasan beberapa aplikasi yang layak memakan storage tersebut:

  1. Lunch Actually

Berawal dari keresahan muda-mudi yang tidak puas dengan situs perjodohan gratisan yang memberi akses pada rakyat jelata, lahirlah situs-situs perjodohan premium. Salah satunya yang lumayan terkenal di area Asia Tenggara adalah Lunch Actually.

 

Bayangin aja, jangankan untuk dipertemukan, untuk ‘assessment’ aja udah harus bayar! Di Indonesia 800 ribu, kalau di Singapur kalau nggak salah beberapa ratus dolar. Sedangkan paket setahun termurah adalah 8 juta rupiah, dan di Singapur beberapa ribu dolar ( tapi balik lagi, loe bakal ketemu cowok yang punya ribuan dolar hanya untuk kupi darat!) .

 

“Eh gile, mahal banget!” Gue langsung protes.

“Nah justru itu tujuannya, biayanya emang tinggi biar social climber macam eloe gitu nggak coba-coba nyari jodoh orang tajir!” Tinta tersenyum penuh kemenangan.

 

Ya, dengan menetapkan premi yang cukup untuk mengancam dana darurat  itu, bisa dipastikan hanya mereka yang mampu bayar yang berkumpul di dalamnya. Seleksi alam. Tapi ingat, orang jahat juga bisa bayar. Koruptor juga bisa bayar. Mau dapet jodoh koruptor?

 

Selain itu, karena metodenya yang hanya mengatur pertemuan, tata cara kencan dan pacarana yang berlaku di dunia nyata, jadi sangat terasa. Nggak ada tuh karakter instan dan cepet jadi ala online.

 

Gue teringat kasus Rachel Uchitel, seorang pebisnis wanita ikutan celebrity matchmaking . Ia diberikan tiga calon.

Pada calon pertama, saat berpisah ia langsung mencium sang kandidat.

Pada calon kedua, kencan pertama, ia langsung bertanya “Jadi abis ini gimana follow-up nya?”

Pada calon ketiga, ia memulai dengan, “jadi gini ya, gue tuh sibuk, besok belum tentu masih di kota yang sama. Udah deh langsung aja, loe mau ama gue apa enggak?”

 

Buntutnya beliouw tetep aja jomblo. Para calon ternyata ketakutan dengan sikap frontal Rachel. Sedangkan yang dijodohkan juga berakhir misuh-misuh, katanya pada serius, ditantangin pada mundur semua!

2.    Coffee & Bagel

“Kalau nggak loe ikutan ini aja nih, semi berbayar, tapi masih ada gratisannya lah, lumayan isinya!” Saran Tinta. Gue langsung download dan mencoba kutak-katik. Bener juga, nggak ada yang profile picturenya muka bebek di atas motor matic. Biodatanya juga masih bisa diterima akal sehat. Nggak ada yang ngaku supermen (pake e) atau aQ adlh P4n63r4n yg KAUNanti…

 

Sistemnya mayan mirip Tinder. Kalau suka ‘like’ dan bisa kirim pesan. Kita juga bisa lihat cowok-cowok yang sudah ngelike kita duluan. Lalu kalau sudah mencapai kuota, bisa kirim ‘coffee’ atau ‘bagel’ yang menyelipkan biaya. Mirip kalau main candy crush lah, mainnya sih gratis, cuma kalau mau tambah ‘nyawa’ musti beli.

 

Hanya karena mereka nampaknya punya pekerjaan tetap, cowok-cowok yang gue ‘like’ itu tidak seresponsif di aplikasi lainnya. Gue kira gue aja yang dikacangin, tapi dari awal Tinta juga merasakan hal yang sama. “Tuh loe liat, pada kaku amat kayak kanebo kering!” ujarnya menunjukkan daftar lelaki yang diincer. Gue melihat-lihat seleksi itu sambil mengerenyit.

 

“Bok, pilihan loe nih yang mukanya alus-alus amat, naksir perempuan nggak sih?”
“Gy, udahlah, ada cowok pake lipbalm tapi sexchatnya kesebar kemana-mana kok!”

“Ya tapi, liat dhe ini manis banget, ada tulisannya nggak sih interested in men or women?”
“Nggak ada sih”

“ini aplikasi buat pasangan hetero aja apa buat yang laen-laen juga sih?”

 

Gue baru menyadari bahwa aplikasi ini tidak menegaskan orientasi seksual seseorang. Jangan-jangan.. saingan gue selama ini lebih luas secara gender!

 

 

3.    Tinder

Aplikasi yang satu ini kayaknya nggak perlu direview lagi. Setidaknya 20% muda-mudi kota besar Indonesia pernah lah merasakan di-swipe di Tinder. Keluhan gue yang pertama (atau bisa juga hal yang positif sih) adalah aplikasi location-based ini terlalu CASUAL. Kelewat satu malam saja gituu.. Udah gitu makin lama isinya makin random. Kalau kata Tinta sih karena yang bagus-bagus dah pada taken semua.

 

Untuk itu aplikasi ini sekarang punya versi premiumnya. Isinya yaa… lebih mirip Coffee & Bagel lah. Masih bisa ketemu orang-orang yang dalam kesehariannya gue temui di bidang professional (BUKAN YANG BIDANG PERTANIAN).

 

Cuma tetep aja menurut gue Tinder itu lebih cocok untuk cari kencan-kencan singkat. Pasalnya nggak ada informasi-informasi yang penting guna menentukan langkah serius di masa depan, seperti detail agama, latar belakang keluarga maupun status ekonomi.

 

“Ya eloe batesinnya pake lokasi dong, kalo loe aktifinnya di Kelapa Gading, otomatis loe bakal dapet cowok cina katolik yang pernah papasan ama bapak loe!”
“GUE AKTIFIN DI EROPA AJA DAPETNYA COWO MUSLIM!” Gue melotot kesel.

“Oh iya bener juga, itu sih nasib loe aja, jangan salahin aplikasinya!” temen gue melengos, sambil swipe kanan cowo botak unyu yang gue sumpahin beda agama sama temen gue itu.

 

4.    CATHOLIC-MEET-UP

“Nahh, loe ikut yang ini aja nih Gy! Dah pasti dapetnya seagama!” saran sang temen. Gue melirik tajam, “isinya 8 orang bukan?”

 

Ya abeesshh… Dalam kehidupan nyata aja, ketemu cowo katolik di Indonesia macamnya mencari jarum dalam tumpukan jerami gitu. 200 juta, dikali 8%, dibagi 2 pria-wanita, dibagi 4 ranah usia, dikali 25% yang sudah menikah, lalu sisanya tersebar di Indonesia bagian Timur. Gue pengen tau penetrasi aplikasinya brapa bersen.
“Loe kreatif dikit dong, loe lebarin tuh parameter lokasinya!”
“Iya ketemunya di Larantuka, loe tau nggak dari sini ke Larantuka ganti pesawat 3 kali naek kapal kotok sekali?”

“BUKAAANN.. Maksudnya luasss seluas-luasnyaaa sampe Amerika! Nih temen gue baru sign up dah dapet di Ostrali, besok hari Senin mereka ketemuan jam 7 pagi di Gereja!”

“Moon maaph ketemuannya di mana jam berapa?

 

Ya, pada intinya, aplikasi berbasis keagamaan ini cukup efektif menjaring pria-pria siap nikah. Selain ini ada juga yang khusus keturunan Tionghoa, khusus keturunan Tionghoa dan beragama tertentu, dan sebagainya. Kalau dah nyari yang seagama, otomatis serieus dong… Testimoninya banyak. Cuma ya itu, kalau buat agama gue sih, opsinya mayan terbatas. Apa karena terbatas, jadi lebih gampang milihnya ya?

 

5.    AyoPoligami.com

Ngomongin aplikasi berbasis keagamaan nggak afdol kalau nggak review aplikasi kontroversial satu ini. Jika Tinder itu menjurus casual, maka aplikasi ini MUTLAK CASUAL. Sepanjang yang gue pasang nggak ada tuh yang ngajakin gue nikah, jadi istri ke-berapa kek! Semuanya cuma ngajak check-in di airyrooms atau di kost eksekutip (beneran pake P, yawlawwhhh… beneran menguji kesabaran si akhi nih).

 

Nggak tau sih aplikasi ini masih ada apa enggak. Gue juga cuma pasang bentar, sebelum kemudian memutuskan menolak semua lelaki yang menyapa gue di sini karena mereka tidak menyanggupi aturan poligami yang gue tanyakan: Nggak ada yang udah minta izin ke istrinya!

 

6.    Mamih dot com

Pada akhirnya, ketika semua yang online itu gagal, kembalilah kita pada keluarga tersayang. Dengan harapan penuh bahwa orang tua akan memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tapi terkadang karena sudah kelewat semangat ngunduh mantu, orang tua suka buta dengan kekurangan sang calon jodoh. Tinta pernah dijodohkan sama lelaki yang ternyata udah punya cowok. Iya, cowok.

 

Sedangkan si mamih, baru aja menawarkan menjodohkan dengan anak seorang teman SMA-nya yang tinggal di luar negeri.

“Loh tapi lebih muda jauh mih?”
“Ahh umur mah nggak pentiiing.. mamih emang palsuin sih bilangnya kamu lebih muda 2 taon dari sebenarnya hihihihi.. Dia cuma nanya shio kamu, aja udah mamih jawab, kerbau.”

“Lah ketauan dong tahun lahir sebenarnyaa?”

“OH iyaa duuhh mamih salah, coba-coba de, cariin kalau lebih muda 2 taon tuh shionya apa?”

 

BODOAMATTT!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *