In Memoriam: 3in1

Minggu ini adalah minggu pertama diberlakukannya peraturan ganjil genap di semua area bekas 3in1 di Jakarta. Memang sih, uji cobanya sudah dari bulan-bulan lalu, tapi kalau belum ada surat tilangnya kayaknya kurang nendang.

 

Gue tidak tahu apakah aturan ini baik atau tidak. Yang jelas, selama antrian busway di peak hour masih 45 menit, gue tetap akan mencari cara agar mobil ganjil gue bisa lolos di tanggal genap. Tapi gue yakin, aturan ini lebih baik daripada aturan 3in1 jaman dulu.

 

Selain karena mencegah anak kecil berkeliaran sebagai joki di jam sekolah, aturan ini juga mencegah dosa. Minimal, kebohongan di sistem ini yang kepikiran baru bikin plat palsu. Sedangkan 3in1 memberikan begitu banyak celah untuk berbohong, mengarang cerita palsu sehingga otomatis menjadi ladang dosa gue.

 

Bayangkan, gue punya TIGA kartu identitas perusahaan made-in-benhil yang gue contek desainnya dari internet. Gosipnya, perusahaan yang kantor pusatnya terletak di pengkolan jalan protokol ini punya perjanjian khusus bebas 3in1. Itu artinya TIAP HARI DUA KALI SEHARI gue telah berbohong tentang pekerjaan asli gue.

 

Demi mengenang momen 3in1 yang begitu berkesan, gue merangkum beberapa KEBOHONGAN atau pemelintiran fakta yang pernah gue dan teman-teman lakukan guna menghindari 3in1

1. “Bapak nggak bisa nilang saya! Saya ini janda!”
Yang ini adalah pick-up line favorit ibu seorang kolega kantor. Biasanya, si pak polisi akan membalikkan bahwa meski janda ia tetap harus mematuhi peraturan. Namun ibu itu akan semakin sengit! Ia akan menuduh polisi itu kejam, “bapak kok tega sih memeras janda! Saya udah nggak ada penghasilannya, Bapak masih mau ngambil duit saya! Bapak tuh agamanya apa sih? Apa nggak diajarin di agama Bapak untuk melindungi para janda?”

Nah, kalau sudah bawa-bawa agama begini biasanya pak polisi nyerah. Sebenarnya suami si ibu ini memang sudah meninggal 10 tahun lalu, jadi nggak bohong-bohong amat lah. Kekecewaan Tuhan mungkin hanya semata isu agama yang dipelintir seperti ini.

 

2. “Saya anak yatim!”
Mirip dengan metode si ibu kolega, seorang rekan kantor yang ditinggal ayahnya ketika masih SD selalu mengangkat isu ini. “Pak,saya itu anak yatim, saya nggak punya siapa-siapa lagi untuk dibawa di mobil ini Pak.. saya hidup sebatang kara..” Alasan ini biasanya lebih mudah diterima dengan wajah nggak enak si Pak Polisi.

Nggak apa-apa juga sih, namun masalahnya ia sering mengeksploitasi almarhum ayahnya! Ada bagi-bagi makanan, pasti minta duluan, ‘anak yatim duluan mau makan…’, ia juga sering minta ditraktir ‘kasi makan anak yatim’, bahkan kalau ada lelaki yang sama-sama ditaksir, ia akan menganjurkan kami untuk mundur karena ‘sebaiknya lelaki ini menafkahi gue yang anak yatim daripada kalian.’ Kan an**ng.

 

3. “Aku hamil Pak…”
Nah ini satu alasan 3in1 yang gue pakai daripada gue kualat dan karena belum punya tampang janda. “Tapi kan belum duduk di mobil,” demikian biasanya polisi berkilah. Yang biasanya gue jawab sengit,  “Apa maksud Bapak? Jadi anak yang dalam kandungan saya ini bukan manusia, begitu maksudnya?”

“Kalaupun iya, cuma nambah satu bu, aturannya tiga orang!”
“Anak saya kembar,”
“Kok nggak keliatan Bu,”
“Pak, saya tuh ikut kelas hamil ala Jepang, menurut guru saya, hamil itu gendut karena yang dimakan cuma yang nyenengin ibunya aja, kayak nasi, kerupuk, kue nastar.. Nah, kalau yang dimakan gizi buat anaknya, kayak salmon panggang nggak pake mayonnaise, sayur rebus, putih telor yang kaya vitamin, itu nggak bakal bikin gemuk. Asal Bapak tau ya, janin tuh ukurannya kecil, blahblahblah…”

Kalau sudah begini, si Pak Polisi pasti yakin gue hamil, nggak mungkin orang nggak hamil punya pengetahuan segini banyak. Dia nggak tau aja, I would do anything to escape 3in1!

 

4. Jam tangan kecepetan / Kelambatan
Oh ini trik yang paling sering dipakai kalau waktunya cuma beda 10-15 menit. Segera majukan jam sehingga melewati batas waktu 3in1 dan ketika disetop bilang ‘jam saya udah jam segini pak..’ Tentu saja, karena alasan ini kurang emosional, kemungkinan lolosnya pun rendah. Biasanya Pak polisi sebodowae dan tetap akan menilang, tapi jangan khawatir, karena itu akan membuahkan kebohongan berikutnya…

 

5. SIM Merah
“Oh gue lagi bebas 3in1, gue lagi pake SIM merah,” demikian dengan penuh percaya diri gue menyatakan pada teman-teman yang mukanya langsung heran, SIM Merah apaan sih? Gue lalu menunjukkan surat tilang yang gue dapat karena melanggar 3in1 beberapa waktu sebelumnya.

Gue mendapat inspirasi ini setelah kena tilang dan bertanya apa yang harus gue lakukan jika dicegat polisi lagi nanti, SIMnya kan udah ditahan. “Tunjukkin aja surat tilangnya Mbak, jadi nggak ditanyain SIM,” demikian saran Pak Polisi. Otak gue langsung berputar cepat, kalau hari ini bisa, kenapa besok tidak bisa? Dan benar saja, karena polisi niatannya cuma menilang, begitu melihat SIM Merah gue di dashboard mobil, gue langsung diizinkan lewat. Biasanya sambil gue memberi Bahasa isyarat ‘Udah pak tadi di belakang!’

Setelah dihitung-hitung, satu kali pelanggaran itu dendanya Rp. 150.000,- biasanya gue baru dipanggil sidang dua minggu setelah kejadian, dan SIM gue baru benar-benar ada di pengadilan SATU BULAN setelah kejadian. Itu berarti selama satu Bulan gue dapat menggunakan SIM merah untuk menerobos 3in1. Kalau biaya joki adalah Rp. 20.000,- sekali naik, dan ada 20 hari kerja, berarti gue sudah hemat (20.000x2x20-150.000) = Rp. 650.000,-! Lumayan kan!

Gue akhirnya langganan SIM Merah. SIM asli gue sampai kayak muka kena cacar monyet sanking banyaknya bolong bekas staples. Calo-calo pengadilan pun sudah ngenalin, karena gue sekarang sudah bisa ngambil SIM sendiri. Kalau masuk pengadilan, mereka akan menyapa ramah, “Mbak! Ditilang lagi?”

Tentu saja aturan ini tidak bisa gue terapkan di gerbang pertama 3in1.
“Mbak, kan sebelum ini belum ada pemeriksaan! Coba saya lihat,” begitu kata polisinya, “Mbak! Ini kan tilang 2 minggu yang lalu, beda kali, hari ini tilang lagi!” Kalau sudah begini gue akan bohong lagi dan menyatakan gue tidak mengetahui hal itu, minta maaf dan berjanji tidak mengulangi!

 

Tapi ada masanya gue lebih memilih jujur. Suatu kali gue dicegat polisi di Medan Merdeka. Ia melongok ke samping tempat duduk gue (kosong), lalu ke tempat duduk belakang, (kosong juga), dan kemudian berkata ‘Oh ya udah OK, silakan jalan bu!’ Saat itu gue rasanya pengen banget minta ditilang, ‘Pak! Tilang saya Pak! Saya sendirian! Dalam mobil ini Bapak nggak lihat siapa-siapa selain saya kan, Pak? Kan? Kan? Kan??????’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *