“BUUU!! KUCINGNYA NAKAL!!! NAIK KE ATAS UGE!!”
“APAAAAAA??? KURANG AJAR!!! CIYATTTT!!!!”
Dengan perkasa si mamih langsung menyabet dengan ujung sapu si kucing gendut yang sedang tidur siang sambil menggaruk-garuk atap UGe, mobil semata wayang gue. Kucing gendut langsung melompat panik. Bulunya rontok bertebaran.
Sesaat gue melemparkan senyum penuh kemenangan. Kucing gendut membalas dengan cibiran licik. Dicakar-cakarnya UGe dengan kalap sebelum meloloskan diri dari sela-sela pagar. “KUCING!! AWAS LOE BERANI KESINI LAGI! GUE JEPITTTT!!!”
Buka-bukaan aja. Gue bukan pecinta binatang. Sejak kecil, hasrat gue memelihara hewan apapun selalu dikandaskan dengan pernyataan penuh realita dari ibunda, emang mau beresin tainya? Pipisnya? Terus kalau sakit? Siapa yang ngerawatin? Bersihin muntahnya? Ketularan toksoplasma?
Praktis satu-satunya hewan peliharaan gue adalah ikan hias yang gue masukkan ke dalam toples selai kacang, yang suka gue aduk-aduk guna membuat silhuet warna-warni dalam air dan besoknya gue temukan mengambang. Gue memang tidak suka membelai dan berkasih-kasihan dengan hewan apapun. Tapi dari seluruh binatang, yang paling gue benci adalah kucing.
Bagi gue, kucing adalah binatang yang paling tidak fungsional. Kucing cuma untuk dimanja atas sifat yang mau enaknya saja. Coba lihat kucing gendut yang selalu butuh alas yang empuk untuk tidur. Setelah kehilangan bangku teras depan, ia bercokol di atas sepasang sandal yang diletakkan di luar. Setelah sandal dimasukkan, ia menggunakan koran pagi. Setelah koran diamankan, kucing langsung bercokol di atas jok motor Pak Supir. Dan saat Pak Supir pulang, melingkarlah ia ke atas ban serep mobil bokap. Pokoknya pantang kena hawa dingin.
Jika ada satu hal yang membuat gue ingin menikah, adalah karena para janda dan perawan tua selalu identik dengan kucing-kucing. Dan bayangan menghabiskan akhir hidup bersama kucing keparat membuat gue menetapkan target usia pernikahan.
Gue tidak habis pikir kenapa para janda memilih kucing. Kenapa bukan anjing, yang bisa buat jaga rumah? Atau ikan koi, yang bisa bawa hoki? Atau burung kakak tua yang bisa diajak ngomong? Kenapa…kucing?
Apa para janda tidak muak melihat tingkah polah kucing yang mirip wanita manis manja menye-menye seksi high maintenance seperti pussycat dolls? Spesies yang sama yang menyiwerkan mata calon suami potensial? Atau…justru sikap kucing semacam ini justru lebih menggambarkan sifat seorang lelaki? Sesuatu yang hilang dan dirindukan dalam hidup para janda?
Gue teringat akan Naomi, kucing hitam di rumah kost Kakak. Naomi sungguh bukan kucing yang baik. Tidak terima disapu keluar kamar, suatu pagi ia menggigit betis kakak hingga berdarah. Tapi Nyonya Kost menutup mata.
Begitu mengiggit, Naomi pura-pura sakit, dan Nyonya Kost langsung menggendongnya dengan penuh kasih sayang. Lalu Naomi diberi susu Dancow, friskies sambil didudukkan di atas sofa lembut menonton TV. Sesaat ia mendengkur-dengkur kecil, dan Nyonya kost kembali membelai-belainya, Naomi kenapa..mau dibikinin apa?
Kakak dan gue mendesis iri melihat kemunafikan Naomi. Nyonya Kost merawat Naomi layaknya wanita merawat seorang suami. Padahal jika Naomi itu suami, ia adalah suami tukang selingkuh tidak tahu diri. Atau..memang Naomi dirawat untuk menjadi pengganti suami tukang selingkuh yang absen dari hidup?
Coba sebutkan sifat-sifat kucing: Manja. Malas. Egois. Tidak setia. Munafik. Tukang kawin. Dan good for nothing. Sekarang, coba sebut sifat seorang pria (bayangkan seorang mantan pacar akan lebih mudah) yang sedang nonton TV sambil selonjoroan sambil tidak melakukan apa-apa. Familiar?
Pria sebagai kucing hidup berdasarkan ‘makanan’. Dan kalau tetangga bisa memberi makanan yang lebih nikmat, bukan tidak mungkin akan berpaling! Selain itu, kebutuhan yang lain adalah susu, dibelai-belai dan mandi kucing. Dan sungguh, di era emansipasi ini, what good does a man do except for the glorious purpose of making babies?
Herannya, meski tak setia, pria sebagai kucing akan cemburu kalau majikannya punya peliharaan baru. Kisah Sylvester dan Tweety tentunya diinspirasi perseteruan kucing yang ingin memakan burung nuri. Padahal mereka sama-sama binatang peliharaan yang dikasihi. Kisah poligami bertaburan di majalah Kartini. Kisah Poliandri? Dilarang agama. Bagi orang tak beragama? Dilarang norma. Pokoknya nggak boleh.
Kaum pria jelas keberatan dengan teori ini. Sebagai spesies yang gue samakan dengan kucing, Mr Pus (bukan nama sebenarnya) protes. Ia merasa bukan tipe yang suka mencari makan di tempat lain. Untuk pernyataan ini, gue punya dua kemungkinan: 1. Pus diberi cukup makan. 2. Pus mungkin mencari makan di tempat lain, tapi karena Pus munafik, tentu ia akan merahasiakan itu dari tuannya!
Kalau begitu, kenapa gue tetap mencari lelaki? Sayang sekali, gue tidak punya pilihan. Kalau semua cowon kaya kucing, mau nggak mau musti milih kucing! Dan dengan berat hati, gue harus mengakui, *mengutip seorang teman* I’m a sucker for love.
Mencintai adalah kebutuhan. Semanja apapun, seegois apapun, setidak setia apapun, semunafik apapun, sepemalas apapun, setidakberguna apapun kucing atau lelaki, wanita tetap memerlukan objek untuk disayangi, dirawat, dilindungi. Dan kalau pilihannya kucing dengan pria, sungguh gue lebih cinta lelaki.
Teori kucing ini, lebih dilandasi kebencian terhadap kucing daripada keinginan merendahkan lawan jenis. Ini adalah sebuah becandaan yang sama dengan analogi pacar gelap adalah sirip hiu dan istri adalah ikan asin, membosankan, tapi cukuplah untuk makan nasi sehari-hari…
Atau becandaan pacar seperti handphone laptop seperti istri, kalau kena virus, handphone ga bisa dipake lagi, sedang laptop, masih diutak-atik biar bener… Meski dengan semua humor itu, kita semua mengetahui, bahwa lelaki mencintai pacar dan istri masing-masing, ya kan?
Gue pun pernah menemukan kucing yang sifatnya sedikit lebih baik. Seperti Bego, kucing bermata biru berbulu hitam yang agak telat dalam berpikir. Di saat saudaranya menghindari siraman air, si bego tetap diam terpaku hingga bulunya basah semua, baru kabur.
Di saat menyeberang jalan, si bego akan membelalakkan mata biru besarnya pada mobil yang nyaris melindas, menunggu mobil itu berhenti, baru melanjutkan perjalanan. Hingga suatu hari bego hilang. Kami mengira ia pasti sudah mati karena ketololannya.
Beberapa bulan kemudian, datanglah kucing lain ke rumah gue. Kucing ini berbulu hitam pekat, bertubuh tinggi besar, berperawakan lebih mirip macan kumbang daripada kucing. Saat diusir, ia akan menyeringai menunjukkan taring sebelum pergi. Kucing kampung dengan mudah ia tomprok hingga kehabisan nafas. Sudah jelas, dengan ukuran dan kegalakannya, inilah spesies yang disebut kucing garong.
Gue menaruh kagum pada Garong. Bagi gue, ia adalah kucing yang sangat tampan dan jantan. Hingga suatu hari saat Garong sedang duduk di atas pagar, matanya beradu dengan gue. Mata biru besar yang membelalak. Dan tahulah gue, Bego is back.
Kegalakan Garong saat diusir bukan karena ia menolak pergi. Tapi karena seperti masa kecilnya, ia agak terlambat mencerna usiran. Juga keperkasaannya mengusir kucing kampung bukan datang dari keahlian berkelahi. Tapi karena ketidaktahuannya tentang apa yang harus dilakukan kecuali mengandalkan berat badan sendiri. Hanya kini Bego telah menjelma menjadi Garong.
Bego tidak punya kelakuan seekor kucing garong. Selalu ngliatin sasaran, main sikat makin embat, apa yang lewat… Meski galak, Garong adalah kucing yang sopan. Ia selalu menurut jika disuruh pergi, namun tak pernah meninggalkan rumah.
Hingga suatu hari Garong pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Konon Hansip Udin diupah untuk mengarungi kucing sebesar macan yang telah meresahkan warga RT010/RW002. Tapi Garong membuat gue percaya, if men equal to cats, there will be a man equal to Garong. Yang macho ganteng namun penuh keluguan. Yang meski berkelana jauh akan selalu ingat rumah. Yang perkasa namun lemah lembut. Rrrrr!