“This is not the city to be alone,” ia berkata. Gue menoleh, mencari asal suara and there he was, di pelataran rumah Juliet, di pagi musim gugur yang mengigit dinginnya, dengan jemari tangannya bersembunyi di overcoat cokelat, yang senada dengan rambut dan mata coklat jernihnya.
“Well, I don’t exactly have a choice, except…are you going to be an option?” Gue merespon.
“I can be a fantastic tour guide, not to mention we may look good together,” ia menjawab lagi, sambil menyodorkan lengannya untuk digamit. It could be a scam, tapi siapa peduli. Gue juga tidak punya banyak uang untuk ditipu.
It’s strange how a wish and a prayer work.
That year was 2017. Di saat pekerja seni lain sibuk produktif berkarya dalam residensi, kesalahan booking tanggal pulang membuat gue keleleran bersinggah di kota-kota termurah Eropa seorang diri- atau dengan jamet-jamet ras Aria.
Maka agar agak lebih bertema, gue menyambangi Verona. Umroh. Ke kota cantik yang menginspirasi satu latar penulis naskah legendaris yang di masa muda gemar dilakoni. Ya ke Inggris dong, kalau tujuannya gitu, kata seorang suster kepala zaman SMA yang tengah bertugas di Roma. Tapi Letters to Juliet kan nggak setting di London, gue berkilah.
Niatan solo trip ujung ke ujung, healing kalau istilah 2020annya, goyah melihat para pasangan yang bergandengan tangan menyusuri lorong abad pertengahan menapaki jalanan berbatu, bergandengan, mencuri cium.
Maka pagi itu, dengan jetlag yang tidak lekang dipupus, gue mendatangi satu-satunya obyek wisata yang buka subuh: Gereja. Basilica di St Anastasia pagi itu lengang, hanya diwarnai gerak lilin di altar kapel, memantulkan bayangan-bayangan di dinding Basilika yang dipenuhi lukisan-lukisan yang telah memudar.
Konon, berdoa di Gereja yang belum pernah didatangi punya kekuatan magisnya tersendiri. Dan setelah bertahun-tahun melakukan ritual yang sama minta kaya dan belum-belum terkabul, gue akhirnya meminta yang Mami selalu pesankan: yang memang perlu mujizat katanya: Yes, I’m ready, Lord. For a guy. For a serious relationship.
Usai mengagumi ornamen Gereja yang luar biasa agung itu, gue keluar. Masih jam 8 pagi. Masih sepi. Dan tempat yang juga sudah buka? Pelataran rumah Juliet itu. That’s how I met an Italian boyfriend.
I had fun. Ia tahu banyak hal tentang Verona, dan ceruk-ceruk rahasia yang dipenuhi cerita rakyat. Di akhir hari ia menawarkan mengunjungi Sirmione, kota kelahirannya. Pikir panjang tidak pernah mendefinisikan diri gue. Maka respon gue adalah: Mengapa tidak?
Maka keesokan harinya ia menjemput untuk pergi ke Sirmione, satu jam perjalanan dari Verona. Setelah kembali keluar masuk gerbang batu sambil menyusuri tepi danau, ia menawarkan untuk mampir ke rumah. Sekali lagi, tentu saja ini bisa jadi sebuah scam, tapi sekali lagi, gue tidak dikenal sebagai seseorang yang punya pikiran panjang.
Yang disebut rumah adalah sebuah villa gaya kastil abad pertengahan di tepi danau lengkap dengan sebuah kolam kecil di dalamnya. Kayaknya tidak akan masuk ke rentang budget Airbnb gue. Pikiran pendek gue mendefinisikan kondisi ini sebagai sebuah keuntungan. Dan karenanya, gue bersenang-senang.
Lalu keesokan harinya, konsep pacar sementara cum tourguide, berubah konsep.
There was that loving look. There was that L word. There was a conversation if he should join me back to Indonesia, to meet with my parents. There was a future plan. And by default, I freaked out. What did I just do?
Gue mulai sakit kepala. Orang yang jatuh cinta secepat itu pasti ada gila-gilanya. Dan gue punya sejarah mengumpulkan lelaki-lelaki aneh. Bagaimana kalau ternyata orang ini psycho, yang suka menjebak turis untuk untuk mencincang-cincang lalu merebus korban di panci panas?
Bagaimanapun juga gue bepergian sendiri. Keluarga gue tidak ada yang tahu gue ada di mana. Nomor Indonesia gue tidak aktif, hanya whatsapp dan satu nomor lokal Itali dengan paket termurah yang internetnya suka byarpet. Gue mulai mengirimkan pesan pada teman-teman terdekat. Just in case.
“Emang kerjaannya apa Gy?” tanya seorang teman membalas pesan gue.
“Penulis buku anak,” gue menjawab.
“Kayaknya bukan pekerjaan cowok psycho sih,” komentarnya.
“He’s much older, 40s!” gue mencari alasan lain.
“And you’re 30s,” jawab si teman datar. Muak dengan gue yang suka lupa umur.
Lalu gue mulai menyusun plot melarikan diri. Tiba-tiba harus ketemu orang. Ketemunya musti di Milan. Harus jalan sendiri, sarat. Nggak, nggak usah dianter ntar lama. Naik kereta aja biar cepet. Naik pesawat kalau perlu.
“Will you be here next summer?” tanyanya dengan mata cokelat sedih itu.
“Of course,” gue tersenyum. Janji, yang menumpuk karma ghosting yang mungkin harus gue bayar dalam ribuan tahun ke depan.
Setibanya di Milan, gue menghirup nafas lega. Gue tidak pernah suka Milan. Haluan merk gue tidak pada merk-merk yang lahir di kota ini. Tetapi gue menikmati es krim dan pizza turistik sedokiran dengan penuh sukacita. Tidur nyenyak di hotel yang jelas nggak standar kastil. Tidak pernah merasa sebebas itu. No Lord, apparently, I’m not ready yet, nanti-nanti aja deh ya, gue mencabut lagi doa gue di Basilika.
Kini, membuat buku dengan tema serupa, gue mereview lagi tentang keinginan dan doa-doa itu. Sometimes we wish for something we don’t really want. Sometimes, we think want something because someone else look good with it. Or sometimes we think we want it, because others want it. Worse, sometimes we wish for something just to please the unknown mass of society that has no significance in our life.
But the truth it, it was never our own wish. And in the process of understanding what we really want, we hurt others. Others, whose dream were shattered because we were part of that dream. Melihat pasang-pasangan di Verona, gue berpikir bahwa ITULAH yang gue inginkan. Padahal, itu hanya sebuah imaji yang gue copy-paste, karena orang lain terlihat bagus di situ. Atau gue telah menyerap takaran masyarakat, bahwa berpasang-pasangan adalah sebuah ideal?
Mungkin, gue harus mencari ke dalam dulu sebelum menjadikan orang lain takaran kebahagiaan gue. Agar dalam proses untuk memahami ini, gue tidak melukai orang yang mungkin tidak punya intensi buruk pada gue.
Gue tidak pernah kembali ke Sirmione. Gue kadang bertanya apakah ia benar-benar menunggu di bunderan Sirmione itu. 12 Agustus, musim panas berikut, seperti yang kami janjikan. Gue juga tidak mencari tahu karena dalam mekanisme kabur, gue menghapus memori tentang namanya. Apakah Antonio, Giorgio, entah, yang gue ingat hanya namanya Itali banget.
Ada momennya, terutama setelah diramal dengan berbagai metode bazi, vedic, primbon, astrologi bahwa jodoh gue itu beda etnisitas, gue bertanya-tanya jika sebagai bagian karma yang harus dibayar, gue telah melewatinya; THE ONE; dan tidak akan ada lagi cinta yang datang. Lantas bagaimana nasibnya Giorgio, Antonio atau siapalah namanya, apakah akan juga jadi jomblo foreva?
“Of course not,” gue mendengar Tuhan menjawab, “he was just there to prove my point,”
“Which point?” gue bertanya balik.
“That you weren’t ready. And that you, human, never know what you really want,” jawab-Nya.