Tiba-tiba saja gue menulis Chicklit. Tiga hari sebelum Valentine, di saat kehidupan asmara gue begitu datarnya, justru seorang teman menceritakan drama asmaranya yang ganjil dan aneh. Komentar gue saat itu cuma satu, “Chicklit banget sih!”
Temen gue langsung protes, menurutnya kisahnya itu lebih cocok dikategorikan sebagai cerita horror daripada chicklit.
“Tapi aduhh..coba loe liat deh, kalau berakhir kayak gini yah, wahhh…soo sweeeetttt!” gue mengompori. Tentunya temen gue itu langsung melotot protes, “Enak aja akhirnya kayak gitu! Loe aja yang balik sama mantan pacar loe yang…*sensor…komentar rasis yang tidak pantas disebutkan di dalam blog*”
“Yee, yang punya cerita kan eloe! Loe tulis aja, bisa jadi kisah asmara dan diperankan Nicolas Saputra!” gue menghasut. Temen gue tidak bergeming, menurutnya kisahnya itu tidak ada romantis-romantisnya, juga tidak ada bagus-bagusnya.
Tapi dari sisi pendengar…ohh…sayang sekali jika cerita temanku itu hanya mandek sampai telinga gue. Suka bergosip dan suka mengatur, maka jadilah gue yang menulis si chicklit itu, seturut kehendak gue.
Sebuah keputusan yang gue ragukan ketepatannya.
Sejujurnya, gue juga bukan penggemar ChickLit. Malu sama badan! Rambut cepak, gaya tomboy, gak bisa menjahit atau menyulam, tapi bacaannya cewek banget, ga cocok selera sama penampilan. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para penulis ChickLit di luar sana, kadang gue juga merasa bacaan ini merupakan pembodohan masyarakat, hampir sama levelnya dengan menonton sinetron.
Ngapain sih baca cerita yang sudah ketebak banget akhirnya? Begitu lihat sampulnya aja gue udah tahu siapa jadi sama siapa! Dan yang bikin sebel lagi, setiap Chicklit yang gue temui selalu berawal bahagia dan berakhir bahagia. Setiap tokoh utama akan mendapatkan pria pujaan, plus sahabat sejati dan keluarga yang lengkap dan utuh.
Padahal dalam kenyataan, mana ada sih hidup seorang wanita yang sesederhana dalam Chicklit? Mana ada sih happy ending di dunia nyata? Setidaknya, hal sedemikian belum muncul dalam hidup gue!
Sungguh tidak riil! Menyesatkan! Menjerumuskan wanita-wanita muda ke dalam jurang ilusi yang memabukkan! Inilah dongeng Cinderella di masa modern!
Tapi duduk di depan laptop, mengetik Chicklit, gue jadi bertanya-tanya jika ChickLit itu sungguh seburuk itu. Atau mungkin karena tak kenal Chicklit maka aku tak sayang? Mungkin emang gak penting kenyataan kita tahu bagaimana sebuah cerita akan berakhir, karena yang penting adalah prosesnya. Bahkan pada kehidupan nyata, hidup yang berliku-liku menegangkan mengharubirukan menggemaskan itulah yang memberi makna bagi hidup, bukan bagaimana kita mengakhiri hidup.
Dan bagi gue, proses menulis Chicklit itu membuat gue meragukan pesimisme gue dan teman gue: bahwa tidak ada happy ending untuk manusia nyata. Atau, sebenarnya sama seperti dalam Chicklit, tokoh utama akan berakhir bahagia, tapi sayangnya, manusia dalam kehidupan nyata gak pernah merasa dirinya sebagai tokoh utama dalam kehidupannya sendiri, sehingga bahkan ga mengharapkan happy-ending untuk dirinya?
Gue melihat draft yang sedang gue tulis saat itu. Kalau cerita itu berasal dari awang-awang langit jingga di sore hari, baiklah gue menyebut akhir cerita yang bahagia itu hanya fiksi belaka. Tapi kisah yang gue tulis terinspirasi dari cerita teman gue, berarti memang ada di dunia nyata kisah-kisah yang berpotensi mendapat happy ending.
Sayangnya, teman gue, yang merupakan tokoh utama dalam kisah hidupnya ini, justru tidak ‘memiliki’ kisahnya sendiri. Beliau gak peduli bagaimana kisahnya berakhir, disertai kepesimisan bahwa akhirnya akan menyenangkan. Malah gue, yang berada di luar konteks yang semangat membentuk alur yang menguntungkan baginya.
Saat itu gue bertanya-tanya, apakah ada seorang teman gue yang lain di luar sana yang detik ini menuliskan kisah hidupku dan menentukan betapa bahagianya seharusnya kisah itu diakhiri? Mungkin saja.
Sang sahabat, dan gue, punya satu masalah: kita menganggap diri kami hanya satu dari warga dunia yang luas ini. Sebagai warga dunia, yang penduduknya banyak, kita jadi tak berani menganggap diri sendiri sebagai pemeran utama. Pasti ada orang lain yang lebih penting dari kita, lebih layak menjadi pusat perhatian. Bagian kita adalah jadi pemeran figuran, yang duduk di samping panggung dunia, menonton drama kehidupan orang lain sambil nyapu-nyapu. Sukur-sukur ada yang inget kalau kita pernah eksis.
Itulah sebabnya bagi temen gue, hidupnya hanyalah bagian dari panggung luas milik orang lain, dimana peran utama akan dimainkan oleh orang lain selain dirinya. Ia cuma numpang lewat dan berakhir gantung. Sebaliknya gue sebagai penonton, begitu recot mengurusin cerita sang sahabat supaya meninggalkan kesan bahagia di hati usai menonton, membiarkan kisah gue sendiri berjalan hambar tanpa konflik dan klimaks
Padahal, biar kata dunia ini gede, hidup kita ya punya kita aja, bukan dibagi-bagi dengan orang lain. Artinya, kita sebenarnya berhak untuk menjadi tokoh protagonis utama dan terutama dalam hidup kita masing-masing.
Mungkin Chicklit gak jelek-jelek amat, gue membela diri. Dengan keyakinan itulah gue tetap mengetik hingga tiba kata tamat. Lalu setelah usai, tahap selanjutnya, gue bermaksud membuang dokumen itu. Habisnya, jelek. Apa yang bisa diharapkan dari pengarang Chicklit yang begitu pesimisnya terhadap Chicklit, seseorang yang jarang baca Chicklit, seseorang yang bahkan tidak sedang menuliskan kisah hidupnya sendiri?
Tapi kemudian gue teringat lagi alasan awal gue menulis si Chicklit ini. Bahwa cerita yang bagus harus dibagi. Lalu gue teringat lagi, gue juga suka jika dibagi cerita jelek tentang orang lain, maka cerita yang jelek juga harus dibagi. Intinya, semua cerita harus dibagi! Dan dengan demikian gue menempelkan Chicklit yang hanya 60 halaman itu di post berikut, A Cruise for Two. Haduh…judulnya aja ga kreatif…