“Gy, orang Cina itu beneran dimusuhin nggak sih?” Tanya MasJe tiba-tiba.
“Yahh…paling sering dikatain ‘dasar Cina’, kalau bikin surat-surat rada lama, sama diperkosa kalau kerusuhan…. Tapi kan sekarang uda nggak ada kerusuhan, jadi lumayanlah,” gue menjawab enteng.
“Itu kenapa ya Gy? Gue sering dikatain, dibilang, ngapain loe temenan sama Cina? Nggak ada untungnya, paling ntar dicurangin.”
“Lha loe temenan sama gue!”
“Itu die, gue sih pernah dicurangin sama Cina, jadi awalnya gue wajar-wajar aja kalau ada yang sentimen, tapi loe yang nggak curang juga dimusuhin sampai segitunya ya? Boleh nggak sih begitu?”
Ya nggak boleh, sudah pasti itu jawaban gue, tapi keinginan untuk membenarkan yang salah tidak terasa mendesak. Bukannya gue tidak menyadari adanya perilaku yang berbeda pada gue dibandingkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetapi, entah kebal entah bebal, gue menerima segala keanehan itu dengan lapang dada.
Namanya juga minoritas, di mana-mana pasti ada bedanya, demikian si Papih selalu menjawab, ketika gue menanyakan buat apa pakai ganti-ganti nama itu, kalau setelah diganti tetap berasa asing seperti nama Margareta.
Lagi pula, gue suka tinggal di sini. Dengan segala keterlambatan mengurus surat-surat, tidak bisa masuk ini dan itu serta diketok pengamen, gue tetap bisa menjalankan hidup secara normal. See from the bright side, gue tumbuh menjadi seseorang yang tangguh, tahan banting dan bermuka badak.
Namun, roda kehidupan terus berputar, membawa gue ke Singapura. Di negara baru gue, tiba-tiba gue menjadi mayoritas. Masyarakat rumpun Melayu hanya 14 persen, India 9 persen, dibandingkan keturunan Cina yang 75 persen. Gue-lah kini yang mendapat akses paling mudah ke berbagai bidang. Ada lebih banyak orang yang bersimpatik, punya pandangan positif hingga naksir pada gue.
Dan, menikmati bagaimana kebanyakan orang diperlakukan, gue jadi menyadari, bahwa sikap yang gue terima di Indonesia dulu was not OK. Di negeri Singa, gue memang sering mencuri dengar keluhan rumpun Melayu yang merasa diperlakukan tak adil. Namun, sebagai mayoritas, gue merasa kasus diskriminasi tak lagi nyata.
Warga Melayu merasa tidak mendapat akses yang sama untuk menikmati pendidikan yang baik atau pekerjaan yang layak. Buktinya, coba lihat betapa kecilnya proporsi ras Melayu di universitas. Tanpa pendidikan tersier, sudah tidak memungkinkan untuk mendapat pekerjaan di perusahaan multinasional atau pemerintahan.
Belum lagi ada syarat-syarat diskriminatif saat masuk kerja, seperti harus bisa bahasa Mandarin. Jelas-jelas cuma mereka yang berbahasa ibu Tionghoa yang mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Maka, secara halus bisa dibilang, Melayu gak boleh kerja di sini!
Tetapi, keluhan-keluhan itu tidak terasa valid bagi gue. Secara tertulis, tidak pernah ada kebijakan yang menyulitkan warga Melayu. Semua warga sama di mata hukum. Wajar saja jika bahasa Mandarin diprioritaskan. Mayoritas memang bicara dengan bahasa itu. Toh akses belajar bahasa tidak terbatas oleh komunitas tertentu saja.
Jika ada perbedaan kesejahteraan yang drastis, gue bisa saja mengatribusikannya pada budaya yang menyebabkan perbedaan. Warga Melayu menitikberatkan pada pelestarian budaya, seni dan kebersamaan komunitas. Sedangkan warga Cina memberi apresiasi tinggi pada kemampuan matematis dan prestasi individual.
Dari perbedaan nilai ini, wajar saja akan lebih banyak keturunan Cina di universitas teknik. Bukan berarti warga Melayu tak bisa maju. Hanya takaran kemajuannya berbeda. Warga Melayu mungkin akan jauh lebih menonjol dalam bidang seni, kontes menyanyi dan lomba dansa. Bidang yang kebetulan tidak terlalu dihargai di sistem pendidikan Singapura.
Tetapi, berbekal pengalaman menjadi minoritas, gue jadi ragu jika asumsi dari golongan mayoritas termasuk gue, bisa dianggap jadi kebenaran bagi perasaan minoritas. Atau jangan-jangan pembedaan itu ada, nyata bagi minoritas, namun cuma sekadar tidak disadari oleh kaum mayoritas, karena memang tidak mengalaminya?
Gue teringat ikut dialog antarumat beragama dan etnis pascakerusuhan 98. Seorang pemuda dari sebuah suku ‘asli’ Indonesia di Pulau Sumatera ditanya mengapa teman-temannya tak ada yang dari etnis Tionghoa. Jawabnya, abis Cinanya sok eksklusif, nggak mau bergaul!
Karena etnisitas masih tinggi, spontan gue membela diri. Heh, bengkok! Gimana caranya gue bisa berdeketan sama eloe kalau omongan loe tentang gue aja udah kayak gitu? Sang pemuda tak terima dipanggil bengkok, dan menuntut pembuktian adanya diskriminasi. Beliau merasa telah bersikap tanpa membeda-bedakan, buktinya ia berteman dengan etnis Jawa dan Arab.
Gue masih ingin berantem. Namun, bagaimana caranya menjelaskan pada pihak yang tidak pernah merasakan, betapa validnya ketakutan untuk tidak diterima karena berbeda? Bagaimana caranya menjustifikasi bahwa dengan segala cerita keroyokan itu, adalah wajar gue menjadi lebih sensitif terhadap pembedaan?
Pandangan yang disetujui sebagian besar orang selalu jadi pandangan yang benar. Diskriminasi dianggap wajar karena sebagian besar orang tidak merasakan diskriminasi itu. Mereka yang mengeluhkan adanya pembedaan dianggap lebay dan kelewat sensitif. Pasalnya, kaum mayoritas tidak merasa dan tidak bermaksud bersikap buruk.
Padahal, perasaan tidak nyaman atas sepatah kalimat prejudis itu ada. Tidak diajak main karena dianggap tidak mau berbaur itu masalah. Untuk menyelesaikan sesuatu, masalah itu harus dianggap ada dulu. Dan, karena ada dan tiadanya sesuatu itu mengikuti kesepakatan umum, dibutuhkan kerja sama dari si banyak untuk mengakui masalah ini.
Adalah tugas si banyak untuk menjadi lebih sensitif terhadap perasaan si sedikit. Si banyak harus mengerti bahwa lebih berat bagi si sedikit untuk membaur karena status yang sedikit itu. Maka, si banyaklah yang harus mengusahakan kesetaraan dan tidak menggunakan stereotip sebagai alasan nihilnya kesetaraan itu.
Gue bisa saja terus menganggap bahwa kenyataan begitu sedikitnya mahasiswa melayu di kampus gue adalah karena sesuai stereotip, murid Melayu lebih malas sehingga gagal tes masuk universitas. Maka, sistem yang ada tidak akan dipertanyakan adil atau tidaknya.
Lebih parah lagi, karena terbiasa menyalahkan keturunan, citra etnis tersebut akan semakin buruk dalam pikiran gue. Bisa saja gue jadi melihat semua orang Melayu itu sebagai malas. Lalu gue menjadi malas bergaul dengan semua orang Melayu, termasuk yang sudah masuk kampus. Dengan demikian, meski cuma warga ‘pinjaman’, gue telah mengambil bagian dalam program antipembauran Singapura.
Tetapi, sebagai bekas minoritas, gue punya opsi lain dalam melihat pembedaan ini. Bisa saja masalah lebih berpangkal dari kualitas sekolah yang berada di dekat pemukiman Melayu, atau dari tingkat perekonomian di satu komunitas. Untuk mengatasinya, pemerintah dan tokoh dominan yang berwenang melakukan perubahan kebijakan.
Demikian juga jika gue kembali ditanya apakah Cina itu dimusuhi atau tidak. Gue bisa saja menjawab tidak. Bahwa kenyataan banyak Cina yang merasa tidak bisa masuk ke dalam pergaulan adalah karena sifat dasar keturunan Cina yang kaku dan sok eksklusif. Maka, jika ada permusuhan, bisa dianggap wajar.
Tetapi, cara ini, seperti yang sudah diketahui sejak puluhan tahun silam, tidaklah memecahkan persoalan. Dan, berpengalaman menjadi mayoritas selama empat tahun membuat gue menanyakan alternatif lain. Mungkinkah Cina berkumpul tumplek jadi satu karena akses ke komunitas lain tidak terbuka? Mungkinkah gue yang Cina ini jadi takut bergaul karena pihak yang ingin digauli sudah melihat gue sebagai tokoh yang tidak menyenangkan dan sombong?
Tentunya, gue tidak bermaksud menjadi mellow-yellow dramatica menuntut kesetaraan hak di Tanah Air. After all, gue sudah tahu bagaimana caranya untuk menjadi mayoritas: pindah negara saja. Tapi alangkah menyenangkannya jika suatu saat gue tidak lagi menganggap wajar kaum minoritas dirampok di masa kerusuhan.
Alangkah membanggakannya jika suatu hari kelak gue bisa menjawab teman gue dengan lantang, ENGGAK! Keturunan apa pun di Indonesia sama saja! Gue harap mayoritas pembaca juga setuju.
Published in: Excuse-Moi, terbitan Penerbit Buku Kompas