Jika ada yang bertanya, apa pengalaman paling unik selama gue di Paris, gue akan menjawab: Mengantri.
Beli karcis masuk Chateaux Versailles, antri menguler-uler.
Masuk tamannya, ngantri lagi.
Masuk Le Petit Trianon, tempat tinggal Maria Antoinette, antri.
Ke tempat kaisarnya, antri juga.
Naik kapal di sungai Seine, antri.
Naik menara Eiffel, antri.
Naik ke menara Notre Dame de Paris, antri.
Naik funiculaire ke Montmarne, antri berdesak-desakan.
Masuk Louis Vuitton, antri.
Menunggu dilayani dalam toko Louis Vuitton, antri.
Mencari stok tas yang belum tentu ada, antri.
Bayarnya, antri.
Minta kembalian pajak, antri
Dan kalau gue bilang antri, bukan antrian tidak berbahaya yang berakhir sebelum terasa, tapi antrian berjam-jam yang traumatis dan bisa membuat putus asa.
Sebagai orang Asia, gue tentunya gerah disuruh ngantri dengan cara primitif macam ini. Bukan, bukannya gue tidak menganut budaya antri di Indonesia (itu juga sih). Tapi sebagai didikan Singapur, mana pernah ada antrian dibiarkan sebegini panjang dan menyakitkan?
Di negeri Singa, lama antrian paling banter lima menit. Kalaupun ada yang lebih dari delapan jam seperti mengantri melamar Permanent Residence, itu sebenarnya sudah dipersingkat dari proses mengantri yang harusnya berjalan selama berhari-hari.
Begitu ada peserta antrian yang lamban sedikit, langsung dibentak, hehhh..cepetan! Antrian panjang! Permintaan khusus dijamin tidak bakal dilayani, dan jika harus menunggu, langsung dipersilakan mengulang antrian. Penjaga antrian biasanya jutek dan super sigap menghadapi konsumen. Praktis biarpun antrian panjang, biasanya berlalu dengan cepat (kecuali taksi)
Meski tidak seekstrim Singapura dalam kesigapan bekerja, gue juga tidak pernah disuruh mengantri di negara Asia lain. Maklum, penduduknya banyak. Jika tidak dilayani dengan cekatan, bakal ada antrian di seluruh pelosok negeri. Sedangkan di Indonesia, ceritanya lain lagi. Selalu ada alternatif, jalur cepat berbayar. Gue tetap tidak pernah ngantri.
Wajar saja gue jadi panas cenderung ngambek saat menyadari panjang masuk Le Grand Palace di Versailles lebih disebabkan karena antrian informasi dan antrian tiket disatukan. Sebelum membeli tiket, dipastikan tiap orang memahami betul apa yang akan dikunjungi. Nanya panjang lebar diladeni dengan sabar dan orang di belakangnya pantang menyerobot. Yee..kan bisa riset dulu, di loket tinggal beli karcis!
Makin ngamuk saat pengalaman pembeli tas ribuan Euro jadi seperti lagi shopping di Sogo Jongkok. Pembeli harus dilayani satu konsumen satu pelayan. Meski si konsumen ini cerewet sepanjang dosa, dan pembeli lain sebenarnya cuma butuh waktu 5 menit, si pelayan pantang membagi waktu! Sorry I’m busy! Yee..nggak efisien! Butuh duit nggak sih?
Berkali-kali gue menyusun rekomendasi cara menghilangkan antria, bak insinyur teknik industri. Gue yakin jika orang Eropa tetep ngantri macam ini, niscaya mereka akan segera musnah dilibas kemajuan bangsa Asia! Tapi teman sekaligus tourguide, sekaligus tuan rumah tebengan pesimis proposal gue bakal diterima.
Menurut Nona Len, sistem mengantri semacam ini mencerminkan budaya hidup Eropa, yang mengutamakan nilai-nilai yang penting di masyarakat mereka. Sistem antrian gaya Asia mungkin lebih cepat, tapi takkan membahagiakan mereka, dan oleh karenanya, tidak akan dijalankan!
Ngantri aja pake prinsip! Lama nih!! Tapi mungkin Nona Len ada benarnya juga. Di negara-negara Eropa Barat yang sudah cenderung maju, kesejahteraan individu menjadi yang utama. Selama setiap individu hepi, tidak masalah hal lain harus dikorbankan. Apalagi kalau cuma seratus-dua ratus Euro yang bisa dicari di lain waktu.
Nilai tinggi kepuasan individu sungguh ada di seluruh pelosok kota. Dalam setiap toko-toko yang paling banter buka hingga jam 7 malam, dan tidak buka di akhir pekan. Alangkah bodohnya, pikir gue yang orang Asia ini. Keperluan manusia kan tiada batas. Gue bisa meraup untung maksimal dengan jadi satu-satunya toko yang buka 24/7!
Tapi itulah pemikiran gue yang orang Asia. Yang tingkat kemakmuran individunya masih harus dikorbankan demi masa depan yang lebih baik. Uang, waktu dan efisiensi jadi lebih penting dari kebahagiaan gue menikmati dedaunan musim gugur.
Sedangkan bagi warga Paris ini, waktu kerja cukup 35 jam seminggu. Sisanya haruslah untuk keseimbangan otak kanan, setidaknya untuk art of doing nothing.Bagi para bule itu, Yang jaga toko kan juga butuh liburan… Tak heran saat usia pensiun dinaikkan langsung demo satu negeri. Kalau gue pulang hari itu, niscaya gue harus jalan kaki ke bandara.
Demikian juga dengan mengantri. Efisiensi tidaklah penting, yang utama adalah interaksi personal dan kepuasan individual, baik yang dilayani maupun yang melayani. Antrian memang memanjang karena pelayan antrian bekerja dengan super lamban. Makin lelet karena satu-per-satu orang dilayani sepenuh hati sepenuh jiwa, hingga sepenuhnya paham dan puas. Tapi tidak ada yang keberatan sama sekali.
Setiap pelanggan gembira karena kebutuhan dan kecerewetannya dilayani dengan baik. Yang melayani juga bekerja dalam ritme yang ia tentukan sesuka hati, tanpa menjadi keki. Meski letih melayani sepanjang hari dan harus menghadapi turis pelit yang banyak tanya, resepsionis hostel gue di Roma tetap melayani dengan cerah ceria senyum sumringah.
Tidak bisa dipilih budaya mana yang lebih baik. Budaya Asia yang cepat dan efisien sering dikritik memberi angka stress yang tinggi dan memperpendek umur. Gue memang sebal hidup dengan aktivitas 25 jam dalam sehari saat di Singapura. Tapi mungkin itulah kebahagiaan di mata orang Asia!
Berada dalam kesibukan memberi sebuah kenikmatan tersendiri. Buktinya, gue malah jadi tertekan melihat warga Paris duduk leha-leha sambil menikmati pemandangan di taman dan pinggir Sungai Seine. Kok nih orang pada betah amat sih bengong-bengong? Gue heran sambil membayangkan jika gue dipaksa duduk di taman, minimal gue bakal membawa laptop!
Ternyata budaya santai Eropa juga bisa memperkecil angka harapan hidup. Seperti pada gue yang secara konstan merasa setres karena emosi sudah menyentuh level ubun-ubun, sambil bolak balik nggak sabaran membuang energi! Grrr!
Hasil mengantri bisa dilihat di sini