Mengejar Mas-Mas

Mereka bilang aku cewe matre. Seorang teman pernah mengobservasikan bahwa semua lelaki yang pernah dekat denganku berasal dari kalangan berpunya. Aku bilang, aku tidak sengaja. Kebetulan saja bahwa pria yang dekat denganku ternyata…tidak miskin. Tapi kalau begitu tanyanya, mengapa aku tidak pernah jalan dengan mas-mas? Aku jawab, kalau panggilannya saja udah mas-mas, aku tidak naksir padanya, at the first place…

 

Okeh! Ya sudah! Gue ngaku! Gue Matre! Tapi gue tidak merasa jahat.  Ketertarikan pada lawan jenis memang selalu didasari oleh adanya karakater-karakter superior tuh. Ada yang ingin pasangannya bertubuh gitar. Ada juga yang tahan pacaran sama batu gunung asalkan punya pabrik.

 

Cantik, pintar, kaya, baik hati itu semuanya sifat. Orang yang memilih pasangan atas dasar kecerdasannya, tidak lebih baik daripada orang yang hanya melihat perempuan dari kuku kakinya saja. Toh sama-sama ‘fisik’. Bedanya yang satu liatnya dari jempol, yang satu lagi dari struktur otak.

 

Makanya sah-sah saja kalau kami mengutamakan sifat ‘kaya’ sebagai hal terpenting dalam memilih pasangan. Coba kalau seluruh lapisan masyarakat memilih pasangan yang cerdas dan berwajah rupawan. Bagaimana nasib anak manusia yang dilahirkan dalam keluarga berada, namun sayangnya bewajah dan berotak pas-pas-an? Kan mereka tidak pernah minta dilahirkan sedemikian…

 

Lagipula, kayaknya kata ‘Matre’ itu agak terlalu kejam, dhe. Gue lebih suka menyebutnya ‘kesadaran bermateri’. Jika gue renungkan, bukan harta semata yang menjadi daya tarik. Harta itu kata benda. Sedangkan supaya gue tetap konsisten, daya tarik itu berasal dari karakter. .Jadi yang menarik itu bukan uangnya, tetapi karakter-karakter yang berputar dari keberadaan uang. Gue pun menggambar diagram seperti di bawah ini:

 

Penjelasan diagram: jadi materi itu mempengaruhi tingkat pendidikan, karena sayang sekali di negeri kita ini, pendidikan itu masih terhitung sangat mahal, sehingga belum menjadi hak setiap insan. Kalaupun sekolah, masih dibedakan lagi antara sekolah bagus dengan sekolah abal-abal.

 

Tingkat dan kualitas pendidikan (dan masih juga materi) akan mempengaruhi posisi seseorang dalam masyarakat, dan seperti yang selalu akan terjadi, orang dari status yang berbeda akan memiliki lingkup pergaulan yang berbeda dengan tata dan cara bergaul yang juga berbeda.

 

Perbedaan inilah yang kadang membuat hubungan lintas status menjadi sangat..err..menantang… Mungkin bukan hal besar, hanya hal-hal kecil keseharian. Gesture yang tidak pernah dilihat sebelumnya, topik pembicaraan yang kelewat berlainan karena gaya hidup yang njomplang, atau bahkan cuma sekadar gaya bicara yang terasa gangguuuuu….

 

Memang sih, ada yang bilang perbedaan itu menambah bumbu dalam kehidupan bersama. Tapi kalau sudah menyangkut kebiasan sehari-hari yang telah dibangun sejak kecil?  Marilah kita tidak bernaif-naifan. ‘Cantik-Cantik kok Jualan Jamu’ dan sejenisnya itu cuma Sinetron yang memberi gambaran palsu tentang tidak adanya perbedaan social. Perlu dicatat bahwa sinetron itu hanya 60 menit, paling lama 2 jam. Tentunya dalam waktu sesingkat itu, gaya bicara yang aneh belum terasa terlalu menganggu.

 

Jadiii…masalahnya bukan karena miskinnya, tapi karena kemiskinan membawa perbedaan-perbedaan yang menjadikan gue tidak nyaman dan tidak nyambung bersamanya. Apa artinya sebuah hubungan tanpa rasa nyaman? Ya nggak?

 

Ketika isi makalah ini kurang lebih gue sampaikan pada seorang sahabat, beliau jadi nyinyir. Loe tu pedes amat sih? Loe sendiri kan belum pernah mengalami hubungan beda status itu, gimana loe bisa yakin bahwa perbedaan itu tidak akan terjembatani? Itu Cuma sugesti loe aja! Coba sebut, contoh konkret perbedaan akibat status yang tidak terjembatani? Ga bisa kan?Bla..Bla..Bla…

 

Bener juga. Maka demi membuka mata sahabatku, gue rela melakukan suatu percobaan: meninggalkan lingkup pergaulan yang nyaman dan..mengejar mas-mas

 

Gue lalu mencari sampel survey yang pas. Beliau haruslah memiliki penghasilan dan jenjang pendidikan di bawah gue, tapi rupawan. Untuk meningkatkan keobjektivan, ia harus memiliki gaya hidup yang sepintas terlihat sama dengan gue.

 

Pucuk dicinta ulam tiba. Seorang light-blue collar worker (istilah gue untuk orang yang tidak kerja kantoran, tapi juga bukan blue collar worker amat) mendekati. Berwajah exceptionally ganteng. Kuliah tapi kemudian putus sekolah, karena malas dan sudah suka bekerja. Nongkrong di club yang biasa, punya handphone, suka Rihanna.

 

Selama seminggu kemarin gue memasuki alam yang tidak pernah gue masuki sebelumnya: menerima pendekatan seorang mas-mas.  Dan sahabatku, special untuk kamu…inilah contoh konkret perbedaan yang dilatarbelakangi jenjang status yang aku temukan:

 

1.Sulitnya menemukan topic pembicaraan yang bisa dibagi.

Mas-mas: Kerja dimana?

Margie: Di Microsoft

Mas-mas: perusahaan apa tuh?

Margie: Microsoft…err….IT? software? Tapi aku untuk MSN-nya, news website mereka

Mas-mas: wah, berarti kamu jago ngutak-ngatik computer dong? Kalau monitor rusak gitu bisa benerin?

Oh, Tuhan…apa yang bisa jadi bahan pembicaraan kami jika tempat kerjakupun tidak akrab di telinga? Penjelasan berikutnya, yaitu bahwa gue tidak bekerja 9 to 5 tetapi juga tidak berdasarkan shift, terasa lebih panjang dan menyakitkan…Sebaliknya gue juga kurang memahami system kerja si Mas dan kurang bisa merasakan empati terhadap penderitaannya.

 

2.Perbedaan prinsip hidup

Perbedaan mendasar yang menurut gue sangat mengganggu adalah: Ngapain sih sekolah jauh-jauh, cape-cape? Toh kaya gue aja juga uda bisa dapet kok 3-4 jutaan sebulan…. Anak lulus kuliah belum tentu bisa langsung dapet segitu.

 

Gue adalah orang yang sangat menghargai pendidikan. Ga ada di kamus gue kalimat buat apa kuliah kalau Cuma jadi ibu rumah tangga. Bagi gue, jadi ibu rumah tangga pun butuh kuliah..setidaknya agar bisa menjadi ibu rumah tangga dari pria yang berkualitas. Jadi ketika perantauanku ke negeri Singa dianggap sia-sia, tentunya hati gue menjadi sedih. Dan tidak, anakku nantinya tidak boleh merasa puas hanya dengan 3-4 jutaan sebulan! Ia harus sekolah!

 

3.Perbedaan gaya bahasa

Tiba-tiba gue mendengar rayuan ala Catatan Si Boy, jika tidak disebut pre-historik. Salah satu contoh yang bisa gue ingat kembali adalah:

Mas-mas: Kamu cantik

Margie: Makasih loch!

Mas-mas: apa? Makasih baby? *mengetikkannya kembali saja membuat gue merinding..

 

Sekali lagi, bukan berarti sifat si Mas jelek, tapi kami hanya berbeda, yang membuatnya jadi kurang menarik di mata gue. Bukan salahnya si Mas jika ia ga tau Microsoft. Pekerjaannya memang tidak berhubungan langsung dengan komputer. Juga bukan salah beliau jika ia tidak menyukai system pendidikan. Ia memang tidak pernah merasakan manfaat langsung pendidikan. Lagipula, fakta berbicara, anak lulus kuliah banyak yang mendapat gaji lebih kecil dari beliau.

 

Dan gue juga ga bilang ada gaya berbahasa yang salah. Gue hanya tidak terbiasa. Macamnya mendengar anak gaul berbicara dengan kata ‘kaek’ (yang dibaca ‘kek’) disebut berulang-ulang dan diakhiri dengan kata ‘gitu loh’. Bukannya berarti gaya bicara itu jelek, hanya saja karena gue bukan anak gaoel, gue merasa terintimidasi ketika berada dalam lingkungan sedemikian.

 

Gue percaya, jodoh orang di Tangan Tuhan, dan pasti baik adanya. Jika berjodoh dengan seorang mas-mas, tentunya itu karena memang merasa pas dan cocok. Ga ada yang salah dengan hal itu. Toh makan di warteg itu enak juga. Masalahnya cuma…di musim banjir kaya gini..aku ga mau tiap hari makan warteg…aku bisa kena typus!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *