Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul ketika membahas buku terakhir rilis gue, The Overqualified Leftover Club adalah: kok cowok-cowok di buku ini nggak ada yang OK sih? Yang ganteng-tinggi-putih-tajirmelintirkeplintirplintir-perhatian-jujur-setia.
Jawaban standar lucu-lucuan gue dan Nay Wahid adalah: Mungkin karena sampai buku tersebut ditulis, kami belum berjodoh ketemu sama lelaki sedemikian. Buku ini dibuat berdasarkan kisah-kisah nyata di sekitar kami dan oleh karenanya, karena nggak ada perempuan yang menuturkan punya kekasih semacam ituh, maka tak kutulis.
Tapi jawaban yang lebih serius adalah… bahwa mungkin memang tidak ada lelaki sesempurna itu, tetapi media kebanyakan begitu mudah memaafkan ‘ketidaksempurnaan’ laki-laki, bahkan mengagung-agungkannya.
Blame fairy tales.
Perempuan-perempuan sedunia besar dan tumbuh dengan dongeng popular semacam Cinderella. Akrab dengan konsep Prince Charming, yang purrrfect tiada celanya. Sedangkan Cinderella, biarpun baik hati dan cantik, dia MISKIN.
Prince Charming adalah simbol idealisasi lelaki yang sempurna, seringkali, dengan mengabaikan ketidaksempurnaan, bahkan menglorifikasi kekurangan dalam hal sifat dan perbuatan sebagai sesuatu yang positif bahkan heroik.
Aladin itu tukang tipu, kalau zaman sekarang itu agak mirip modusnya sama Tinder Swindler. Beast itu posesif dan control freak. Pangeran di Aurora itu making advance tanpa consent. Tapi kita zaman dedek-dedek menatap semua redflag itu dengan terkagum-kagum.
Setelah besar, dicekoki lagi dengan chicklit unyu-unyu dan drama romansa yang template lelakiknya selalu sama, yang tampan gagah perkasa lagi pengusaha sakses macam Christian Grey dalam 50 Shades of Grey. Perkara Mr Grey itu psikopat, ah udah dimaklumin aja, bahkan dilihat sebagai sebuah karakter yang menantang meskipun satu-satunya yang ditantang adalah.. nyawa…
Tidak terbayang dampak konten-konten seperti ini bagi perempuan yang berisiko mengalami cidera fisik. Maupun laki-laki yang jadi terjebak dalam toxic masculinity, tuntutan untuk tampil tegar sepanjang waktu tanpa bisa menyelesaikan trauma psikologinya. Padahal, seandainya sifat psikopat Mr Grey mau diakui sebagai sebuah kekurangan diri, maka Mas Grey bisa berobat ke psikiater, lalu menjadi pribadi yang lebih bahagia.
Dongeng-dongeng yang awalnya cuma untuk menghibur, memberi fantasi menyenangkan, tiba-tiba jadi punya dampak panjang. Apalagi, ketika mereka juga membawa promosi satu konsep lagi, a notion to be saved. Putri tidur perlu dicium dulu sama pangeran, supaya bisa mengalami awakening (alias bangun tidur). Rapunzel perlu dipanjat (menaranya) sama pangeran.
Fantasi yang tanpa sadar terinternalisasi ke otak teman-teman perempuanku, sehingga secantik apapun, sekaya apapun, sesukses apapun, tetap merasa dirinya perlu ‘diselamatkan lelaki’. Yang membuat temen-temen keceku yang sebenarnya sudah sangat cukup, masih mengejar validasi lewat hubungan dengan laki-laki.
Seorang teman perempuan dengan profesi langka, bersedia mengubah jati dirinya demi bersama dengan pria yang menurutnya takarannya adalah Charming. Seorang yang lain, berbohong bahwa liburan mewah itu adalah hadiah dari kekasihnya, semata agar si pacar terlihat sebagai Charming, dan ia ‘sukses’ menemukan pria yang menyelamatkan.
Ada lagi yang bertahan dalam hubungan toksik, semata karena punya hubungan itulah yang jadi takaran kesuksesan. Ada sekelompok yang bikin grup cara mendapatkan Mr Grey. Iya, cara mendapatkan lelaki yang kalau sifatnya ditempelkan pada old saggy man yang misqueen, maka lelaki itu akan dilaporkan ke pulisi.
Jangan-jangan ini yang membuat kekerasan berbasis gender pada kalangan perempuan berpendidikan tinggi dan ekonomi menengah atas tidak lebih rendah dibandingkan pada kalangan perempuan berpendidikan rendah dari ekonomi menengah ke bawah.
Karena kekerasan berbasis ketergantungan ekonomi akan berhenti jika sang perempuan berdaya secara finansial. Sedangkan kekerasan berbasis kebutuhan akan status, tidak akan berhenti, bahkan jika sang perempuan mampu untuk hidup di luar status tersebut.
Ada banyak kisah-kisah bertaburan tentang perempuan-perempuan yang bertahan dengan suami selingkuh, KDRT, toksik, posesif, semata atas kebutuhannya mempertahankan status. Karena dunia sangat mengerikan untuk perempuan yang berstatus ‘janda’ atau ‘nggak laku’.
Ditambah dengan konsep persaingan antar perempuan di mana musuhnya perempuan dalam cerita dongeng selalu perempuan lain, baik itu ibu tiri, kakak tiri, ataupun nenek sihir, semakin mengukuhkan liga persaingan antar perempuan, untuk saling menjatuhkan dalam konteks dipilih dan tidak dipilih.
Setahun berlalu dari buku diterbitkan. Narasumberku ada yang udah balikan sama cowoknya yang toksik. Ada yang udah bucin lagi sama lelaki yang pinjem duit ga bayar-bayar. Habis nonton Berbi malah makin getol cari pacar. Gue prihatin. Harapan semacam apa yang masih dimiliki kaum perempuan? Kalau konten seliteral ini saja masih salah kaprah?
“Mungkin karena cuma ada sedikit Barbie dan terlalu banyak dongeng di sekitar kita,” kata kata Nay bijak.
Gue terdiam. Konten komersial begitu kencang menyuarakan insecurity, sehingga perempuan semakin menempatkan validasi dirinya pada hal-hal di luar dirinya sendiri. Butuh make-up, butuh oplas, butuh sukses ini itu, butuh LAKI-LAKI dan STATUS, untuk menjadi berharga.
Sedangkan setiap audiens menerima konten secara subjektif berdasarkan latar belakang dan pengalaman mereka, yang diwarnai konten-konten komersial ini. Wajar saja, bahkan nonton film sekentara Barbie saja bisa meleset penangkapannya, semata karena sudah punya pemikiran sendiri tentang apa yang mau diserap dari film tersebut. Hal-hal yang menyenangkan seperti pink, dan menihilkan yang esensial seperti, I’m kenough, tanpa pasangan sekalipun.
Mungkin gue cuma harus berupaya lebih sering untuk menyuarakan self-worth bagi temen-temen perempuan. Bahwa we always worth a celebration. Gue masih belum boleh bosan nulis dan ngoceh-ngoceh membicarakan tentang ‘aku ini perempuan lajang, dari kumpulannya terbuang…’
Supaya konsep tidak sempurna itu makin jamak dan bisa dirayakan. Because my prince doesn’t have to be perfect, to be charming. Dan karena konsep we’re enough, simply for existing as you are, berlaku untuk perempuan maupun lelaki.
Wina says:
Yes! We are enough ❤️
margareta astaman says:
Cheers to us!!