Menjadi Perempuan

Ya oloh.. Kalau yang kayak gini yang disebut perempuan, terus kita tuh apaan dong? Demikian gue dan teman membatin dalam hati, sambil memandangi perempuan di hadapan kami.

 

Hari itu kami dikenalkan pada istri seorang teman yang baru dinikahinya seminggu yang lalu. Seorang wanita berjilbab bertubuh mungil berperawakan halus bertabiat santun. Pokoknya perempuan banget.

 

Dengan suara begitu lembut hingga tidak terdengar, ia menyebut namanya. Sambil mengulurkan tangannya yang gemulai ke depan, ia menundukkan sedikit kepalanya.

 

Sangking halusnya, gue sampai nggak berani menjabat tangannya keras-keras. Takut remuk. Gue megang kembang aja kadang kembangnya suka jadi layu. Jangan-jangan perempuan laksana bunga ini juga bakal layu kalau salaman sama gue!

 

Ibaratnya burung, dia itu burung merak yang menghabiskan hari memamerkan bulu dan mempercantik diri. Kami burung gagak, yang hitam dan sibuk mencabik-cabik bangkai. Sama-sama aves, tapi beda spesies.

 

“Kita nih kalau nggak telanjang, nggak bakal keliatan persamaannya sama dia,” sang teman berbisik. Betapa tidak, semua sifat yang ada padanya, tidak ada pada kami.
Gue menyambut dengan tawa tergelak-gelak, membuat beberapa teman lelaki yang sedang bersama kami melirik curiga terlihat tidak nyaman. Sangat tidak perempuan.

 

Insiden itu membuat gue bertanya-tanya, what makes a woman, a woman? Apa definisinya? Apa yang membuatnya berbeda dengan spesies yang lain yaitu laki-laki?

Selama ini banyak yang bilang gue ini nggak kayak perempuan. Ya iyalah, gue berpikir dalam hati, rambut gue pendek, suka pakai celana panjang.

 

Baru kini gue menyadari bahwa gue baru membahas laki-laki vs perempuan dari isu jenis kelamin. Punya organ vital yang begono berarti perempuan, yang lainnya berarti laki-laki. Memang, terakhir kali ngecek, berdasarkan hal itu, sudah pasti mutlak 100% gue perempuan.

 

Namun selain perbedaan ciri fisik, ada juga gender, pembagian peran kedua jenis kelamin dalam masyarakat. Yang laki-laki harus gini-gini gono, yang perempuan harus gono-gono-gini.

 

Sesaat gue terlintas seorang teman perempuan yang lain yang adalah eksportir bunga. Ia memang seorang perempuan yang halus dan telaten. Sebaliknya, gue adalah eksportir buah-buahan. Gaulnya sama supir truk dan petani. Suka gontok-gontokan di lapangan. Buahnya juga manggis. Yang kalau busuk jadinya keras.

 

Tentu saja menurut gue tidak ada yang salah dengan hal itu. Toh ekspor manggis tetap punya lahannya sendiri, punya kans sebesar ekspor bunga.
Tapi menjadi salah, karena kemudian sebagian besar masyarakat merasa pembagian itu mutlak dan absolut. Sehingga sifat-sifat yang awalnya superior, ketika tertukar, menjadi bersifat inferior.

 

Ekspor bunga jika dilakukan pria, dianggap bencong. Ekspor buah-buahan jika dilakukan perempuan, dianggap nggak pantes dan nggak tahu diri.
Makan banyak, ngomong kenceng, tidak tendheng aling-aling, grasa-grusu, kalau nempel pada laki-laki dianggap wajar. Namun kalau itu menempel sama gue, dianggap penyimpangan.

 

Lalu apa yang membuat asumsi gender kami itu melintang? Berfisik perempuan, berhaluan seksual pada laki-laki, tapi bersikap seperti…err..nggak perempuan?

 

Gue langsung menyalahkan keluarga. Ya jelas dong, katanya kan pendidikan paling dasar itu datangnya dari keluarga. Terlahir dari keluarga berisi tiga perempuan, dari kecil gue diajarkan untuk tidak merasa diri ‘perempuan lemah’.

 

Gue harus mengasah kemampuan seperti suatu hari nanti akan mencari nafkah untuk seluruh keluarga. Gue harus menang. Gue harus bisa mandiri dan tidak tergantung pada ‘laki-laki. Gue juga harus berani bertanggung jawab atas pilihan yang dibuat. Jantan banget ya.

 

Sudah kebayang, kami bertiga jadi jagoan semua. Perempuan super kuat yang dalam organisasi selalu jadi pemimpin, memiliki properti dan cukup mandiri berdikari tanpa perlu orang lain menyuapi makan. Kami juga terampil dalam bekerja meski tidak terlalu dalam rumah tangga.

 

Tapi mamih menolak disalahkan. Ih itu mah kamu aja, coba liat tuh temen-temen sekolah kamu yang lain, di keluarganya ada adik laki-laki, ada yang anak tunggal, dan sebagainya, tapi bentukannya sama semua, lebih kayak anak geng motor daripada lulusan sekolah putri.

 

Takut durhaka, gue kemudian memalingkan kesalahan pada sekolah. Ya, gue memang memperhatikan, bahwa bersekolah di SMU khusus wanita yang super ketat di Jakarta kok malah melahirkan perempuan-perempuan kekar yang ‘nggak cewe banget’.

 

Teman-teman gue yang tidak berasal dari sekolah itu suka terkejut melihat temenan kita. Kalau ada yang putus cinta, nggak ada yang menghibur, adanya nge-bully sambil ngetawain. Yang putus juga sok tegar, pura-pura ketawa-ketiwi.

 

Kalau pulang malam, masing-masing bawa mobil sendiri. Yang nggak punya mobil ya didrop di halte busway terdekat aja. Nggak ada rasa kasihan atau khawatir. Tanggung jawab sendiri aja, kalau mau gaul jangan nyusahin.

 

Anaknya juga nggak pada baper. Ayah seorang teman pernah berpesan agar tidak sungkan saling tegur dalam bisnis yang dijalankan bersama. Gue tersenyum dalam hati. Nggak usah disuruhpun, kita udah sering ngobrol pake nada tinggi. Lalu abis itu temenan lagi. Aneh.

 

Dengan catatan, sifat ini hanya ada di mereka yang bersekolah dari SMP hingga SMU. Mereka yang dari TK sekolah di sana malah tumbuh jadi perempuan sebenarnya. Kebanyakan sudah menikah dan punya anak.

 

Kami punya teori, bahwa kalau mau sekolah di sekolah khusus perempuan, nggak boleh tanggung-tanggung. Harus dari kecil sekalian. Soalnya TK-SD itu proses pembentukannya. Biar jadi perempuan yang hakiki.

 

SMP-SMU itu penggemblengannya. Agar perempuan sebenarnya ini tabah menghadapi dunia. Celaka bagi mereka yang hanya ikut penggemblengannya aja. Nggak ada dasar jadi perempuan, tapi ditempa jadi keras. Buntutnya jadi geng nero.

 

Nasi sudah menjadi bubur. Kata orang, kita tidak bisa mengubah sifat yang sudah ditempa puluhan tahun. Terbentuklah perempuan yang beda varietas ini. What is the future for us?

 

Suka nggak suka, pandangan akan gender itu berpengaruh. Minimal dalam hal hubungan dengan lawan jenis, varietas mutan ini sudah pasti kurang diunggulkan. Mana ada sih lelaki yang mau sama perempuan yang kayak lelaki? Nanggung.

 

Berulang kali kami ditolak dengan dialog semacam ini:
“Kamu tuh pintar, bahkan mungkin perempuan terpintar yang saya pernah temui..”
“Yes, but?”
“Ya tapi.. kamu terlalu..pintar..”

 

Too opiniated, too strong, too outspoken, adalah beberapa kata kunci yang sudah kami dengar dalam penolakan ribuan kali. Gue sering berusaha untuk tidak berpendapat dan pura-pura nggak tahu. Bahkan di saat seperti itupun, tiba-tiba lawan bicara bisa tiba-tiba diam, “Kamu mau ngasi pendapat kan?” Ketika gue membantah, mereka tetap nggak yakin gue nggak punya pendapat terhadap sesuatu. Lalu gue diputusin lagi.

 

“Kalau laki-laki itu nyari istri harus kayak gitu, udah pasti deh, kita nggak bakal kawin!” gue mencetus.
“Iya bener, nggak usah ribet-ribet ngejanjiin orang tua kita cucu, yang kayak kita gini nggak bakal dipilih!” cetus sang teman.
“Bener bro, ini mah kita santei-santei aja, nungguin dudesnya! Kalau mereka udah puas nyobain yang perempuan model kayak gini, baru mereka cari makanan yg rasanya beda!” gue menjawab, dan kami kembali terbahak.

“Ya nggak gitu juga lah,” seorang teman laki-laki yang terjebak dalam pembicaraan tiba-tiba nimbrung setelah sekian lama pura-pura nggak denger.

“Eh ini nyamber kayak gayung! Mane katanya mau ngejodohin gue sama cowo yang cocok sama gue!” Gue menghardik
“Ada kok!” ia berkilah, sambal sibuk buka-buka HP. “Nih Gy, Cina, agama sih gue ga tau, tapi yang pasti dia bakal lebih tough dari loe, asal loe ati-ati aje, jangan bikin sakit ati!”
“Lah emang kenapa Bro?”
“Die ini anak mafia!”

Ah, there’s always someone for everyone. Mungkin juga, perempuan setengah jadi kayak kami ini layaknya sama kasta tertinggi ketangguhan, kekejian, dan kejantanan seorang pria, GANGSTER!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *