“Pokoknya kagak ada tuh yang namanya gue didandanin pake Oriental Chic lah, Japanese look lah, Artis Korea-lah, ntar jadinya Cina-Cina juga!”
“Mau menyembunyikan identitas ya?” Tukang Make-up melirik penuh curiga.
Saat itu gue baru akan dipotret untuk profile buku, termasuk yang kedua, Cruise on You yang rilis 14 Febuari nanti. Dan berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, para tukang rias gatel sekali mendandani gue ala Hong Kong, Jepang, Korea atau Taiwan, meski hasil akhir selalu terlihat serumpun: Enci-enci.
“Yee..bukan gitu! Gue gak didandanin aja uda Cina, gimana kalau didandani ala Cina, ntar ke-Cina-an! After all, sesuatu yang berlebih itu ga baik…” gue memberi alibi.
Mbak Juru Foto tertawa, “Baru kali ini gue denger Cina yang men-Cina-Cina-kan dirinya!”
“Lha emang gue Cina mau bilang apa?” gue menjawab sewot.
“Yaa… jarang aja ada Cina nyebut dirinya Cina, biasanya kan Tionghoa, atau ga ngaku sama sekali, bilangnya Jakarta aja gitu…”
“Halah! Cina mah cuinuaw ajiauw…” Gue masih berusaha menanggapi. Namun proses make-up sudah dimulai. Dan ternyata sulit berbicara saat sedang dibedaki…Maka gue diam saja, sambil memikirkan penyangkalan gue dan saudara-saudara terhadap kecinaan nenek moyang kami.
Siapa yang mau dibilang Cina di Indonesia? Seorang oom teman berdarah Batak punya perawakan, kulit dan mata seperti orang keturunan Cina. Di satu lampu merah, beliau didekati pengemis yang ditolaknya mentah-mentah. Sang pengemis marah dan mengumpat, dasar Cina pelit! Murkalah sang Oom mendengarnya. Ia langsung turun dan memaki, “Berani kali kau bilang aku Cina!” Si Oom marah karena dibilang Cina, bukan karena dikatai pelit.
Menjadi Cina memang tidak pernah jadi pilihan favorit di Indonesia. Kerusuhan Mei 98 jadi bukti paling konkret. Gue teringat kisah kenalan tante, sepasang suami istri Cina-Padang (Pria Cina yang nikah dengan wanita Padang, bukan Cina yang lahir di Padang). Saat para perusuh mulai memasuki kompleks perumahan mereka saat itu, segeralah sang suami melarikan diri membawa anak-anak mereka.
Sedangkan si istri, merasa dirinya Padang, tetap tenang menyelamatkan harta benda. Malang bagi sang ibu muda, lupalah ia akan kulitnya yang kuning dan matanya yang sipit. Ketika para perusuh bertandang ke rumah, berhasratlah mereka memperkosa. Enak aja! Gue Padang tau! Sang Istri membela diri.
Beruntung karena memang sedang tidak berbohong, beliau bisa menyebutkan dua kalimat syahadat dan berbagai ayat-ayat yang diminta calon pemerkosa. Tapi tetaplah Sang Istri digampari. Kata mereka, Sapa suruh loe kawin sama Cina! Ekstrimnya, jangankan jadi Cina, bergaul dengan manusia Cina itu saja sudah haram jadah!
Menjadi Cina juga sudah tidak popular sebelum kerusuhan. Kata ‘Cina’ berkonotasi sengkek, pelit, perhitungan, curang. Padahal yang pelit itu bukan Cina aja. Suku Padang juga punya stereotipe ‘bengkok’. Jangan ditanya Arab. Leluhur yang satu lagi ini bakal tersinggung kalau kemahiran mengatur uang tidak diakui.
Tapi anehnya, bahkan menjadi seorang Cina-Arab akan memperbaiki citra dibandingkan jadi Cina-aja, meski perpaduan kekikiran dan kecurangan berdasarkan stereotipe seharusnya menjadi sangat mengerikan…
Sanking ga kerennya, segala ciri fisik yang menempel juga jadi jelek. Ga ada yang mau dibilang mukanya kaya Cina, karena langsung terbayang: mata sipit, kulit kelewat putih dan hidung pesek. Kasarnya, jika ada buku berjudul Mereka Bilang Saya Monyet, gue bisa saja menulis judul Mereka Bilang Saya Cina—dan konotasinya rasa judul tersebut menjadi sama.
Konon semua ini sudah mengakar dari jaman penjajahan, dimana pedagang Cina diangkat sedikit martabatnya dari kaum pribumi, menimbulkan kebencian dan kecemburuan sosial. Lalu strata ini semakin dikukuhkan di masa orde baru.
Tapi tetep aja, buat gue, alasan sejarah ini ganjil. Kalau memang benar kebencian muncul karena pembagian kelas, kenapa bukan orang indo-eropa yang di-sentimen-in dan diperkosa? Selain lebih cantik, leluhur mereka juga lebih diuntungkan dalam klasifikasi strata di masa lalu. Tapi wajah mereka malah lebih sering mengisi layar kaca dan dipuja-puja bangsa.
Alasan bahwa minoritas selalu digencet juga kurang valid. Se-minoritas apakah minoritas itu? Jika dihitung total keseluruhan warga keturunan Cina di Indonesia, mungkin jumlahnya tengah saja, ga minor ga mayor. Apa anak tengah suka digencet? Lagipula, merunut dari masa proto dan deutero-Melayu, tidak ada pembagian mayor-minor karena suku-suku yang dikenal kini di Indonesia berleluhur dari dataran Yunan.
Meski tanpa sebab pasti, keadaan telah mengkondisikan asumsi darah CIna sebagai kutukan, bahkan bagi yang benar-benar Cina sekalipun. Tidak lagi dipertanyakan, why is it so uncool to be a Chinese? Why is it such a shame to have Chinese blood? Why is it insulting to be called Chinese? Semua dianggap memang demikianlah adanya, bahwa menjadi Cina sudah tidak keren darisononye.
Tanpa mengetahui sebab-muasalnya reaksi yang misterius ikut mencela-cela kaum Cina Kota. Padahal tinggal di Gajah Mada, dan golongan darahnya C. Tanpa mempertanyakan kenapa harus bersikap demikian, ikut merasa tersinggung, malu dan sewot kalau dituduh Cina, memilih kata Tionghoa.
Padahal apa bedanya arti Cina dengan Tionghoa? Saudara di tanah daratan saja dengan bangga menyebut nama negaranya sepagai People Republic of CHINA. Kata pengganti cuma semakin mengukuhkan asumsi bahwa Cina adalah sesuatu yang kurang baik hingga pantang disebut.
Gue pun pada masanya secara refleks menekankan nama ‘Astaman’ yang khas Jawa-Bali, dan mengabaikan 50% sel darah hasil patungan Leluhur Kwik dan Leluhur Tjoa. Menuliskan INDONESIA di kolom SUKU, saat rekan lain akan mengisinya dengan JAWA, BUGIS, SUNDA.
Tentunya, above other things, gue memang Indonesia. Gue bisa mati muda jika disuruh tinggal di Tiongkok. Dibuktikan dengan kemampuan berkelit yang exceptional, rasanya perbendaharaan bahasa Indonesia gue termasuk di atas rata-rata. Keluarga gue mungkin lebih akrab kisah perwayangan daripada keluarga manapun.
Kami bisa saja membuktikan kami lebih Indonesia daripada sebagian besar rakyat yang diatur dalam undang-undang sebagai ‘pribumi’. Tapi Lidah bisa boong tampang ga bisa boong. Adalah konyol untuk tidak mengakui identitas yang jelas-jelas terpampang di muka, bahwa ada satu garis keturunan yang mengalir dalam nadi.
Kalau gue bilang gue berasal dari Jakarta, maka segeralah lawan bicara mengambil kesimpulan: Gue orang Cina yang tak punya asal daerah di Indonesia, maka ngakunya Jakarta. Tidak akan ada yang percaya kalau gue mengklaim masih punya darah biru Betawi karena Nyai Saamah memang tampil resesif di wajah gue.
Juga ketika gue menjawab gue keturunan Cina-Jawa, maka segeralah lawan bicara mengasumsi bahwa gue adalah Cina yang lahir di Jawa. Dan penjelasan berbusa-busa gue bahwa gue berasal dari keluarga pemilik gedung pertunjukan wayang akan berakhir sia-sia. Karena sekali lagi, muka gue ga ada wayang-wayangnya.
Menatap riasan ala Eropa yang sesuai prediksi, tidak menyembunyikan wajah oriental, gue sadar: gue tidak punya kemampuan dan alasan untuk menyembunyikan identitas gue. Maka gue akan berkata dengan lantang dan bangga: Yes, I’m Chinese. I’m good with numbers, negotiation and trading. I have slanted eyes, flat nose, extremely straight black hair and yellowish skin. And I feel goddammitly beautiful.