What I Miss When I Miss The Missing One

“Gy gue kangen…”
“Sama yang lama apa yang baru?”
“Nah itu dia, Gy, karena mirip, gue jadi nggak tahu kangennya sama apa ya?”

Alangkah mudahnya hidup kalau begini! Tidak berapa lama putus dari seorang kekasih, sudah mendapatkan pria baru yang punya sifat dan fitur wajah mirip dengan mantan pacar. Proses transisi pasti berlangsung dengan ‘smooth’. Tidak ada fase moving on yang menyakitkan.

 

Apalagi kalau namanya sama. Ah, itu lebih baik lagi. Tidak ada momen awkward salah manggil nama.

 

Tapi manusia memang tidak mudah puas. Bagi seorang teman yang mengalami nasib mujur semacam itu, kebetulan yang indah ini malah membuat bimbang dan bingung. Lantaran kelewat sama, teman gue jadi ragu apakah dia sudah benar-benar move on? Atau justru karena sangat belum move on jadinya sama orang yang berwajah dan berwatak mirip? Ketika rasa rindu itu muncul.. APAAA ITUUU? Siapa yang harus dikontak?

 

Jujur saja, respon gue GAGAL TOTAL menjawab kegalauan sang teman. Mungkin hati gue itu semacam air, tidak perasa dan tidak bewarna. Datar. Gue tidak pernah punya isu tentang terkenang-kenang masa lalu, trauma mendatangi tempat tertentu, teringat kata-kata tertentu atau sejenisnya.

 

Ketika gue putus, gue diajak menuangkan perasaan gue dalam Daily Heartbreak, sebuah jurnal patah hati bermanfaat milik seorang teman. Ada yang menceritakan tentang rutinitas yang hilang. Ada yang tentang perasaan kosong. Ada yang bikin puisi.

 

Tapi ketika mau menuliskan ekspresi gue mengingat mantan saat itu, gue melongo bingung. Yang terlintas dalam benak gue hanya satu kalimat: Eh, bangke! Putus mah putus aje, kagak usah pake kirim-kirim macem-macem! Bilangin noh! Tapi mengingat gue aktif ngeblog, menulis 6 buku, demi reputasi, gue tunda niatan ngepos itu.

 

Lalu gue, lupa lagi. Sibuk bersenang-senang. Kalaupun ada momennya gue nangis, biasanya setelah itu gue tahu bahwa gue lagi PMS atau diganggu roh halus.

 

Hingga hari ini, mendengar kebingungan seorang teman, gue bertekad menganalisa. Pastinya dong, masa sih enggak, gue punya dan rasakan sebuah rasa rindu. What causes someone to miss someone else? And what’s actually being missed?

 

Kata orang, we never actually miss a person, but a memory. Jadi yang dikangeni sebenarnya adalah momen dan memori yang menempel pada orang tersebut.

 

Kayak misalnya pas pacaran pernah pergi jalan-jalan ke binaria, makan es krim satu berdua, bercanda tawa lalu bergandengan tangan (biarpun gue gak tau ngapain sebenarnya orang ke Binaria).Ketika putus, ketika melihat es krim, ingat mantan. Ketika ke binaria, ingat mantan.

 

Tapi sebenarnya, yang muncul bukanlah tentang sang mantan seorang, melainkan memori momen pergi ke binaria bersama seseorang. Seandainya tamasya binaria direkap ulang bersama orang lain, pengalaman tidak akan menjadi sama, karena momennya sudah berubah.

 

Tapi andaipun sang mantan beneran muncul idup di depan mata di setting binaria, kejadiannya juga tidak akan terulang sama. Akan ada insiden sehingga entah menciptakan memori baru, atau malah, tetap kepikirannya memori yang lama.

 

Demikian juga ketika sang mantan pernah mengatakan hal yang percis cis indah semacam ‘selama 28 tahun hidupku, baru kali ini aku merasa bahagia, yaitu ketika bersama kamu’. Setelah putus, ingat mantan karena punya kata-kata yang indah itu.

 

Namun yang dirindukan sebenarnya adalah kalimat yang indah tersebut, bukan orangnya. Kalau tokohnya muncul, tapi nggak ngomong begitu, tetep aja kangen sama tokoh yang ngomong. Atau kalau diucapkan lagi, karena momennya berubah, usia berubah, bawaannya malah pengen nabok (ok! Itu mah gue aja!).

 

Kalau mau ngetes kangen sama memori apa orangnya, berarti harus memastikan, kangennya sama baiknya aja, apa bisa dengan SATU paket utuh. Dengan KESELURUHAN orang tersebut, kebaikan maupun keburukannya. Jika segala kejelekannya, menyebalkan, pengkhianatannya juga dirindukan, berarti memang beneran kangen sama sebuah individu.

 

Kalau teman gue mau ngetes kangennya ma yang mana, perlulah ia mengingat pengkhianatan dan sikap non-komital mantannya. Jika itu juga menjadi bagian yang terasa seksi, yaa.. mungkin teman belum move-on.

 

So, is that wrong to miss a person? To eventually express it in a thousand letters? Hmm.. menurut gue, justru karena manusia hidup dalam ruang dan waktu, sebuah memori menjadi akibat yang tidak terhindarkan dari sebuah interaksi.

 

Guepun, yang bentukannya begini, punya perasaan kangen pada memori yang bagus-bagus itu. Hanya cara ekspresinya berbeda. Gue pernah mencoba menulis yang mellow-mellow, bikin-bikin puisi. Tapi orang-orang tetep ketawa dan gue makin depresi karena nulis yang surem-surem. Akhirnya gue menyerah. Sebaiknya gue menertawakan diri sendiri saja.

 

Lagipula, ada banyak ekspresi rindu yang berakhir positif. Sebuah pameran foto T-Rex dengan berbagai kegiatan dari email pada seseorang yang tak pernah berbalas. Atau Daily Heartbreak. Sebuah website penuh kata-kata luar biasa yang menguatkan sesama patah hati guna kuat menghadapi tantangan dunia.

 

As long as we treat it right, the feeling has positive vibe. Asal jangan salah kaprah malah menjadikan perasaan itu, alasan untuk kembali pada orang yang lama.

 

Karena manusia hidup atas ruang dan waktu, sekali waktu dan ruang tersebut terisi, tidak dapat dipakai kembali. Memori tidak akan berulang samapersis. Yang terjadi, malah menimbulkan perkara baru karena ‘kamu bukan yang dulu lagi’ Kalau memang mau balikan, harus dipastikan kangennya satu paket dong. untuk mengambil keputusan atas dasar memori.

 

Atau malah mencari orang dengan sifat yang sama, karena merasa sifat-sifat tersebut dirindukan. Sekali lagi, sifat yang sama bisa positip bisa negatif. Cari yang pede tapi juga harus tahan kalau lagi jadi sombong. Cari yang berani maju tapi juga harus tahan sifat egoisnya.

 

Dan jika ternyata orang yang dikangeni punya sifat berbeda kini, tidak perlu terlalu diambil pusing, mana yang bener, yang dulu apa yang sekarang.

 

Seorang teman pernah lagi berpacaran selama EMPAT BELAS TAHUN hingga akhirnya ditinggal kawin dengan alasan yang sangat dangkal. Alasan, yang jelas bukan sifat yang dikenal selama satu dekade kemarin.

 

Yang bisa gue katakana hanya, they are both his right traits. He was the right person, at THAT moment. Tapi sifat yang sekarang pun adalah dirinya, yang ternyata, tidak kompatibel dengan diri teman yang baru.

 

And all we can do is to keep the memory, savour it, smile at it, accept it as part of our lives, but not to act on it.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *