Multi Level Charity

Seorang pemuda berkaos putih dan berkaleng berjalan menghampiri begitu gue keluar dari MRT station.Insting gue menyuruh gue untuk menghindar dan gue segera mengambil langkah diagonal sambil memalingkan muka pura-pura tidak melihat. Gagal. Ternyata di arah jam 12 langkah diagonal gue, pemudi lain dengan seragam yang sama telah menanti. Beliau menyodorkan kaleng ditangannya sambil menggumam tak jelas.Gue menggeleng sambil tersenyum minta maaf lalu mempercepat langkah.  Dalam jarak 100 meter, gue melihat gerombolan berseragam sama. Buru-buru gue naik escalator, mengambil jalan memutar demi menghindari mereka. Terlambat. Salah seorang men-spot gue.Agak tak rela, gue menyemplungkan 20 sen ke kaleng itu.Si anggota gank menggumam, mungkin bilang makasih, mungkin juga menggerutu ala tukang parkir diupah 100 perak.

 

Gue tidak lagi menghindari salesman kartu kredit. Juga bukan SPG parfum yang menawarkan buy one get one free setengah maksa. Gerombolan kaos putih itu hanyalah sekelompok anak Junior College (setaraf SMA) atau universitas tingkat satu tidak berbahaya yang sedang mengumpulkan dana amal dengan minta-minta. Flag day, mereka menyebutnya, adalah kegiatan mengumpulkan sumbangan di jalan-jalan, dengan kaleng celengan yang jamak dilakukan di negri Singa.

 

Lantas mengapa gue menghindari mereka bak pengemis berpenyakit kusta? Seribu alasan gue lontarkan untuk membela diri. Gue jarang simpen recehan. Kalaupun ada, rasanya malas aja harus merogoh-rogoh mencari recehan, apalagi kalau bawaan banyak. Apalagi kalau lagi buru-buru. Tapi dalam hati, alasan gue sebenernya ; Gue pelit, perhitungan,  kurang punya jiwa social.

 

Sayangnya, jiwa-jiwa rawan neraka itu jumlahnya banyak….Di koran utama Singapura, seorang dari flag-day-ers menulis surat protes, mengeluhkan kurangnya jiwa social orang perkotaan. Si peminta-minta merasa niat baiknya bersusah payah kerja amal tidak mendapat tanggapan positif.Banyak dari orang-orang yang lewat, meski melihat, pura2 meleng dan buru-buru melengos pergi. Sebagian lain sok-sok merasa bersalah, tapi tetap ga ngasi duit. Sisanya mengasih seadanya, 20 sen, padahal lemparan 2 dolar menggumpal di dompet.Kok ga ada rasa kasiannya?Kok ga mau berbagi?

 

Duhh..maap..tapi hadapilah kenyataan, dunia ini diisi manusia kurang empati semua…di masa sekarang ini, sangat sulit buat orang merasa iba. Ada begitu banyak masalah social di dunia yang harus dikasihani.Ada kelaparan di Afrika, anak-anak penderita HIV/AIDS, breast cancer, remaja putus sekolah, korban perang etnis, anak jalanan, KDRT dan sebagainya dan sebagainya.Semua masalah penting dan mencuat bak halaman pop-up menjerit minta perhatian.

 

Masalahnya, there’s just so much that we can care about. Seorang aktivis mungkin konsen terhadap masalah perempuan, yang lain terhadap masalah pelanggaran hak cipta, yang lain terhadap orang utan. Tapi beliau mungkin ga bisa aktif dan peduli terhadap semua masalah sekaligus. Dan ketika itu datang ke kita, si donasi kecil, sungguh tak adil rasanya menuntut kita untuk berempati terhadap semua masalah dunia dan memberikan sumbangan sama besarnya kepada semua peminta-minta.

 

Apalagi ketika dunia lagi ancur-ancurnya kayak gini.Setiap hari kita dibombardir pesan-pesan menyedihkan, yang malah menimbulkan compassion fatique di antara orang-orang.Cape kasian, cape merasa bersalah, malah akhirnya tutup mata.

 

Kegiatan amal butuh sesuatu yang lain untuk menarik perhatian manusia-manusia seperti gue, yang akan menimbulkan perdebatan lain di forum koran utama…Amal ya amal…kalau pake embel-embel hiburan, uda ga tulus lagi…Begitu kata orang-orang tentang aksi sirkus seorang Biksu dalam mengumpulkan dana. RenChi charity show adalah acara amal tahunan super heboh yang ditayangkan di televisi swasta singapura. Selain artis ibukota dan kembang api kerlap kerlip, atraksi utama acara ini adalah pertunjukan acrobat biksu kepala yang jago tenaga dalam. Empat tahun lalu si biksu dikubur di bak berisi es batu bersuhu minus selama berjam-jam, dan dalam jangka waktu tersebut, penonton diminta mengirimkan sumbangan lewat telepon. Makin lama stuntnya, makin banyak sumbangannya. Lalu ada masa ketika sang biksu meniti tali diantara dua gedung pencakar langit.

 

Banyak orang yang ga setuju.Alangkah menyedihkannya jika orang-orang nyumbang karena melihat perilaku tidak manusiawi terhadap si biksu. Budaya macam apa yang dikembangkan disini…Tapi masalahnya, jika si biksu itu tidak dikubur es batu, apakah sumbangan yang didapat bisa segede itu? Bahkan ketika setelah bertahun-tahun orang-orang bosen dengan format acara yang gitu-gitu aja, rating dan sumbangan di Ren Chi langsung turun!

 

Dunia pas gue dilahirkan itu dunia maha gemerlap. Daughter of capitalism, kata temen-temen gue. Semua hal di dunia adalah spectacle, hiburan yang melenakan dan ujung-ujungnya duit.Mulai dari kondangan sampai toto gelap, urusan hidup jadi tontonan.Otak dan sensori gue uda terbiasa dirangsang leisure dan pleasure.Hal-hal yang ga mengenakan bikin ga nyaman dan akhirnya ditinggalkan.

 

Di dunia macam jugalah kegiatan amal bertahan.Bukan berarti kegiatan amal mengandalkan empati itu jelek. Mungkin ini bukan system yang paling ideal, tapi inilah system yang berlaku di nyaris di seluruh dunia, dan melawan system sama aja bunuh diri. Jadi kalau kegiatan amal mau bertahan, suka ga suka, harus ikut aturan main.

 

Bos gue mewanti-wanti, “we want sinners, not saints.” Sinners spend. Saints berhemat dan hidup sederhana.Perekonomian dunia berjalan karena sinners, yang mengeluarkan uang, yang menjaga roda konsumerisme agar tetap ada. Saints akan jadi aktivis, tapi sinners lah yang punya duit, yang bakal ngasi sumbangan signifikan.

 

Untuk menarik perhatian sinners, butuh kemasan yang menarik. Aksi minta-minta pake kaleng, jalan kaki ke monas, bakar ban, dan bikin spanduk atas nama dosa cukup menarik perhatian, tapi simpati?errr… Di mata sang pendosa, kegiatan bertujuan mulia itu Cuma bikin susah, bikin macet jalanan, buang-buang duit. Tapi kalau kegiatan kreatif dan berguna, sumbangan terasa tepat.

 

Halah, alasan! Ga mau nyumbang ajah pake ngomong macem2!

 

Eittss…jangan salah…di masa gue masi jadi junior dulu..gue juga pernah jadi tukang minta-minta…yap, dengan kaleng yang bahkan warnanya tidak menarik itu…Merasa bakal gagal mutlak, gue dan roommate gue memasang taktik ala SPG mobil mewah. Kami sengaja mengganti seragam kaos oblong gombrong yang tidak menarik itu dengan kemeja designer, jeans ketat dan hak tinggi. Lalu daripada mangkal di terminal bus, kami nangkring di depan sebuah pusat belanja plus service apartment di daerah elit singapura. Setiap orang yang lewat akan mendapatkan senyum sumringah dan tatapan eye-to-eye mengejab-kejab. Jangan lupa jalan ala model dengan bahu tegap menonjolkan asset.Sejujurnya, kami ga tau Community Chest, organisasi yang menerima donasi itu, tapi kami slalu bilang ini adalah sumbangan untuk BREAST (ditekankan) cancer.

 

Bukan rahasia, sebagian besar penyumbang hari itu ga peduli-peduli amat kemana uang mereka mengalir.Sebagian bahkan dengan blak-blakan memberi kami lembaran puluhan dollar, lalu mengambil tempat duduk strategis mengamati gerak gerik kami. Sinners…Tapi kaleng kami terisi penuh dengan uang kertas, dengan jangka waktu pemintaan dana hanya dari jam 10 pagi hingga jam 5 sore. Tujuan mencari dana tercapai, meski caranya kurang suci. Yahh..tapi kan kita ‘amal’ juga…
Sejak itu kami berpikir, bisnis amal harus dikembangkan sebagaimananya bisnis biasa, secara professional, dengan menerapkan aturan-aturan komersil. Bahkan melihat kesuksesan MLM beberapa tahun lalu, mungkin harus dikembangkan system MLC-multi level charity, dengan sumbangan satu memicu sumbangan yang lain…

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *