National Battle of Beach Resort

Cubadak atau Sikuai?

 

Seperti kebanyakan warga Indonesia lainnya, gue hanya tahu satu pulau cantik di pesisir Sumatera Barat yang belum sampai Mentawai. Sikuai. Private island milik sebuah resor dengan pasir putih dan payung cantik berderet di sepanjang bibir pantai.

 

Gue selalu ingin ke Sikuai. Tapi gempa, dan ketidakpunyaan akan baju renang yang bentuknya utuh selalu menghambat gue ke sana. Hingga akhirnya, setelah cukup banyak bepergian mencari pantai perawan, gue sudah tidak napsu lagi ke Sikuai.

 

Habis katanya yang punya orang Indonesia.

 

Wooowww…Rasis… Dasar Cina.

 

Sungguh, meski Cina gue ini merasa Indonesia. Dan bukan main merasa sedih mendengar stereotip ini. Bahwa orang Indonesia tidak bisa punya resor yang baik. Ralat. Bangunnya bisa, tapi merawatnya ogah-ogahan.

 

Lihat Amatoa Resor Vs Anda Beach Resor di Tanjung Bira. Keduanya punya private access ke pantai, private balcony menghadap ke laut, dengan harga per malam hanya setipis dua ratus ribu bedanya. Anda Beach bahkan punya kapal pinisi jadi restoran, dan dibangun jauh lebih baru. Tapi berada di Amatoa, gue merasa jauh lebih mewah, jauh lebih modern.

 

Bukan masalah bangunannya. Anda Beach dibangun jauh lebih baru. Amatoa juga bangunannya super simple, maintenancenya nampaknya tidak terlalu gila-gilaan. Tapi Amatoa terlihat jauh lebih terawat, lebih bersih, lebih cantik, pegawainya lebih sigap.

 

Lalu ambil hotel D’Hill Bukit Tinggi. Pas judulnya ‘Novotel’, hotel ini sangat ngetop. Bersih, pelayanannya sigap, makanannya endhes. Konon, suatu kali Novotel ini ganti manajemen jadi orang Indonesia. Dan berakhirlah masa jayanya.

 

Terakhir gue ke sana, bathubnya gompal-gompal. WC tamunya berkerak dan becek. Dan yang paling spooky, lampu kamarnya bisa nyala sendiri tanpa memasukkan kartu, mengindikasikan betapa tuanya hotel ini…

 

Service-nya sudah tidak diragukan lagi. Gue terpaksa berenang 20 kali bolak balik lantaran tukang handuk kolam renang janji-janji palsu. Stand handuk ditinggalkan kosong cukup lama. Padahal gue masih belum punya baju renang yang utuh. Nggak mungkin kan gue lari-lari di Bukit Tinggi pake bikini?

 

Kendatipun begitu, gue masih berusaha menaruh kepercayaan pada investasi lokal. Gue menghubungi Sikuai terlebih dahulu. Tapi setelah email reservasi gue tidak dibalas setelah empat hari, serta saat telepon gue tidak juga diangkat-angkat, sudah jelas, ke mana gue akan menghabiskan akhir pekan gue. Cubadak it is.

 

Sejujurnya gue cukup lega. Gue mulai mendengar review yang kurang endhes tentang tempat ini. Katanya bangunannya mulai tidak terawat. Tau sendiri kalau di pantai itu lembab. Gue pernah tinggal di resor tepi pantai yang berkelambu dan berseprai pink, tapi tidak terawat. Gatel-gatel pas pulang.

 

Apa-apa juga bayar dan ramai. Gue suka party tepi pantai macam Zouk gitu. Tapi kalau pake lagu ST12 kurang seru jadinya. Lagipula, di sana makannya ayam. Ih, masa di pantai makan ayam sama nasi padang. Apa dong tujuan hidup ikan-ikan gendut yang berenang bersama saat snorkeling itu?

 

Dan, ketika gue mendarat di tepian Cubadak, cerita itu benar-benar njomplang dengan kondisi Cubadak, yang dikelola oleh pasangan Perancis dan Italia. Gue benar-benar dibuat menjerit, kenapa sih orang Indonesia nggak bisa bikin yang kayak gini???

 

Dari awal gue selalu mendapat respon yang cepat dan ramah. Kendati gue baru bisa menyebrang ke pulau mereka jam 12 malam, penjemputan tetap diusahakan. Meski konon baru diserang badai besar sehari sebelumnya, tidak tampak tanda-tanda kehancuran seidkitpun. Rumput tertata rapi, sampah sudah tersingkirkan.

 

Kamar kami sederhana, dari bahan kayu dan atap rumbia. Persis seperti yang di pinggir Tanjung Kelayang dengan agas-agasnya. Tapi yang ini bersih. Ada WC dengan drainase yang baik. Kayunya diganti secara berkala. Nggak bau lembab.

 

Bangunannya juga tidak baru. Ada lampu-lampu yang jelas berasal dari tahun 80-an. Tapi semuanya terawat dengan baik. Tidak ada ngegat mati berbayang di dalam lampu. Tidak ada besi berkarat dan keropos.

 

Semua dengan pemandangan tak kalah indah. Pasir putih, laut yang sayangnya lagi nggak biru karena baru badai, dan kebun tempat trekking yang cantik. Gue bisa snorkeling ke pulau sebelah tanpa perlu membayar biaya tambahan.

 

Kata mereka, itu karena beda tipe pembuatan saja. Orang Indonesia suka membangun yang pakai pilar-pilar, biar bisa muter-muter dangdut-an. Pake marmer dan besi baja, pokoknya grande. Tapi kecenderungan yang grande itu, juga cepat rusak. Dan yang rusak cepat kelihatan.

 

Sedangkan orang bule suka yang simple-simpel aja. Sarapan roti dengan telur dan sereal plus buah. Kalau sedikit begini, sulit ada kesempatan makanan jadi nggak enak.

 

Tapi dalam hati, gue merasa ada benarnya kesimpulan itu…orang Indonesia pandai membangun tapi tidak pandai merawat. Tidak hanya soal bangunan, tapi juga hal-hal lain.

 

Film Indonesia itu idenya sadis. Seru. Unik. Menantang. Tapi yang dibuat sampai selesai dengan bagus? Bisa dihitung sebelah jari. Sisanya seolah kehilangan nafas di tengah film, bosan bikinnya, lalu dibuat ending asal-asalan.

 

Lalu, lihatlah bus-bus hasil hibah Jepang yang beberapa tahun lalu masih mulus. Sekarang, bentuknya lebih mengenaskan daripada bus mayasari bakti. Item blutek dan AC-nya hilang. Jepang mungkin takkan mengenali bus pemberiannya itu.

 

Atau lihat WC bandara Soekarno-hatta. Mau dibangun semegah apapun, secenggih apapun, dalam hitungan bulan juga sudah mati semua fitur-fiturnya. Bentuknya kadang seperti WC prasejarah: tissue belum ditemukan, manusianya belum tahu cara cebok tanpa becek, warnanya, suram kelabu bak batu megalitikum.

 

Tentu saja, gue rasis dan stereotip. Dan gue berharap gue salah. Siapa tahu gue bisa jadi salah satu orang Indonesia yang membuktikan bangsa ini bisa membangun resor yang cantik dan terawat senantiasa. Sayang, negara ini rasanya cantik banget, lihat saja foto-fotonya di sini: http://margarittta.multiply.com/photos/album/33/Tour-de-Padang

 

Itu sebabnya gue  musti belajar dulu sama yang ahli…pergi ke resor-resor buatan internasional… Alasan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *