“Menurut gue, Indonesia harusnya dinobatkan jadi negara maju!” Gue mengajukan konsep ekstrim itu, sambil menatap kumpulan orang lalu lalang di trotoar lebar dari jendela gedung Spiegel yang sudah direstorasi di tengah kawasan kota tua Semarang.
Saat itu gue masih seger-segernya dari mengelilingi Perancis, Italia dan Iceland, dengan transit di Saudi Arabia.
“Ah masa sih?” sang teman menantang konsep gue.
Ambil contoh Saudi Arabia. Ketika Raja Salman datang, wajah orang Indonesia menengadah ngiler berharap diutangin. Barang bawaan puluhan ton bahkan sampai bawa eskalator sendiri.
Namun menuruni tangga di tengah suhu 39 derajat untuk kemudian naik lagi di suhu gurun malam menggigil, gue ngerti kenapa Raja Salman musti punya escalator. Ya jelas saja, bandaranya tidak punya fasilitas belalai gajah.
Kalau kata orang kemajuan sebuah negeri diukur dari infrastrukturnya, dan bandara adalah ‘muka infrastruktur’ negeri itu, sudah pasti Indonesia bisa dinilai jauh lebih maju daripada Saudi.
Area transit tidak punya cukup bangku, membiarkan banyak penumpang ngegelar tiker. WC-nya hanya beberapa bilik, becek dan suka lupa disiram. Nggak usahlah jauh-jauh membandingkan dengan bandara ibukota Jakarta yang kian hari makin kinclong apalagi terminal 3-nya. Gue akan jauh lebih memilih transit di Bandara Mutiara di Palu. Atau bandara mana saja deh, yang penting di Indonesia.
Ya nggak bisa gitu dong, kemajuan itu bukan hanya diukur dari infrastruktur tapi juga dari etos kerja dan tingkat pendidikan. Coba orang Indonesia, kagak ada yang bisa tertib, kampungan, gak intelek, demikian sanggah sang teman.
Gue mendelik mendengarnya, enak aja! Yang suka nyerobot antrean boarding jelas-jelas oknum bangsa Arab. Yang begitu pesawat landing langsung lepas seatbelt dan nurunin kabin juga bukan para TKW yang berstereotip pendidikan rendah, melainkan para kaum Arab yang seolah baru pertama kali naik pesawat.
Di Perancis juga sama aja. Gue harus mengantri 3.5 jam untuk antrian imigrasi yang sangat lelet dan tidak efektif di bandara Charles de Gaulle Paris. Saban kali selalu ada saja mereka yang dipanggil maju duluan karena pesawatnya sudah mau terbang sedangkan sebagian besar penumpangnya masih ngantri.
Saat gue tiba di hadapan imigrasi, jam sudah menunjukkan pukul 10.45, untuk pesawat yang rencananya terbang jam 11, dan boarding jam 10 pagi. Dengan santai si petugas imigrasi mengecek paspor, bertanya jika gue sudah punya pacar atau belum, dan apakah gue mau cari pacar di Perancis atau tidak. Oh, kerjanya sambil ngobrol. Pantes pesawat delay semua.
“Bukannya antrian imigrasi di Indonesia juga lama ya?”
“YA INI LEBIH LAMA LAGI!” Gue mengotot, lagipula, antrian imigrasi Indonesia sekarang sudah tidak seburuk dulu.
Tanpa disadari, Indonesia sudah berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kinerja birokrasi kita, meski belum sempurna, sudah jauh lebih efisien. Pengalaman mengurus perizinan, daptar paspor sudah tidak lagi bikin encokpegellinu. Sepanjang gue ekspor, tidak sekalipun petugas karantina atau bea cukai mempersulit minta fulus.
Infrastruktur kita juga telah lebih maju. Berjalan hingga ke pelosok Indonesia gue menemukan jalan-jalan baru yang mulus, atau sedang dibuat. Bandingkan dengan Cinque Terre, deretan lima desa mungil di atas karang menghadap Laut Liguria di Italia, yang konon, jadi tempat liburan elit.
Italian Riviera, begitu orang-orang menyebutnya, dan selalu menimbulkan kagum ketika gue bilang akan berlibur di situ. Tapi akses antar desanya banyak yang putus, sudah bertahun-tahun ketutup longsor gak dibenerin.
Pengalaman naik kereta ke Semarang atau Banyuwangi sejuta kali lebih nyaman dibandingkan antar kota Pisa-Cinque Terre-Milan kemarin. Proses check in-nya jelas, mesinnya berfungsi semua, stasiunnya terawat, WC kereta api ada tisunya.
Sedangkan di Perancis dan Italia, gue cukup lega bahwa stasiun mereka sudah tidak lagi bau pesing. Pinter, orang Eropa sudah belajar pipis di tempatnya.
Dan, bicara tentang pemerataan pendapatan dan GDP yang ‘terkesan’ rendah, gue bertanya-tanya jika sungguh itu bisa jadi takaran kemakmuran suatu negara. Negara lain yang gue kunjungi, Iceland, dikenal sebagai negara dengan UMR tinggi, apalagi penduduknya hanya sekitar 300 ribu jiwa.
Namun upah yang tinggi ternyata pas-pasan untuk membayar biaya hidup yang juga tinggi. Kalau dihitung-hitung, meski supir busnya bergaji rata-rata 50 juta rupiah, di akhir bulan masih bagus kalau bisa menabung lima juta rupiah, itupun, tidak akan mampu untuk menyicil rumah.
Kalau dibandingkan dengan kehidupan pedesaan di Indonesia, tentu kelihatannya petani Indonesia jauh lebih sederhana. Rumahnya semi permanen dan sedikit yang masih memiliki lahan.
Namun satu hal yang gue perhatikan, petani di Indonesia jarang yang kelaparan! Iklim yang ramah membuat bangunan semi permanen nampak bertahan baik. Hasil bumi cukup untuk makan sederhana, bahkan tanpa kehadiran pedagang sekalipun. Bukankah ini yang namanya sejahtera?
Kekurangan dan kesulitan hidup tentu saja ada, namun bisa dihitung seimbang dengan kasus di negara ‘maju’ di mana petaninya kadang harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer guna mengakses kebutuhan komunikasi misalnya.
Lagipula, bicara pemerataan, kesenjangan juga ada kok di Uni-Eropa. Di balik yacht yang sedang parkir, serta hotel-hotel puluhan juta semalam di Cinque Terre itu, juga ada gembel dan gelandangan yang ngegelar di kolong jembatan dan stasiun kereta.
Ya tapi coba kayak di Singapur atau di China, MRT mereka cakep banget loh bersih en baru, nggak kayak kereta kita lambreta. Udah lagi orang miskin di sana pun punya rumah, hidupnya dijamin pemerintah. Kerjanya cepet gila, ngantri di Changi pakai detik per detik!
Gue nyengir. Nah ini nih bener. Memang ada negara-negara yang lebih maju dari Indonesia. Singapura, China, Jepang, Korea Selatan, punya infrastruktur yang jauh lebih baik, etos kerja yang lebih tinggi, dengan kesenjangan pendapatan yang lebih kecil.
Kalau takaran negara majunya adalah negara-negara Asia ini, gue terima jika Indonesia masuk kategori negara berkembang. Tapi jika kiblatnya masih negara Eropa, Amerika, atau jazirah arab, Indonesia semestinya sudah masuk takaran negara maju! Negara dikit lagi maju deh, kategorinya!
Nampaknya perlu ada revisi tentang bagaimana kita melihat kemajuan sebuah negeri. Terlalu lama negara-negara Asia termasuk Indonesia ini dibuat barat-sentris, apa-apa pokoknya dunia luar lebih kereen aja
“Ya tapi susah Gy ,loe mao usul sama siapa? Jangankan ngusulin ke PBB, ngusulin ke negara sendiri aja pasti ditolak!”
SkakMat. Bener banget. Setiap kali gue menceritakan tentang betapa majunya Indonesia, yang paling kenceng membantah adalah orang Indonesia sendiri. Masa sih? Ah, nggak mungkin lah! Menjadi respon refleks setiap orang Indonesia, sebagian besar memang tidak pernah melihat negara yang jadi bandingan kemajuan itu.
Dan akhirnya, mental rendah diri sendiri inilah yang membuat Indonesia tetap dianggap negara miskin. Karena kita lebih seru menghitung hutang pemerintah hingga lupa bangga akan kekayaan melimpah yang dimiliki.
Karena kita lebih sering memperebutkan presiden mana yang paling banyak bangun jalan tol, lalu lupa mensyukuri jalur tol yang sudah sambung menyambung, teserah presiden mana kek yang ngeresmiin.
Karena kita mau-maunya dibikin berantem dengan diadu takjub pada dongeng bangsa lain hingga meninggalkan budaya dan etos kerja sendiri yang sebenarnya lebih luhur.
Gue teringat sebuah pesan dari partner bisnis tentang Indonesia. Rasanya mimpi swasembada itu terlalu kecil untuk negara sebesar Indonesia. Kita tuh harusnya mimpi jadi lumbung pangan dunia. Ya, gue setuju, ini negara maju gitu loh, masa rakyatnya punya mental negara berkembang doang!