Sebagai bagian dari Bulan Kunjungan Mantan Pacar kemarin, salah seorang mantan HTS, pria berkebangsaan Belanda didatangkan langsung dari Negara asalnya. Setelah pulang seenaknya tanpa bilang “yuk, dadah, babay”, meski salah gue juga, dia muncul kembali di depan pintu, berharap gue masih berdiri di tempat yang sama seperti ketika ditinggalkan. Bahkan cara PDKT pun tidak berubah, dengan slogan, gue seiman loh..gue seiman loh..gue seiman loh….
Gue mungkin ga laku, tapi juga ga bodoh. Namun si Londo ini nampaknya sudah memahami betul paham gue bahwa agama adalah prinsip dasar nomer satu yang dibangun atas dasar iman dan menjadikannya sangat penting.
Dan meski jika agama adalah satu-satunya syarat, niscaya setidaknya 10 juta atau 5% dari penduduk Indonesia akan jadi eligible buat gue, gue tetap menjadi tak berdaya ketika dia kekeuh mengajak gereja bareng dengan alasan, « manusia tidak bisa menghalangi manusia lain untuk dekat dengan Tuhannya… » Walau gue yakin keinginan ke gereja lebih didasari oleh kebutuhan jasmani daripada rohani.
Keyakinan gue itu terbukti betul ketika setelah 5 menit di dalam gereja, beliau mulai mengipas-ngipas gerah dengan lembar tata perayaan ekaristi yang dibagikan, sambil terus-menerus bertanya, « terus abis ini apaan ya ? » Yang paling remarkable, adalah melirik ke seluruh ujung gereja sambil berkata, « rame banget sih ! »
-doa pembukaan-
Gue ikutan menganalisa. Gereja hari ini memang sangat penuh, dengan bangku terisi sampai belakang. Tapi teringat gereja di Indonesia, masih belum sebanding. Gue menjawab, « di Indo malah lebih rame lagi, bisa sampe keluar-luar gereja, bahkan ada yang ga kebagian tempat duduk diluar pun. »
« hah ? segitu miskinnya apa Indonesia ? »
Tersinggung. Dasar bule ga sensitif. Ga tau apa ada aturan dilarang menghina Negara atau daerah asal gebetan? “meaning?” (artinya: maxud loe?)
Dia pun menjelaskan. Yaa…berangkat dari aturan, manusia Cuma inget Tuhan pas lagi susah, negara maju cenderung menjadi lebih sekuler dibandingkan Negara miskin. Contoh Di Eropa tempat asalnya, gereja-gereja bahkan di Roma sekalipun sudah ditinggalkan penggemar. Cuma orang tua yang memang sudah butuh merenung dan bertobat yang datang ke gereja. Anak muda tentunya akan merasa malu jika harus berada dalam gereja, kecuali dirinya, yang mengaku tidak pernah absen beribadah, percaya ga percaya. Sangat berbeda dengan kondisi di, misal, Negara Afrika yang kurang berkembang, dimana gospel dan evangelisasi menjadi profesi yang tidak kalah menariknya dengan jadi marketing director.
-bacaan pertama kitab suci-
Jumlah penganut agama menjadi indicator kesuksesan sebuah Negara. Pasalnya, jika Negara itu maju, manusianya ga ada yang susah, mereka ga perlu minta ini itu ke Tuhan lagi. Cuma orang-orang yang sudah pasrah, yang sudah ga bisa ngapa2in lagi untuk memperbaiki hidupnya yang akan lari ke kekuatan diluar manusia, si Tuhan itu!
Makanya di Negara komunis, agama itu dilarang. Soalnya komunis itu kan menjanjikan kemakmuran sama rasa sama rata bagi seluruh penduduk. Klo masi ada yang beragama, brarti masih blum makmur dong! Ini adalah propaganda negative bagi partai dan Negara, maka dari itu agama harus dimusnahkan.
-bacaan pertama selesai, masuk bacaan kedua-
Hmm..begitu pikir gue. Jadi keingetan dengan lagunya Ahmad Dhani, Jika surga dan neraka tak pernah ada…. Tapi gue ga terima. Amerika juga negara maju, tapi religius. Gue sering nonton film2 Holywood dan gerejanya nampaknya cukup rame.
Dia menatap gue sambil menahan tawa, Amerika kan lagi resesi…lagian sebenarnya, tingkat kemiskinan di Amrik itu juga ga rendah-rendah amat kok, dan coba liat di komunitas mana agama itu berperan, komunitas kulit hitam dan hispanik, yang memang tingkat kemakmurannya konon belum setinggi ras lain. Lagian, emang sih Amrik lebih religious, tapi dibandingkan Singapur..dibandingkan..hehehe..Indonesia?
Sial!
-Bacaan injil-
Gue terdiam sebentar, melayangkan mata gue keluar jendela. Singapur ini memang semakin lama semakin sekuler. Persis di seberang Katredral ini, yang dindingnya kusam dan retak-retak plus lampunya suram, berdiri sebuah gereja lain yang lebih megah, dengan ornamen ghotic, catnya putih bersih plus ruangan full AC. Gereja ini dilengkapi sebuah kompleks biara nan cantik, lengkap dengan taman luas yang di-prune mingguan ; sebuah taman Eden ditengah pusat kota.
Masalahnya, gereja ini sudah bukan jadi gereja lagi. Gereja plus kompleks biara ini sudah ditukar guling dengan sebuah daerah pinggiran, dan sejak itu menjadi pusat kafe dan hiburan malam. Gedung gereja utamanya dijadikan gedung pertemuan, yang bisa disewa untuk acara perkawinan, ulang tahun dan pesta dansa, plus pastor palsu yang berperan menjadi MC. Di bekas kompleks biara terdapat klub malam, lengkap dengan sarana pijat plusplusplus di lantai atas, yang dulunya adalah tempat beristirahat biarawan/wati.
Kompleks itu dinamai CHIJMES, mengenang nama awal tempat itu, Church of Holy Infant Jesus, plus ditambah akhiran -mes sehingga membentuk kata yang berarti « dentang lonceng Gereja »…Pemerintah nampaknya melihat lokasi strategis di tengah kota dan bangunan tua yang sangat artistik itu menjadi sia-sia jika hanya jadi tempat ibadah, karena bisa disulap jadi tempat turis maha komersial. Dan katedral pun dipindahkan ke gereja lain yang lebih kecil dan lebih suram itu.
Teringat kompleks biara dan sekolah tempat gue dulu ber-SMA yang persis sebelah katedral. Letaknya sama-sama di tengah kota, dengan bentuk bangunan yang menurut gue sangat historik. Tapi gak kebayang suatu hari gue bakal dugem di tengah-tengah lapangan, dekat patung Bunda Maria di bawah pohon nangka. Bisa-bisa abis itu gue kecelakaan.
Penggusuran nilai religious demi komersialisasi juga tidak menimpa kaum nasrani aja. Di dekat Mesjid Sultan, yang konon adalah masjid tercantik dan termegah di Singapura, terdapat dua lorong jalanan yang terkenal sebagai tempat nongkrong, Haji Lane dan Arab Street. Kedua jalan tersebut selalu marak meriah, dengan hari-hari puasa itu lebih mirip jalanan Kemang disaat ada Kemang Food Festival.
Malam sebelum puasa pertama kemarin lalu dirayakan teman-teman gue yang beragama Muslim nge-shisha di Haji Lane. Shisha yang harusnya lebih ringan dari rokok itu somehow bisa bikin kami ketawa ketiwi sampai pagi. Sudah jelas akhirnya teman-teman gue ga bisa bangun sahur. Dan ketika gue terbebani rasa bersalah dan berdosa karena ikut andil dalam kebatalan itu, mereka justru ga ambil pusing. “masih ada 29 hari ini…gapapa lahh…” terus..apa maknanya merayakan hari pertama puasa klo hari pertama ga puasa?
Sangking sekulernya, pertanyaan: agamanya apa? Bisa jadi pertanyaan yang membingungkan. Suatu hal yang tentunya gak bakal terjadi di Jakarta, karena jika bingung, tinggal liat KTP aja. Ini gue sadari ketika lagi ngobrol2 dengan teman gue dan kebetulan muncul topik ini.
“What’s your religion btw?”
“…” < teman gue, tampang bingung>
“err..dunno..hmm…I think I’m a BUddhist” ujarnya ga yakin.
“as in..my parents are Buddhists…” ujarnya menjelaskan.
“But somehow, my sister is Christian?” dia jadi tambah bingung.
“Ahahaha..ok, nevermind..”
Tapi tunggu sebentar, gimana dengan Negara-negara timur tengah? Kan pada kaya noh, tapi tetap religious. Atau Brunei, yang katanya tiap waktu Sholat diberitakan diseluruh negeri melalui halo-halo dan semua pekerjaan dihentikan?
Si Londo nyengir, maksud beliau, Negara yang maju karena industrialisasi, dimana modernisasi adalah penyebab kemajuan, bukan akibat kemajuan…Negara yang maju karena sumber daya alam ga masuk itungan teori beliau.
« Tapi ga bisa gitu dong…kalau gitu sekularisme adalah akibat modernisasi bukan kemajuan….Terus…»
DONNG !! Dentang gereja terdengar berulang kali, menandakan misa telah usai. Dan gue, karena sibuk berdebat, pulang tanpa rahmat layaknya manusia negara sekuler lainnya.