Negara Santun Lagi Kaya

“Mamih seneng deh di Jepang sini. Mamih nyerobot antrian nggak ada yang marah. Mamih nggak sengaja dorong nenek-nenek sampe jatoh, neneknya malah minta maaf. Mamih kentutin diem aja…”

“HHhhh mamih! Jangan ngelunjak atuuhh!!”

Gue punya teori pribadi. Bahwa kemajuan sebuah negara berbanding terbalik dengan keramahan dan kesantunan penduduknya. Semakin modern negara tersebut, semakin individualis warganya mengejar harta-tahta-wanita, semakin merasa sosialisasi itu buang-buang waktu, semakin juteklah mereka.

 

Coba saja lihat kota semacam Singapura, Hong-Kong, atau Seoul. Nawar barang sedikit aja langsung ngambek. Padahal kan kita cuma becanda… Atau bandingkan kota besar seperti Paris dan New York, dengan daerah pinggirannya seperti Lourdes dan Michigan misalnya.

 

Yang di kota besar, orang-orangnya mukanya mengkerut semua. Berjalan sibuk di metro setengah buru-buru. Begitu diselak atau merasa terhambat, langsung mengeluarkan bunyi-bunyian tak sedap. Sebaliknya, di kota kecil, penduduknya lebih santei dan mau diganggu. Bisa nanya jalan kalau tersesat, biarpun ada standard ganda terhadap kata ‘cakeut’, atau numpang pipis.

 

Sudah tentu, gue punya bayangan sama ketika mengunjungi Tokyo beberapa waktu lalu. After all, Jepang Negara yang WC-nya aja sampai susah dipakai gara-gara terlalu cenggih. Sudah pasti orangnya galak-galak. Salah sedikit pasti gue disuruh romusha bangun gua jepang bawah laut dari Tokyo ke Bukit Tinggi.

 

Pasti gue bisa menunjukkan bahwa tiada yang sempurna. Bahwa meski gue datang dari Negara dunia ketiga yang tingkat korupsinya lebih besar daripada pemasukannya, gue adalah pribadi yang bahagia. Gue selalu dapat tersenyum ceria di tengah kesendirian, dibully emak sendiri, dan kemiskinan. Dan gue akan mengajarkan arti bahagia.

 

Tapi di hari pertama gue tersesat di stasiun Shibuya yang ruame itu, seorang nenek-nenek yang nggak bisa bahasa Inggris menghampiri dan mencarikan orang yang bisa bahasa Inggris untuk membantu gue menemukan jalan ke Harajuku.

 

Teori gue diruntuhkan dalam waktu sekejap. Jepang, adalah sebuah Negara yang sangat maju, mungkin lebih maju dari berbagai kawasan Asia lainnya. Sistem transportasinya begitu teratur, hampir tidak ada daerah yang tidak terjangkau dan terkoneksi dengan sistem metro yang datang paling lama 4 menit sekali.

 

WC-nya bisa mengeluarkan parfum dan bunyi flush palsu. Agar ketika ‘brooot’ nggak merasa malu. Mesen ramen di Ropponggi pakai mesin, meski akhirnya kokinya keluar juga bantuin karena gue nggak bisa bahasa Jepang sedikitpun. Lihat air terjun bisa pakai lift, dibangun bawah tanah di jaman Indonesia belum punya bangunan tiga lantai.

 

Tapi dengan segala kemodernan yang ditunjukkan, Jepang adalah negara yang sangat santun. Begitu santun sehingga gue dan mamih yang dari Negara miskin berkembang ini merasa begitu kasarnya.

 

Tidak peduli tip yang diberikan, petugas hotel akan memberikan bungkukan maksimal. Di Indonesia, kadang kembalian taksi saja suka nggak diberikan seolah sudah menjadi hak supir.

 

Setiap kali masuk stasiun kereta sekadar menunjukkan tanda masuk gratis, petugas dengan senyum tulus akan mengucapkan arigato tiga kali, satu untuk papih, mamih dan gue sendiri. Petugas busway aja jarang senyum ketika menyobek tiket yang baru saja gue beli dengan harga penuh.

 

Tersesat di Jepang? Pasang saja tampang bingung. Pasti akan ada orang yang menghampiri dan dengan sepenuh hati berusaha membantu. Bahasa tarsan, Inggris separoh jadi, hingga benar-benar mengantar ke tempat tujuan akan dilakukan. Padahal katanya orang Jepang sibuk-sibuk. Tapi pada nggak takut pulang makin malam.

 

Kata maaf dengan mudah terucap, bahkan meskipun yang salah orang lain. Hormat pada orang tua tercermin dengan seringnya mereka merelakan tempat duduk untuk orang yang sedikitt saja lebih tua. Atau dengan mereka yang tidak pernah marah dengan perbuatan semena-mena mamih.

 

Bahkan anak-anak kecil bisa berbaris rapi saat karyawisata ke Nikko, kota wisata di tepi Tokyo, duduk berdua-dua di kereta agar orang lain bisa duduk di sebelah mereka, dan diam berfokus pada makanan di restoran.

 

WC umum bahkan di pinggir kali sekalipun selalu bersih. Tersiram sempurna, dengan tisu yang tersedia dan semua membuang sampah pada tempatnya. Di Indonesia, gue sering milih pipis di kalinya saja.

 

Apa kemarin alasannya Indonesia ini kayak negara nggak mau maju?

 

Gue sering menghibur diri dengan berkata, ah, nggak papa Jakarta ini macet amburadul naazdubilah bin dzalik dengan angkot dan metromini yang penuh rahasia ilahi dan pengendara motor plus ojek yang berasa nyawanya ada sembilan.

 

Nggak apa juga kita itu nggak punya teknologi canggih untuk melakukan galian kabel sehingga sudah tiga bulan nggak beres juga dan ketika diaspal, blendung dan bisa mementalkan anak manusia yang lagi apes.

 

Nggak masalah juga galian itu sebulan kemudian dibongkar lagi untuk kabel fiber optic yang jadwalnya baru dipikirkan dua hari yang lalu dan belum direncanakan kapan akan digali lagi. Tapi pasti sih, ntar mau digali lagi.

 

Semuanya, atas nama, segala kesemerawutan, kekunoan, dan kejorokan yang ada adalah sebuah seni yang membuat manusia hidup, punya empati sosial, punya ruang untuk tertawa, bersantai, menikmati ketidaksempurnaan hidup.

 

Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, Andra & The Backbone serta mesin, maka segala yang tidak sempurna akan lebih manusiawi. Satu buku gue tentang Singapura adalah tentang mewaspadai bahayanya kehilangan elemen manusia ketika membangun.

 

Tapi Jepang membuktikan, bahwa sebuah negara bisa maju, bisa modern, bisa jadi tempat tinggal yang menyenangkan, tanpa harus kehilangan karakter manusianya.

 

Gue tidak cukup lama tinggal di Jepang untuk memahami bagaimana kesantunan ditanamkan begitu kuatnya hingga tak hancur dimakan jaman. Kalau dilihat dari bagaimana orang tua mendidik anaknya, mungkin pendidikan dari kecil adalah krusial. Atau sistem budaya yang begitu kuat, hingga kalau ada yang melanggar akan menerima sanksi sosial yang serius.

 

Lantas.. bagaimana ini bisa diterapkan di Indonesia? Hmmm… mungkin ini yang namanya gagasan revolusi mental. Pendidikannya diubah 100%, orang-orangnya juga. Atau sistem pemusnahan masal, hingga kemudian setelah kepunahan akan tumbuh organisme-organisme baru.

 

Atauuu.. mungkin cara gampangnya, ya mulai aja sendiri. Malu sama warga Jepang yang anteng ngantri taksi meski lama nggak kerunan, gue jadi ikutan ngantri. Karena begitu nabrak langsung ada yang minta maaf, gue jadi ikutan minta maaf macam Mpok Minah di Bajaj Bajuri.

 

Ahhh.. nggak Indonesia banget, ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *