The New Majority

“Lu pulang kagak bawa pacar?” tanya mamih, sesaat setelah gue menyelesaikan ziarah Eropa gue 3 minggu.

“Kagak,” gue menjawab datar

“Ah elu mah di sono kagak mau nyari, ntar di sini dapetnya yang beda agama lagi,” mamih berkomentar kuciwa.

“ Yee Mak, Eropa sekarang udah nggak kayak dulu lagi! Udah ada pergeseran tren mayoritas!” gue berargumen.

Yes, of course, I tried. Sejak hari pertama beli SIM card lokal, gue langsung mengapresiasikan hobi online dating. Kapan lagi, jauh dari negeri.  It’s easy, fast and efficient. Tanpa deg-degan tau-taunya ketemu tukang salak.

 

Tapi tanda-tanda perubahan zaman itu langsung mementung gue di Tinder Match#1: Seorang Muslim, kebetulan masih ada keturunan Turki dari ibunya. Mengira gue juga Muslim, abis dari Indonesia sih.

 

Nggak, gue nggak rasis. Apalagi urusan online dating. Beneran, mantan pacar gue juga banyak yang Tuhannya satu kitanya yang tak sama. Lebih banyak yang tak sama daripada yang sama. Ralat. Hampir SEMUANYA tak sama.

 

Tapi gue kan tidak menempuh perjalanan sejauh 17 jam naik pesawat, melintasi benua dan samudera untuk ketemu pria-pria yang bisa gue temukan di Indonesia. Lebih banyak malah stoknya. Kalau kaek gitu doang mah, dari kmaren aja gue nyalain tuh Tinder!

 

Loe salah pake aplikasi Gy, Tinder itu lebih dikenal di kalangan imigran! Ujar seorang teman, mencurigai gue mudah lompat pada kesimpulan tak berdasar. Gue melotot, lalu mengajukan studi kasus selanjutnya

 

Tinder Match #2: berwajah kaukasia, nah ini kagak mungkin salah! Gue menyambangi dengan keyakinan penuh untuk menemukan bahwa bocah kali ini.. pindah agama.. jadi Muslim. “Hah, di Indonesia ada orang Katolik juga?” ia bertanya tidak percaya.

 

Sudah jelas kita bukan orang yang dipertemukan Tuhan untuk bersatu. Salah kaprah Cynt. Gue pulang, menghapus aplikasi tersebut dan menjalani hidup selibat hingga kota terakhir sebelum kepulangan.

 

Ohhh kalau gitu sih loe tuh adalah gue yang lain, Gy! Cuma bedanya kalau gue nggak nanggung-nanggung, yang asli dari asalnya sekalian! Ujar seorang teman yang rejekinya selalu dapat lelaki dari jazirah Arab, mau ketemunya di Dubai, di Petaling Jaya apa di Mega Kuningan. Gue langsung mengajukan keberatan.
Sebagai seorang anak Tuhan, tentu gue nggak percaya adanya kutukan, maupun karma atau nasib buruk. Gue yakin konspirasi wahyudi tentang mengapa aplikasi Tinder gue tidak membawa gue pada peruntungan jodoh yang lebih terang adalah akibat dari tren global yang nampaknya sedang berkembang di Eropa: The New Majority.

 

Kalau pergi ke Eropa, tentu bayangan seseorang adalah menemui mayoritas masyarakat kaukasia, dengan hidung mancung, rambut perang, kulit putih dan mata biru. Mereka yang ke Gereja kalau hari Minggu, lalu minum bir makan steak babi.

 

Itu dulu.

Yah, beberapa abad yang lalu lah.

 

Gue sering bertanya-tanya orang Eropa males-males begini, jumlahnya dikit, kok nggak punah-punah. Liat dong imigran-imigran Afrika dan Asia yang buka toko dagang 24 jam nonstop, nggak main tutup pas akhir pekan. Sudah pasti toko mereka lebih laris dan banyak langganan.

 

Ternyata, kepunahan itu memang sedang on the way. Seiring dengan berkembangnya waktu, kaum kaukasia mencapai titik mapan. Semua punya taraf kehidupan yang kurang lebih sama, punya ilmu yang kurang lebih sama.

 

Dan ketika puncak kemapanan sudah diraih,  kurvanya tinggal turun ke bawah. Acuan ilmu yang tertinggi adalah yang dibuat beberapa abad yang lalu. Keren sih, tapi makin lama makin nggak relevan di jaman sekarang. Nilai itu semakin terasa nggak perlu dipertahankan, lalu kemudian benar-benar hilang.

 

Kasusnya di sini, budaya Kristiani. Di zaman susahnya, orang Eropa masih butuh Tuhan. Mereka memilih Tuhan yang gaya budayanya mirip lah sama leluhur, kayak Katolik Roma itu yang dijunjung kaisar-kaisar Romawi macam Konstatinopel.

 

Waktu itu, budaya ini terasa pas, bisa membimbing manusianya menjadi lebih baik, memberi inspirasi untuk perkembangan sekolah seni ala Da Vinci gitu, serta perkembangan ilmu pengetahuan.

 

Lalu setelah semua ilmunya berkembang, jamannya berkembang, budaya jadi terasa nggak pas. Untuk jadi baik dalam budaya Kristiani, tali pernikahan harus direstui Pastor dan tak terputuskan. Padahal masalah hubungan makin banyak. Kalau setelah nikah baru tau nggak cocok gimana?

 

Akhirnya budaya itu makin tidak menjadi identitas suatu etnis. Yang punya anak juga nggak nurunin. Itu kalau masih mau punya anak. Manusianya makin dikit, tanahnya segitu-segitu aja, maka datanglah gelombang imigran membawa kebudayaan mereka yang lagi lucu-lucunya berkembang.

 

Budaya yang dominan pun lambat laun bergeser. Bukannya orang Kaukasia udah nggak banyak lagi di Eropa, tapi jumlahnya sudah makin seimbang dengan pengusung budaya non-kaukasia. Dan yang tersisa, sudah tidak lagi mengidentifikasi diri mereka dengan budaya kaukasia, memberi kesempatan budaya lain untuk berkembang jadi dominan.

 

Jangan heran, jika dalam beberapa dekade dari sekarang budaya timur tengah dan Afrika utara lah yang mendefinisikan benua Eropa. Siklus budaya seperti ini sudah pernah kejadian, pas zaman Ottoman dulu, lalu muter lagi ke zaman Romawi.

 

Bahkan kedatangan gue ke benua Eropa juga untuk menjawab keresahan yang sama. Bagaimana jika suatu hari nanti, masyarakat yang tadinya minoritas, jumlahnya sedikit, awalnya suka diteken en disentimenin, menjadi mayoritas di tanah tersebut?

 

Akankah mereka balas menindas masyarakat ‘pribumi’ Eropa yang kini jadi minoritas? Akankah mereka bisa punya nasionalisme yang sama terhadap negara yang dibentuk atas dasar budaya orang lain? Jika bisa, bagaimana caranya untuk membentuk manusia-manusia yang seperti ini?

 

Membawa refleksi perempuan Jawa-Betawi-Arab-China yang yakin banget adalah Indonesia, gue bisa berteori bahwa asimilasi memang dimudahkan jika budayanya serupa. Seperti imigran dari Vietnam dan China bisa tinggal bersisian dibandingkan imigran dari Timur Tengah yang membentuk komunitas sendiri.

 

Namun jikapun tidak serupa, kesadaran akan ‘penerimaan’ lah yang bisa membantu.Semakin besar penerimaan masyarakat di sekitarnya terhadap seseorang dengan budaya yang berbeda, semakin besar kemungkinan ia merasa jadi bagian dari masyarakat itu.

 

Kelompok imigran yang masuk klub sepakbola, lalu bisa berprestasi akan lebih mudah mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari negara yang ia bela, daripada kelompok imigran yang tidak mendapat kesempatan sekolah lalu belajar bikin bom dari Youtube.

 

Ah loe mah sensi aja Gy, tiga minggu di Eropa nggak bawa buah tangan! Cetus seorang teman memotong teori panjang lebar gue. Ya, mungkin. Maksudnya, kalau di benua sono gue juga sudah jadi minoritas, di benua mana dong gue bisa mainan Tinder!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *