“Gy! Masa mantan gue uda punya cewe baru lagi! Gue disalip!”
“Oh ya? Kurang ajar! Loe keki dong?”
“Iya lah! Dia bilang dia sayang sama gue, dia bilang dia ga bisa ngelupain gue!”
“BAHH! Dasar cowok! Sok-sok sakit hati! Sok-sok ga bisa move on, tapi begitu ditinggal langsung tancep gas!”
“Bagus, gy! Loe bantu gue menjelek-jelekkan dia! “
“Jangan khawatir! Kalau urusan ngejelek-jelekkin orang, GUE AHLINYA!”
“Mana sekarang CENTILLL banget lagi! Pake foto-foto close-up semua! Pantesan gue di-delete dari facebooknya dia!”
“CARIII anaknya!”
“Awas dia brani ngelawan gue!”
“Beuuhh! Kalau dia brani nyolek eloe, kita colek bibirnya pake strikaan! Biar nyaho!”
Pada saat gue berbicara dengan teman gue ini, gue menyadari, beliau adalah contoh konkret mantan pacar yang baik. Beginilah seharusnya seorang mantan bersikap. Sewot. Galak. Tersaingi. Penuh dendam. Marah-marah. Dan berbahaya…
Awalnya gue adalah pecinta damai dalam kasus permantanan. Gue menerapkan prinsip hormat menghormati saling menghargai pada para mantan pacar, pacar lama pacar baru, maupun pacar baru pacar lama. Dari lubuk hati yang terdalam, memang tidak pernah ada niat untuk menguntit kekasih yang telah berlalu, atau mengusik bahtera yang baru dibangun. Simply karena gue pemalas.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukan damailah yang mendatangi hidup gue, melainkan para pacar baru mantan pacar, yang meski tak kenal akrab tiba-tiba muncul sebagai BEST FRIEND FOREVER, lengkap dengan segala detail kehidupannya yang kurang signifikan bagi hidup gue (orangnya saja kurang signifikan), yang disajikan dengan nada pamer dan menjatuhkan lawan bicara (yaitu: gue).
Berusaha tetap menjaga perdamaian diantara bangsa-bangsa, gue berpikir positif bahwa hanyalah sebuah kebetulan jika sang pacar baru memiliki krisis kepercayaan diri hingga merasa terancam oleh seseorang yang tidak mengancam.
Tapi ketika hal ini diulangi oleh pacar baru mantan pacar dari masa yang lebih purba lagi, barulah gue menyadari, benar kata Hobbes, manusia memang homo homini lupus; serigala bagi manusia yang lainnya. Pilihannya adalah memakan atau dimakan. Dan dalam hubungan antara pacar baru-mantan pacar, sangat banyak alasan untuk saling merasa insecure dan menyerang lebih awal untuk mengamankan posisi.
Sifat gue yang berdiam diri malah dianggap sebagai sifat kalah dan menyerah, yang kemudian dimanfaatkan oleh para pacar baru mantan pacar gue sebagai alat untuk meningkatkan ego dan kepercayaan diri dengan menindas, mencela-cela dan meneror gue.
Hal ini tak akan terjadi jika gue sejak awal telah bersikap sebagai mantan pacar yang diharapkan di dalam masyarakat. Teman gue tadi tidak bakalan diancam balik oleh si pacar baru yang centil. Konsentrasinya pasti terpecah untuk aksi menyelamatkan diri!
The best defense is offence. Berangkat dari kepercayaan ini, gue membuat daftar tips menjadi mantan yang baik, yang tentunya akan segera gue praktekkan:
- Ikut kursus golf meski tak berbakat olahraga HANYA karena mantan pacar hobi golf, bergabung di tempat fitness yang sama meski keanggotaan masi untuk setahun, pindah kantor ke gedung yang sama meski harus turun pangkat, berteman akrab dengan ibu, saudara perempuan dan para sepupu. Pokoknya gue akan muncul dalam setiap aspek kehidupan kalian, mencari setiap kesempatan berkompetisi secara sah maupun tak sah.
- Menyiapkan hadiah-hadiah mungil setiap minggunya, seperti:
- Puisi dan lirik lagu (yang dinyanyikan dengan iringan gitar di muka rumah) dengan bagian refrain semacam: Kau renggut dia dari diriku, kau campakkan segala kenangan dalam benaknya, apa sebaiknya kurebut kembali dia dari dirimu? Agar hancur segala hatimu seperti aku dulu…ya ya..seperti aku dulu *cengkok Melayu ala ST 12 atau mellow ala D’Masiv*
- Bom Molotov ukuran tangan atau jam weker dengan kartu berucapkan: It’s time to return back what’s mine.
- Seperangkat pisau. (sudah jelas)
- Menuliskan dalam blog yang dibaca umum tentang Kode Etik Permantanan, dan mewajibkan setiap pacar baru menggunakannya sebagai acuan dalam bertindak. Kelalaian dalam memahami kami, para mantan, dari etika ini akan berbuntut terjadinya pasal satu dan dua (tersebut di atas). Yaitu bahwa kami:
1. Tidak, kami tidak ingat ultah mantan pacar kami. Gue bahkan sering lupa tanggal lahir temen baik gue sejak SD. Gimana gue harus mengingat hari ulang tahun the insignificant others? Jadi kalau ada kartu ucapan, sms, telpon, e-card, surat cinta dan sejenisnya, itu bukan dari gue. Juga bukan dari orang tua maupun sodara gue. Percayalah mereka tidak segemar itu pada pacar kalian saat ini. Sangat dihargai jika berlandaskan asas ini tidak perlu cemburu dan marah-marah.
2. Tidak, kami tidak ingin tahu kamu pake mobil apa, atau tentang straight A yang didapatkan semester lalu, atau besarnya gaji dan jabatan saat ini. Kecuali kami dibagi gajinya dan diajak naik mobilnya, maka sebaiknya kami tidak perlu diberitahu secara khusus. Kalau ingin bersaing, marilah kita ciptakan takaran yang bisa diukur, misalnya dengan bersekolah di tempat dan kelas yang sama, lalu dilihat siapa yang ranking satu. Atau bisa juga mengambil tes bertaraf internasional seperti IELTS atau TOEFL. But then again, bukan gue yang punya keraguan terhadap diri sendiri sehingga harus membandingkan dan mencela orang lain. Kenapa kami harus meladeni kamu?
3. Kami memang diajarkan untuk tidak membeda-bedakan dalam mencari teman, tapi berdasarkan kode etik yang lain, yaitu Aturan Pertemanan, hendaknya dalam mencari teman dilandasi rasa saling percaya dan nyaman, bukan oleh kesamaan mantan pacar. Jadi jika kami tidak mau jadi teman kalian di Facebook, atau tidak merespon tegur sapa di dunia maya, tidak perlu tersinggung tidak perlu maksa, kami hanya sekadar tidak bisa menemukan kecocokan diantara kita…
4. Dipikir-pikir lagi, pacar baru kalian BUKAN mantan pacar kami. Dan kami juga bukan mantan pacar satu-satunya. Saran gue, carilah mantan pacar yang lain, yang lebih cantik, kaya, dan berkepribadian luhur. Mungkin akan lebih menantang untuk bersaing dengan beliau. Intinya, jangan colek kami!
Jadi…pilih yang mana? (dengan nada mengancam)