Overheard in Singapore

Gue pernah tinggal selama 4 tahun di Singapur, dan setelah itu masih mengakrabi negeri tersebut beberapa bulan sekali. Tapi gue masih sering terkejut-kejut kaget mendengar percakapan dengan asumsi Uniquely Indonesian. Kaget-kagetan itu membuat gue tidak bisa merespon secara tepat saat itu. Sebagai penebusan rasa bersalah karena gagal menjadi duta bangsa yang menjelaskan lebih jauh tentang Negara junjungan kita semua ini, maka gue pun bermaksud menjelaskannya, disini saja…

  1. Semua WNI bernama belakang Bin Laden, atau M Top.

Man in the club: So you used to live here, but prefer to stay in Jakarta?

Margie: Ya, kind of…

Man in the club: But Indonesia got terrorist!

Margie: I am one.

Ketika teroris kawakan Singapura, Mas Selamat Kastari kabur dari penjara, seluruh warga Singapura dikirimi SMS yang mengumumkan berita tersebut, sekaligus himbauan agar lebih waspada. Kecuali gue. Padahal sebagai penduduk yang punya nomor telpon +65, gue pun harus diajak membantu pengamanan Negara. The joke was: Keluarga dan istri ga perlu dikasi tahu…

Gue sebenarnya mahfum dan terbiasa menerima remark semcam itu, mengingat  sebanyak itu jumlah bom meledak di Indonesia. Seandainya gue disuru ke Afganistan-pun gue langsung mengkeret, membayangkan hukum cambuk dan rudal dan ranjau darat yang meledak sepanjang jalan dari Airport. Padahal mungkin itu karena gue penonton sejati media saja. Memang tidak pernah diceritakan tentang keelokan gurun Afganistan yang penuh hewan eksotis.

Tapi coba menalar lebih lanjut soal kebangsaan di era globalisasi ini. Di negara seperti Singapura, warga dari berbagai daerah lain juga berkumpul dan mencari nafkah. Tapi bukan berarti semua yang tinggal jadi satu keluarga besar yang harmonis. Jadi, bukan karena Bin Laden dan M Top sempat bekerja di Indonesia, mereka kemudian menjadi bersaudara dengan 210 juta warga Indonesia lainnya. Tolong jangan ajarkan gue bahwa tindakan teroris itu adalah bodoh dan merugikan. Of all the people, we, Indonesians, should know it better!

  1. Indonesia berbahasa satu bahasa Indonesia, beragama satu agama…

Ah lian: Offer her or not? Offer her or not?

Ah beng: Don’t lah! Cannot eat what?

Margie: What can’t I eat?

Ah lian: Ah, Margie, sorry ah,we want to give you this, but you cannot eat leh, it has yah, that meat inside, not  allowed, right?

Margie: I can eat, what…

Ah Beng: Eh, we thought you’re…

Margie: What?
Ah beng: Never mind! Never mind! Always thought all Indonesians are..well..

Margie: Which desk were you before? Political?

Ah Beng: I KNOW! I KNOW!

Kulit gue kuning. Mata gue sipit. Di Bali, tukang pijat memakai bahasa Inggris jika berbicara karena mengira gue orang SINGAPURA. Jadi nampaknya bukan faktor rasial yang diperhitungkan saat mengambil asumsi tentang agama gue, melainkan paspor hijau bergambar burung garuda.

Sebenarnya ini tak terlalu mengganggu hidup gue selama empat tahun dan lebih itu. Tidak banyak diskriminasi yang terjadi karena salah cetak detail KTP. (kecuali bahwa gue kehilangan kesempatan makan kue bulan buatan Raffles Hotel secara gratis dan dikucilkan dari pesta babi panggang). Tapi lebih karena tokoh dalam percakapan adalah wartawan politik koran nasional, yang, jika dia tak tahu apa-apa sekalipun, minimal harus paham kondisi sosial politik Negara tetangga: Indonesia, Malaysia dan Filipina.

Jadi sangat ganggu, bahwa bahkan sekadar fakta bahwa Indonesia adalah Negara beragama bukan Negara agama, dan mengakui 6 agama, tak dipahami oleh seseorang yang bekerja sebagai informan masyarakat. Atau bahwa informan masyarakat itu tidak memahami geografis Negara bisa dibentuk oleh batas wilayah usai penjajahan, oleh sekelompok orang yang berlatar belakang sejarah serupa. Oleh karena itu, keragaman budaya bisa saja terjadi dalam satu teritori!

  1. Your English is not bad, for an INDONESIAN

Kenalan baru: You are the first Indonesian girl that I befriend with.

Margie: Because you’re afraid that we’ll bomb you?

Kenalan baru: Not like that, it’s just that i might not understand them

Margie: Why not?

Kenalan baru: Well, I speak English

Margie: Are you sure it’s English?

Mereka menyebutnya Les Inggris, dimana kami diajar berbagai grammar, memperkaya vocabulary dan melakukan conversation. Lagian di Indonesia, Dawson’s Creek dan New Kids on The Block tidak dilarang. Di tambah, gue sekolah jurnalisme dalam bahasa tersebut di Negara Anda. Jika Anda berbicara pada lebih banyak orang, rasanya nggak akan terlalu aneh menemukan orang Indonesia yang ternyata bisa bahasa Inggris. Or maybe you just always meet the wrong person…

  1. Peta Indonesia di mata dunia (daerah lain dihilangkan karena jarang masuk berita. Kutub Selatan lebih sering diasosiasikan dengan Indonesia karena terkesan jauh dan isolated)

Mbak Editor: Margie, is your family all alright after the quake in PADANG?

Margie: No, I’m from Jakarta.

Teman-teman begitu prihatin ketika melihat asap kebakaran hutan Riau menyumbat hidung Merlion yang malang. Mereka membayangkan nasib gue di Jakarta; pasti hitam legam dan langsung TBC.  Gue diam saja meski itu adalah pertama kalinya gue merasakan dampak kebakaran hutan di INDONESIA.  Daripada terkesan mengekspor polusi udara tanpa terkena imbas!  Meski dalam hati terkikik menyadari fakta  pergerakan arah angin dan bahwa Riau lebih dekat ke Singapura daripada ke Jakarta. (Dan berarti, Indonesia sangat luas.)

Tapi tetap saja gue prihatin dengan peta buta rekan se-benua. Mbak editor yang bertanya tahu benar seluruh keluarga gue tinggal di Jakarta.  Kalau kurang lengkap, ia tahu benar darah Sungai Musi tak pernah mengalir dalam tubuh gue. Tapi memang dalam petanya, Padang terletak di Tangerang, 45 menit dari Jakarta kalau nggak macet. Padahal kalau sungguh gempa yang berpusat di Sumatera terasa kencang di Jakarta, mungkin Singapura sudah tercabut dari peta…

So let’s get the facts right: Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang membentang dari 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan, 95 derajat Bujur Timur hingga 141 derajat Bujur Timur. Ada sekitar 17.500 pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke, yang dibagi menjadi 3 daerah waktu. Apa yang terjadi di satu daerah, belum tentu dirasakan oleh daerah lain!

Sebagai seseorang yang bangga menjadi sombong, reaksi gue ketika mendengar pernyataan kaum ignorant itu lebih banyak ketawa. Mengasihani pengetahuan umum bangsa yang secara ekonomi lebih maju dari bangsa tempe. Tinggi hati karena mampu mengusai pelajaran geografi dalam kurikulum dengan sempurna. Gue bahkan masih paham bahwa Afrika itu benua, bukan Negara.

Tapi sebagai yang sombong, gue sebenarnya masih kurang PEDE. Tak ada asap tanpa api, kata orang. Indonesia dikenal sarang teroris, karena memang banyak teroris yang dibiarkan berkawin-kawin dan beranak pinak disini, literally.

Dan memangnya salah jika aspek multikulturalisme tak pernah didengar negri tetangga? Kenyataannya, memang selain Bali, budaya, tradisi, dan nilai toleransi memang masih jarang dibangga-banggakan bangsa ini. Jangankan tradisinya, daerah mana yang berkembang merata dan masuk brosur pariwisata? Nggak pernah kedengeran tuh!

Semakin memprihatinkan, karena gue tidak mendengar hal ini di Amerika atau Antartika. Ini Singapura, Negara mungil yang sangat bergantung pada kerjasama dengan Negara lain. Kalau orang Singapur aja, si little red dot, tetangga terdekat, tidak mengenal Indonesia, siapa dong yang sebenarnya kenal? Mungkin emang nggak ada ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *