I was cursed.
Dalam sebuah dialog antar umat beragama, gue bertemu dengan seorang pemuda Minang beragama Islam. Dalam kesempatan itu, gue mengemukakan keyakinan bahwa orang dengan agama dan suku yang berbeda dapat hidup berdampingan.
Keyakinan gue kemudian diuji ketika pemuda tersebut menawarkan untuk menjalankan hubungan pacaran. Ia berhasil membalikkan semua kata-kata gue. Karena gue tidak menemukan alasan untuk menolak, maka ya sudah gue terima saja.
Sepanjang yang gue ingat, pemuda ini tampan, tinggi, anak orang kaya, pintar dan anak basket. Lagipula gue tidak mungkin menelan kata-kata gue sendiri bahwa pluralisme akan memperindah hidup blah-blah.
Satu bulan kemudian, gue bertemu dengan pria lain, kebetulan seorang Cina dan Katolik, yang benar-benar gue taksir. Segeralah gue berpindah hati. Tentu saja pemuda ini sakit hati. “Jika aku bukan Islam, dan bukan Padang, apakah aku akan berlaku seperti ini ke aku?” cetusnya keras.
Gue, tidak ambil pusing menjelaskan bahwa terlepas dari segala kelebihan yang ia miliki, gue memang tidak jatuh cinta. Lagipula, benar juga. Waktu itu gue masih belum berusia 17 tahun. Malaslah gue berjuang melawan orang tua dan dunia demi cinta dan idealisme atas hubungan yang toh masih jauh banget ujungnya.
Lalu terucaplah kutukan itu, “semoga nantinya kamu akan jatuh cinta sama orang dari suku dan agama yang berbeda sama kamu, yang nggak mau memperjuangkan kamu, sehingga kamu bisa merasakan akibat perbuatan kamu ke aku.”
Waktu berlalu dan hingga kini, lelaki yang kemudian juga jadi mantan itu adalah satu-satunya pacar Cina dan Katolik yang pernah gue punya. Entah mengapa, ke manapun gue pergi, nasib selalu membawa gue pada pemuda Minang, yang tentunya seorang Muslim.
Dan sebanyak pria yang berhasil meyakinkan gue untuk melawan dunia dan menunjukkan bahwa keberagaman itu indah, sebanyak itu pulalah gue ditinggal dengan alasan mendasar, bahwa gue: 1) katolik, 2 ) Cina. Sebuah alasan yang dari awal juga udah ada di sana, hanya waktu itu, mereka belum punya opsi lain.
Begitu seringnya, hingga di pengalaman terakhir gue langsung berucap, “Tuh, kan, gue bilang juga apa! Ini pasti kejadian!” Gue tidak mau percaya kutukan. Tapi tidak bisa tidak, setiap kali pengalaman sama berulang, ucapannya 12 tahun lalu kembali terngiang.
Lalu gue dalam sebuah perjalanan gue menemukan peluang bisnis. dapet klien besar, potensi untung melipat-lipat, dan supplynya hanya bisa dipenuhi dari Sumatra Barat. Lebih buruk lagi, bahkan ketika hompimpah-yang-kalah-jaga, gue keluar sebagai orang yang harus mensupervisi kegiatan produksi di area tersebut untuk pengiriman pertama. Parahnya, bisa sampai 8 bulan dalam setahun.
Padahal, menurut terawangan gaib, jodoh gue datangnya dari Barat, dan akan ada dalam usaha yang sekarang gue jalankan.
Kali ini, gue yakin gue benar-benar dikutuk.
Belum pernah seberat itu gue travelling. Usaha yang gue jalankan terhitung keras, nggak cocok buat perempuan. Apalagi, di lokasi tempat usaha ini. Sudah tidak terhitung perusahaan yang bangkrut di hari pertama gara-gara ditipu di sini.
Benar saja. Gue mengalami apa yang gue harus jalankan dalam hubungan-hubungan gue sebelumnya: Dijanji manis, dimanipulasi, disuruh pindah agama.
Hampir setiap hari gue tidur hanya sekitar 1.5 jam saja. Barang yang dijanjikan datang jam 11 malam, baru datang jam 6 pagi. Setiap jam ditelponin, bilangnya selalu ‘sebentar lagi sampai’. Gue berakhir makan nasi goreng dan minum teh talua jam 4 pagi. Yang kurang tinggal main gaple sama ngeronda.
Yang janjinya tutup kontainer jam 5 pagi, orang yang buka kontainer baru datang jam 5.30. Pake salah nempel stiker tujuan dari HongKong jadi Kuala Lumpur. Otomatis sambil loading gue sambil ganti stiker.
Ketika gue ngamuk sama anaknya yang punya kebon “Abang jangan PHP-in saya lagi! Saya tuh udah sering di-PHP-in sama orang Padang!” beliau menjawab, “Kak, kami memang suka terlambat, tapi kami pasti tepati janji kami suatu hari nanti!” Rasanya pengen gue balas, “BASIK! Madingnya uda keburu terbit!”
Heran mengapa gue punya banyak foto-foto wisata sampai Lembah Harau? Sepele. Gue kadang harus kabur-kaburan guna menghindari pengeluaran ‘tak terduga’. Bukan untuk ditilep sebenarnya, tapi sekadar agar gue tetap pada rencana semula, 8 bulan berada di sana.
Dan gue selalu terlibat dalam pembicaraan yang kurang nyaman, ketika setiap kali gue bilang, “Pak, mau izin ke toilet,” dijawab, “Oh, mau sholat?” Hingga tetua adat keluarga datang, berbicara bahwa gue mengingatkannya pada menantunya, yang juga Cina, sekolah di Singapur, dan jadi pengusaha bidang yang sama. “Dia masuk Islam…Memang begitu kan ya harusnya, istri mengikuti akidah suami.”
Begitu statementnya lalu dibiarkan menggantung, diminta gue mengisi titik-titiknya. Dalam hati gue berpikir, ya elah, ini gue mau dagang aja pakai harus pindah agama?
Saat itu gue berpikir, masa iya pengalaman gue 12 tahun ke belakang ini nggak ada hikmahnya sama sekali? Pasti ada celahnya! Gue kemudian mengubah kondisi yang kurang menguntungkan ini dengan menciptakan hashtag baru yang langsung menyebar secara viral ke seluruh Sumatra Barat.
#MANTANPACARSAYAORANGPADANG. Semakin menguntungkan, ketika gue memperbaiki hashtag menjadi #mantanpacarsayaSEMUANYAorangpadangdansaya SELALUdiputusin
Harga barang-barang tiba-tiba jadi murah. Selisihanya bisa sampai Rp. 5.000,-. Minum kopi bisa dikorting, bahkan hampir gratis. Surat perizinan mulus. Ada yang nawarin tanah 1 hektar, bisa pinjam mobil, dan jasa-jasa lainnya.
Selalu ada tatapan rasa bersalah atas perbuatan rekan sedaerah mereka. Lalu kemudian muncul tanggung jawab untuk memperbaiki impresi gue terhadap orang Minang. Sehingga ke manapun gue pergi, gue selalu berusaha menyelipkan hashtag ini dalam pembicaraan sesingkat apapun.
Memang sih, gudang jadi rame. Mulai dari kelas Samsul Bahri hingga Datuk Maringgi banyak berdatangan dengan baju rapi jali. Kadang gue bertanya-tanya mengapa ini ke gudang aja pada kece-kece amat dandanannya. Apa karena naksir sama si mamih yang dikira kakak gue, berkat foto whatsapp yang tersebar ke seluruh desa?
Berkat ‘kutukan’ ini juga, gue mendapatkan kesempatan yang mungkin tidak akan gue dapatkan di daerah lain sebagai pendatang. Memang benar kata orang, gue bakal ditipu, digilas, dikerjain habis-habisan sebagai perempuan, cina, katolik, muda dan tidak berpengalaman. Tapi tidak berarti gue akan mati. Karena ketika gue dikerjain, gue tidak membalas dengan kekerasan, atau adu santet. I survive with what I can do best, akal-akalan dan berkoalisi.
Ketika supply logistik kami ‘diboikot’ perusahaan saingan, adalah orang yang dikenal sebagai preman Payakumbuh, masih sodara sama rampok lintas Sumatra, yang membantu merebut kembali dari gudang tetangga.
Ketika oknum di ibukota menganjurkan agar eksportir membayar pajak ke Malaysia, adalah karantina Padang yang meloloskan barang membawa nama Indonesia hingga ke negara tujuan.
Ketika kami terancam tidak memiliki stok barang yang cukup, adalah para pengusaha pesaing yang membagi barang, sambil menitip pesan agar barang ini tolong jangan sampai diakui jadi milik negara lain.
Ironisnya, suku, yang paling terkenal urusan ‘manipulasi’, ‘nipu’, dan ‘bengkok’, dan sebisa mungkin gue hindari dalam hidup, adalah yang paling ingin melihat gue berhasil.
Kadang, kita memang tidak bisa mengandalkan apa yang kita lihat secara kasat mata, sebagai sebuah kebenaran. Seperti kata pepatah, orang yang tersenyum ramah dan berkata manis mungkin adalah mereka yang menusuk dari belakang, Sedangkan mereka yangbadannya tertutup tato dan penuh luka berantem mungkin adalah orang tertulus yang mendukung gue.
Meski ya, kalau bisa, yang ngirim kutukan, tolong lah, jangan lupa dilepas.. ini udah taon berapaa…Sebaik-baiknya, kalau bisa sih, jangan dari situ lagi…