Renungan Ulang Tahun: Edisi Baru Belajar Astrologi

Gambaran grafis berdasarkan detail kelahiran seseorang ditampilkan di dalam kelas astrologi siang itu. Wajah-wajah para murid berkerut, membaca apesnya pemilik birthchart.

“Cacat dari lahir, ya?” tebak seorang murid.

“Apa orangnya masih hidup?” Tanya seorang murid yang lain. 

Bu Guru hanya tersenyum, “masih, dan ada di antara kita, coba, tunjuk tangan, birthchart siapa ini?” Gue, cengengesan seperti biasa, mengangkat tangan. Ruangan penthouse apartemen di bilangan Jakarta Selatan itu tiba-tiba terisi gemuruh bisikan. Gumaman kasihan, yang disertai tatapan tidak percaya. 

Bagaimana mungkin, seseorang yang begitu digandrungi penyakit dan kenaasan, bisa bertahan hingga usia dewasa, punya perusahaan sendiri, menulis tujuh buku, keliling puluhan negara,  belajar astrologi pula. Sambil ketawa-ketawa.

Lah jangankan mereka, gue aja kadang heran kok.

Dua Garis Biru Tanpa Pilihan

Ke klinik aborsi naik bajaj

 

Demikian ‘tantangan minggu ini’ yang gue terima. Entah apa yang membuat gue berpikir sekolah di SMU unggulan yang ekskulnya segabreg sebagai kurang sibuk dan menantang, sehingga ikut kegiatan uji nyali bersama beberapa teman beda sekolah yang sifatnya adalah kurang kerjaan dan nirfaedah.

 

Tapi melewatkan tantangan adalah sebuah bentuk kepengecutan dan berakhirlah gue menghampiri satu bajaj di sebuah deret jalan di Jakarta Pusat yang dikenal pada dekade lampau sebagai ‘area klinik aborsi’. Mungkin sekarang juga sik.

Kisah Retina yang Lepas (bonus FAQ!)

“Hah retina bisa lepas?”  Ya sahabat awamku, bisa… namun gue memahami kekagetan kelean semua karena demikian juga pertanyaan gue pada pak dokter sore hari itu. Dan meski info terkait ablasio retina (caileh! Istilah baru! Padahal baru gugel bulan lalu!) ini sudah mulai banyak, tentu masih banyak yang memilih jawaban dari first hand experience, maka gue akan membuat posting FAQ sesuai trending topic instagram..

Bukan Kreativitas, Inilah Kunci Sukses Sebenarnya!

“Nyet, kasi tau dong, apa rahasia sukses bisnis loe!”

“Nggak ada, juga nggak sukses-sukses amat.”

“Tapi pasti loe melakukan sesuatu kan, sampai loe ada di tahap yang sekarang? There gotta be some criteria, some skills, yang bisa dipelajari!”

“KAGAK ADA!!Loe serius amat sih kayak peserta workshop pengembangan diri!”

 

Gue menyanggah kencang. Sebagian karena harus melawan musik pop-rock di Irish bar mungil itu. Sebagian, karena setelah panjang kali lebar gue menjelaskan tentang bagaimana kami merintis Javafresh, teman gue ini nampaknya belum ngerti juga, bahwa,there is no secret ingredients! Kita cuma gak punya pilihan selain terus ngotot jalan! 

 

Or… is it.. THE secret ingredients?

Pilih Gompal tapi Natural apa Cantik tapi Hasil Suntik

OMG, What did I just swallow?

 

Sesaat sebelumnya… kami berada di sebuah rumah kemas manggis di daerah Thailand Selatan. Seperti tradisi di rumah kemas manapun, kami langsung disodori manggis oleh pemiliknya. Dibuka satu-satu. Memang dasarnya suka makan dan doyan manggis, gue menyambut baik tawaran dengan melahap sebanyak-banyaknya.

 

“MMM.. enak-enak!” Gue menjawab rakus, menerima lagi potongan demi potongan manggis yang telah dibelah. Lagipula, gue tidak tau bagaimana caranya menolak dan bilang ‘cukup’ dalam Bahasa Thailand.

 

Puas makan manggis, kami diajak ke perkebunan manggis yang baru dipanen dan kita santap barusan. Barulah kami melihat, pohon manggis, di bibir pantai, tumbuh di tanah pasir merica. Iya, yang kayak di Lombok Barat. Pohonnya ranum dengan satu tangkai bisa berisi 10 butir lebih. Katanya kemarin habis diterjang badai topan, tapi tidak ada satu butirpun yang jatuh.

 

Padahal manggis secara natural hidup di dataran tinggi, sekitar 600-800 meter di atas permukaan laut. Tanahnya biasanya jenis litosol, semacam tanah vulkanis yang subur. Untuk tumbuh dengan kondisi jauhh dari alam naturalnya pasti diperlukan banyak rekayasa, genetika dan kimiawi.

 

Sesaat gue langsung teringat camilan manggis yang baru gue santap itu. Mana banyak banget.

Sebuah Perasaan Irasional Bernama Nasionalisme

“Kalau dulu kita yang menyeberang ke Timor Leste untuk foto-foto, sekarang gantian, mereka yang menyeberang kemari, lebih bagus di sini sih!” ujar seorang warga Atambua sambil tersenyum bangga, memamerkan sederet gigi putih khas senyum di pulau itu.

 

Pos perbatasan Timor Leste- Indonesia di Atambua itu memang mentereng. Bangunan masih berbau cat macam sofa yang belum dibuka pastik pembungkusnya. Satu kompleks menyerupai Jogja City Mall.

 

Jadi kontras dengan pos milik Timor Leste yang meski bangunannya layak, tapi bergaya tradisional sehingga lebih sederhana. Padahal, empat tahun lalu kebalikannya. Pos Indonesia lebih mirip tenda warung soto Lamongan pinggir jalan.

Matchmaking Contest

“Gy, kasi ide dong! Ini gue lagi ketemuan ama cowo yang dijodohin, garing banget! Mana gue cuma makan bakmi bayar sendiri terus mau nonton masih lama die maunya nunggu di tukang bakmi aje!”

 

“Dih, loe apaan sih, uda pegi aja lah, bilang loe lupa mau ke gereja!”

“Yee mana bisa! Jelas-jelas tadi dia jemput gue di Gereja!”
“Ya udah bilang kek, rumah loe korslet, tadi lupa cabut setrikaan, baju loe kebakar, ketiup angin, nyamber kompor, apa kek!”

“Duh, untung ini masih trial, gue kagak mau dah sama mak comblang yang itu, gak bakal balik modal!”
“Eh, gimana?”

Usut punya usut, lelaki yang ditemui sang teman adalah buah perkenalan dari seorang Mak Comblang. Ya, di era milenial macam ini, jasa perjodohan ternyata masih laris. Bahkan bukan Cuma laris, tapi juga MAHAL. Untuk tiga perkenalan, Mak Comblang menawarkan paket tiga juta rupiah.

 

“Udah deh kenapa sih, bukannya yang gratisan aja,” gue menyarankan pada Tinta.

“Lah loe kagak liat tuh Tinder isinya kayak apaan sekarang? MAS-MAS semua cuy!”

 

Gue manggut-manggut. Gue memang sudah tidak update dunia dating apps. Sejak terpaksa cuci gudang banyak aplikasi supaya storage iPhone masih bisa digunakan untuk hal-hal fungsional seperti email dan whatsapp. Dan karena menurut gue Candy Crush Saga lebih setia menemani malam-malam dingin dibandingkan cowok-cowok yang gue temui di Tinder, maka gue memutuskan menghapus Tinder saja.

 

Namun kegigihan Tinta ikut biro jodoh membuat gue terpicu untuk mengorbankan aplikasi kurang terpakai seperti Microsoft Word, untuk kembali mengunduh satu aplikasi perjodohan. Gue dan Tinta pun membuat ulasan beberapa aplikasi yang layak memakan storage tersebut:

Waktunya Hamil, Girls!

“Keluhannya apa, Mbak?” tanya Pak Dokter simpatik pada Jeung Wi, seorang teman.

“Mual-mual, sama kadang muntah Dok,” jawab Jeung Wi

“Ohh.. kita tes kehamilan ya?” Pak Dokter menawarakan.

“Nggak usah Dok, saya nggak hamil kok,” jawab Jeung Wi yakin.

“Ahh, nggak apa-apa, sudah umurnya kok,” Pak Dokter meyakinkan.

“Ya tapi saya nggak mungkin hamil, Dok!” Jeung Wi ngotot.

“Ahh, nggak apa-apa, nanti kalau hamil saya bantu deh ngomong ke orang tua!”

“Dok, saya tuh terakhir ML 3 bulan yang lalu!” Jeung Wi makin kesal.

“Ahh, nggak apa-apa, kalau ternyata hasilnya negatif saya yang bayar deh tesnya..”
Tidak tahu mau berkata apa lagi, Jeung Wi menyerah pada tes kehamilan. Dan karena Jeung Wi bukan sebangsa hemaprodit, hasilnya negatif.

 

Ketika menceritakan pengalamannya, kami semua tertawa terbahak-bahak.

“Gue rasa ini gegara film-film Indonesia deh, kalau ada apa-apa, pastiii buntutnya hamil! It’s like you can’t miss a single intercourse without being pregnant,”  komentar seorang teman, mengacu pada referensi budaya. Hal ini menyebabkan dokter-dokter Indonesia selalu menawarkan tes kehamilan pada pasien perempuannya yang sakit mual-mual.

China Renaissance

Gue melenggang di trotoar selebar lima meter, sambil menikmati sate ampela ayam bumbu pedes sepanjang 30 cm seharga 10 ribu Rupiah. Di kiri dan kanan, berjejer gedung-gedung pencakar langit berisi hotel mewah, pusat perbelanjaan dan perkantoran. Sepeda mengantri sabar di jalur khusus sepeda. Sedangkan Bentley, Jaguar bergaul dengan Wuling berhenti tertib di zebra cross ketika gue menyeberang.

 

Gue mengarah ke Stasiun MRT super modern yang bersih kinclong bak baru disikat Sunlight. Turut mengantri tertib seperti warga lainnya, yang semuanya tampil trendi dengan baju bermerk keluaran terbaru, warna-warna pastel, putih dan hitam. Sebelumnya, tentu gue sudah membuang sisa tusuk sate ampela tadi di tempat sampah khusus yang memisahkan sampah organik dan non-organik. Tidak ada yang salah buang, tidak ada yang buang sembarangan.

 

Tidak, gue tidak sedang berada di Singapura negara tetangga pujaan kita semua itu. Apalagi di kota-kota di Eropa yang kejayaan masa lampaunya semakin luntur. Gue di Guangzhou, salah satu kota di China. Demikian juga pengalaman gue ketika berada di Beijing, Shanghai, atau bahkan kota-kota sekunder mereka seperti Xian dan Shenyang.