Pelacur juga manusia

Suatu siang di kantin, gue dan dua teman gue Mas W dan *v*n mendiskusikan pekerjaan impian. Menurut *v*n yang sarjana elektro, pekerjaan yang paling ideal itu adalah di kilang minyak, bergaji 4500USD perbulan bersih karena rumah ditanggung. Menurut Mas W, itu kurang ideal karena kerjanya di ujung dunia. Kalau di Consultant, kerjanya cuma ngomong basa-basi dapet ribuan dollar dan tinggal di tengah kota. Menurut gue, itu tetap ga seideal kerja jadi model sekali jepret 1000dolar, ga perlu kerja tiap hari, juga tinggal di ibukota. Tapi kata *v*n, jadi model ordernya tak tentu.

 

Setelah berdebat panjang, kami memutuskan bahwa profesi terideal adalah menjadi high level prostitute. Kerja semalam bayaran ribuan dollar bisa tinggal di service apartment, pekerjaan selalu ada demand-nya, bahkan kerjanya terkadang menghasilkan kenikmatan.

 

Meskipun begitu, tiada salah satu dari kami yang melihat pelacuran sebagai prospek karier. Pelacuran adalah konsep yang tidak riil, tidak dekat dengan kehidupan, hanya eksis dalam guyonan. Tidak nyata, sampai ketika gue tinggal bersama makluk yang berprofesi sedemikian seminggu kemarin…

 

Gue dilanda feeling buruk ketika tiba di lobby apartment gue yang baru, yang ditawarkan landlord lama karena gue Cuma perlu tinggal sebentar. Seorang pria bule paruh baya sama-sama menunggu bersama gue.

“Sorry, do you know where 20 De**ire is?”
“Just wait, just wait…” katanya sambil memberikan senyuman yang bisa diartikan I know something that you don’t know!

 

Lima menit kemudian muncul seorang wanita ber-hot pants menggiring si pria bule ke atas.

Dolly, this girl is looking for 20 De** ire…”

“I have no idea.” Jawabnya dingin, sambil memberikan gue pandangan yang Cuma pernah gue dapetkan dari se-group pelacur ketika gue ke satu bar dengan teman cowo gue; dikira gue cewe dari bar lain yang merebut client mereka.

 

Setelah mendapatkan kamar gue menyadari bahwa perempuan tadi, Donita, adalah flat mate gue, juga Maria, Soraya, Isabelle dan Pana. Semua keturuan filipin yang bekerja di malam hari dengan rok mini dan dandanan menor. Sedangkan tetangga gue, lima gadis Thailand berdada silicon tinggal diawasi oleh seorang Bouncer. Mengertilah gue; I live with Masters in Bed.

 

Dulu gue bercita-cita tinggal di Grange Road. Sayangnya satu-satunya kerjaan entry level graduate yang bisa membayar sewa 6000sing per bulan adalah High Level Escort. Dengan bayaran 3000 per malam, gue Cuma perlu kerja 3 kali, agar bisa bayar sewa plus 3000 sing per bulan untuk biaya hidup. Dan ketika gue melihat penghuni apartment ini, gue tau, bukan cuma gue yang berpikiran seperti gitu. Tetangga gue juga berpikiran yang sama…dan mewujudkannya. Lokasi yang dekat dengan hotel-hotel bisnis bintang 5 daerah Orchard membuat lantai yang gue tinggali menjadi tempat tinggal lady escorts yang beroprasi di daerah itu.

 

Life must go on. Mau pindah lagi nanggung Lagian meski tersembunyi hingga tidak Nampak dari Orchard, lokasi apartment ini literally sepelemparan batu dari MRT.  Maka gue pun mulai menyesuaikan diri dengan teman-teman baru gue. Perlahan gue jadi terbiasa mengagumi dandanan heboh dan baju ala Julia Perez dengan kerja odd hour mereka. Terbiasa mengagumi G-string dan lingerie renda-renda merah, pink dan hitam menggantung-gantung di ruang laundry. Terbiasa mengagumi mobil-mobil mewah seliweran di depan apartment. Terbiasa, mengagumi pelacur dan dunia pelacuran.

 

Pelacuran is just another business. Gue kagum dengan kerapihan organisasi tempat tetangga gue bernaung. Job scope dan aturan terpahami jelas. Tentunya di front line ada pelacur, dengan waktu kerja yang jelas dan dilarang menerima client di tempat tinggal. Mereka berangkat jam 10 malam. Ada pembantu yang menangani laundry, kebersihan kamar dan mengawasi aturan relasi sepanjang hari. Ada sopir yang bertugas mengantar dan menunggu ketika mereka kerja. Ada bodyguard berbadan gahar yang bertugas menjaga keamanan, menghalau private investigator, istri pemarah dan client posesif. Ia akan masuk ke unit jam 6.45 pagi. Di rantai paling atas, ada si madam…

 

Yang paling bikin gue salut tentunya adalah pribadi pelacur sendiri. Gue yakin, jika dunia ini berevolusi lagi, makluk yang bakal survive menghadapi natural selection pastilah pelacur. Dari segi fisik, ketangguhan badan mereka patut diacung jempol. Mereka bisa tetap tampil prima meski kurang tidur setiap hari.  Belum lagi kemampuan untuk terus tersenyum, sabar, ceria, meski hati keki.

 

Dari segi mental, sudah pasti ga ada yang bisa menandingi pelacur. Hidup yang keras mengasah mereka untuk menghadapi realita dengan realistis, tanpa mimpi, tanpa basa-basi. Ini uda bukan jaman kuda gigit besi; ini jaman kuda gigit kuda! Work or you’ll sleep on the street. In this world, especially in this city, nobody is to help you. Life is a fight. Begitu kata Pana ketika kita lagi ngobrol. Dan ketika dia ngomong, gue tau she really means it. Tapi bukan berarti dia jadi berkeluh kesah setiap saat. Pana lives for today. Ada semangat yang ada dalam Pana dkk, yang ga muncul ketika esmod pulang kerja dengan tampang kucel.

 

Segi mental dan fisik itu mengindikasikan, jika seorang perempuan, berpendidikan, cerdas, cantik, sanggup jadi pelacur, dia bisa jadi apa aja di dunia. Pelacuran adalah dunia yang maha kompetitif dengan angka harapan hidup yang kecil. Gontok-gontokan jadi rutinitas. Belakangan gue baru tahu, perawakan gue yang berkulit kuning tapi kurang cina membuat Donita mengira gue orang Thai-dari gank tetangga, pelacur Thailand saingan mereka. Ditambah gue ngobrol dengan lakinya, menjadi galaklah beliau.

 

Dan yang paling gue hargai dari mereka, lepas dari segala kesulitan hidup survival of the fittest ini, teman baru gue adalah orang paling ramah se-Singapur. Pana dan Maria ga pernah pelit membagi rokok, minuman, dan meminjamkan barang-barang mereka ke gue yang baru dikenal, meski mereka belum dapet job. Donita dan Soraya sering berbagi cerita dan sabar dibagi cerita tiap sore sebelum mulai dinas.

 

Seminggu sebelum gue balik Jakarta, gue mendapati pelacur atau escort atau apapun orang menyebutnya, tidak kalah ‘orang’ daripada pekerja kantoran. Mereka juga bagian dari system, korban dari kejamnya kota besar yang menjual mimpi. Mereka adalah orang yang mempertahankan diri mereka dengan menjual harga diri.

 

Terkadang pas gue lagi nongkrong di ruang tamu, berbagi rokok sambil pake tank top dan celana pendek, cekikikan bersama lima perempuan yang hidupnya bergantung pada ‘pacar’, gue jadi berasa lagi nunggu langganan di gang doli. Tapi ya sudah lah, toh pelacur juga manusia…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *