Akhir-akhir ini gue sering memikirkan hakikat sebagai seorang bitch, eh salah, maxudnya sebagai seorang wanita…lantaran ngebaca comment di blog salah seorang temen gue (cer..hehehe..) tentang masa depan perempuan. Jujur aja, gue rada shock ketika ngebaca pendapat radikal si pemberi comment, yang memperluas pengertian whore-a.k.a pelacur, atau juga kadang-kadang disebut bitch. Gue stuju ga stuju, lantaran kata bitch itu uda overused bgt, tapi sebenernya, bitch itu refer ke apa sih?
Secara jelas, dan belum berubah, pelacur itu adalah wanita penjaja sex. Titik. Lalu dengan kecanggihan jaman, sex itu bukan saja berwujud intercourse, tetapi juga oral, lalu ada escort, lalu ada wanita karaoke, semua kurang lebih masuk kategori pelacuran.
Tetapi tentunya, proporsi perempuan yang bekerja kaek gitu jumlahnya sedikit dibandingkan wanita di sluruh dunia. Padahal kata-kata “dasar perek loe!” atau “You, Bitch!” sering banget terdengar. Semua karena orang semakin memperluas pengertian pelacur itu.
Ada bahkan beberapa yang menyebut ISTRI sebagai pelacur terselubung. Pasalnya, mereka melihat wanita terhormat, ibu kita itu kerjanya hanya melayani suami, menghasilkan anak dan menyediakan makan malam, dan tiap bulan bisa hidup cukup senang tanpa harus bekerja seperti suaminya. Bukankah inti pelacuran adalah menjual tubuh demi uang?-Bahkan jika sang istri bener-bener melakukannya karena mencintai suaminya?
Bahkan kalau istri itu “ngapa-ngapain” pun, bisa disebut pelacur. Ga peduli si istri ini emang kompeten untuk menjadi CEO perusahaan suaminya, lantaran itu perusahaan awalnya adalah milik suami, wanita ini aturannya telah menjual kewanitaannya untuk mendapatkan posisi. Tetapi sungguh sulit gue melihatnya sedemikian, bagaimana jika si istri ini memang lebih cerdas dari suaminya? Kenapa bukan suaminya yang disebut pelacur, lantaran ia telah berhubungan intim dengan istrinya demi mendapatkan CEO yang handal untuk perusahaannya? Melinda Gates, istri Bill Gates contohnya, beliau adalah siswi teladan sebuah sekolah ursulin di Amerika, salah satu lulusan terbaik bidang computer. Seandainya dia tidak menikah dengan Bill Gates, kemungkinan dia sudah punya perusahaan computer sendiri. Tetapi kenyataan ia CUMA jadi istri Bill Gates, ia bisa dikategorikan sebagai pelacur?
Dan sebaliknya, jika seorang wanita sukses kaya raya berselingkuh dengan pria beristri, ia bukan pelacur. Karena ia tidak pernah menjual tubuhnya untuk uang. Ia tidak diongkosi selingkuhan, mandiri dan mapan, membuatnya lebih tinggi artinya dari istri sebenarnya. Bahkan jika menurut takaran etika yang berlaku umum di masyarakat, wanita ini is the real bitch.
Lalu, bagaimana dengan wanita yang berprofesi sebagai fotomodel? Bukankah model itu menukar kecantikan dan keindahan tubuhnya demi kepuasan orang banyak, termasuk agen iklan, penonton dan media?
Setelah selesai photo-session, kadang gue mendapatkan remark seperti, “you are amazing, margareta…” membuat gue ngerasa session barusan bukan sekadar session photo. Bahkan selama pemotretan, komentarnya akan, “Ahh.. yes…YES…oh my god, this is good!” dan disaat itu, apakah gue pernah dapat beasiswa, jadi murid teladan atau bisa 4 bahasa udah bukan hal yang penting lagi. Yang utama adalah badan gue, muka gue, dan gerakan gue. Am I a whore then?-meskipun tidak secuil auratpun yang gue pertontonkan?
Lebih nyebelin lagi kalau berhadapan dengan fotografer sexist, yang remarknya seperti, “Don’t stand like a pageant queen, don’t u know models spread their legs?” Sering banget gue ngerasa males, pengen berhenti, tetapi ingatan akan ancaman hidup sebagai pengangguran dan easy money, mengalahkan harga diri gue. Gue ngerjain sesuatu yang ga segitunya gue suka, nyari duit dengan ngandalin badan dan melewatkan hari-hari gue seneng-seneng dengan duit itu. Udah pasti, sesuai ukuran yang ditetapkan, gue pelacur.
Ya beda dong…sampai seorang model having sex sama produsernya, dia belum bisa dianggap pelacur. Tetapi bukankah meski tidak pake intercourse, escort sudah diitung sebagai pelacur? Selama ia menjual feminitasnya dan sedikit dari bagian tubuhnya?
Lebih jauh lagi, dengan demikian, semua wanita karier adalah pelacur. Bahkan pelacur yang lebih ngeri lagi, karena mereka telah menyerahkan bukan hanya tubuh tapi juga jiwa dan pikiran, membiarkannya diperbudak oleh pekerjaan. Lupa kebahagiaan, lupa sanak saudara dan terkadang lupa kesehatannya, sampai mati demi mengejar penghasilan yang cukup. Apalagi kalau mereka membenci pekerjaan mereka, membuat tidak adanya pleasure dari kerjaan mereka. Sungguh pelacuran yang sangat keji berkedok karier!
Lha kalau gitu, perempuan mana yang bukan pelacur? Jadi istri=pelacur, kerja sendiri=pelacur…Dan bagaimanapun juga, mau dibilang BITCH-Beautiful Intelligent Talented Charming and Hot, atau pelacur itu bentuk pekerjaan yang paling luhur, pelacur tetaplah berkonotasi negatif. Bahkan jika orang-orang dengan bahagia dan tak berdosa sibuk mengumbar tudingan pelacur karena merasa itu bukan hal yang buruk, tanya dalam dirinya, sungguhkah ia mau menerima jika istrinya pelacur dan akan terus menjadi pelacur setelah perkawinan ?
Orang bilang, if everything is something, then maybe that anything is nothing. Intinya, jika semua orang bisa dikategorikan sebagai pelacur, mungkin kata pelacur itu cuma sebuah istilah bentukan manusia dalam dunia yang didominasi lawan jenis saya. Kata pelacur itulah yang telah digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap setiap usaha perempuan untuk mengangkat harkatnya. Dan istilah ini dapat bermutasi maknanya, tergantung bentuk usaha wanita itu.
Di awal peradaban, wanita kodratnya adalah ibu rumah tangga, mengurus anak dan suami. Jika masakannya enak, dan anak pintar, harkatnya meningkat. Tetapi sayangnya, dengan mudah kaum sexist menuduh kontribusi wanita ini sebagai prostitusi terselubung, ngombe sama suami dengan jualan desahan malam.
Ketika era 1950an, jaman feminisme bakar BH, dimana wanita menolak kewanitaannya, berupaya sedemikian mungkin menekan perbedaan biologisnya dengan pria, perempuan yang memakai celana gombrong, rambut cepak dan kemeja maskulin ARE the bitches. Mereka adalah sour spinters yang menekan dorongan tubuhnya demi sekadar emansipasi.
Dan di era femme fatale tahun 70an, pelacurnya lain lagi. Gerakan femme fatale justru menonjolkan kewanitaan mereka. Daripada menekan dan menyembunyikannya, femme fatale melihat feminisme sebagai kelebihan seorang perempuan. Istilahnya bukan pinter tapi sayang perempuan, tetapi sudah pintar, cantik pula ! Bisa dilihat dalam karakter charlie’s angels, atau film dengan perempuan powerful yang super sexy. Dan dengan bgitu, istilah bitch pun di-cater untuk mereka. Kaum sexist dengan mudahnya menyebut mereka menjual badan, prostitusi tingkat tinggi. Dan film-film femme fatale dibalas dengan film-film nenek sihir superpower super jahat yang akhirnya dikalahkan si jagoan yang pacarnya diculik si nenek sihir. Jika belum jelas, si jagoan tentunya laki-laki dengan pacar wanita lemah berambut pirang.
Gerakan feminismepun berubah lagi di tahun 1980-1990an. Untuk mengikuti tuntutan opini dominan, muncul dengan wujud “Yummy Mamma”, wanita karier yang singset ayu tetap menarik jagoan ranjang dan juga ibu yang baik bagi anak-anaknya. They’re still bitches, karena pada kenyataan, sangat sulit nge-balance tuntutan pekerjaan dan anak. At the end, sedikittt saja kompromi dibuat, wanita itu dianggap gagal; pelacur yang menjual tubuh dan kebahagaiaannya demi status masyarakat.
Dan ketika era postmodernism datang, istilah bitch harus direvisi lagi. Pemikiran postmodic menolak kategorisasi dan status quo. Perempuan jaman sekarang bebas memilih gerakan feminisme yang dirasa paling bisa mengangkat martabatnya. Jika jadi ibu rumah tangga adalah apa yang terbaik, be it! Jika suka anak kecil dan kerja, bisa jadi yummy mamma. Dan perempuan cantik nan cerdas bisa menggunakan kemampuan flirtingnya untuk meraih hidup yang lebih enak. Itulah sebabnya semua perempuan jaman sekarang adalah pelacur.
But then again, ga bakal ada pelacuran jika ga ada demand. Seberapapun sexistnya orang, they would not be in this world without their mums, the ones they called whores.
Ps: Sexist disini ga mengacu ke satu gender loh! Lebih ke arah pandangan dominan yang cenderung merendahkan lawan jenis, pada umumnya perempuan. And no matter how sexist some guys are, I still love boys! 😛