Suatu kali ketika Bunda masih hidup, ia bertandang ke apartemen gue. Setelah berdoa bersama, Bunda bertanya ‘Nak, kamu pernah memikirkan lelaki yang seharusnya nggak kamu pikirkan ?’
Gue berpikir sejenak dan menjawab mantab, ‘gak tuh!’ Usut punya usut, Bunda mendeteksi seseorang yang berusaha mengirim pelet yang bukan buat ikan.
“Oh, emang kenapa sih Bun, mustinya ngomong aja dulu gitu!”
“Ya dia merasa kamu telah menolak dia,” jawab Bunda
“Ohh.. emang kenapa orangnya? Jelek banget?”
“Bukan gitu…”
“Ohh.. miskin?”
“BUKAN! Dia itu udah punya anak dan istri!!”
Dari segala jenis ilmu hitam yang pernah gue dengar, dari santet, sihir, celaka lintas, susuk dan teluh, gue paling takut sama pelet.
Menurut gue, seberapapun pahitnya, selama menyerang fisik, penderitaan akibat santet itu masih bisa ditanggung. Bahkan jika sampai menimbulkan kematian, minimal ada ujungnya. Entah seperti apa dunia di seberang sana, tapi minimal kelar urusannya di sini. Durasinya juga cenderung singkat.
Sedangkan pelet, itu semacam kisah tak berujung. Ada orang yang disantet sampai mati, tapi tidak ada orang dipelet hingga akhirnya cinta beneran. Yang ada dosisnya ditambah terus guna menjaga perasaan cinta palsu tetap berkembang.
Padahal, biasanya yang dimasukkin itu bahan bakunya kurang higienis. Konon urusannya pake darah mens lah, pake celana dalam yang belum dicuci lah, pake rambut lah… Ihh itu kan mengandung mikroba! Kata Bunda, banyak dari mereka yang dipelet akhirnya mati muda karena terkontaminasi kuman dan bakteri.
Jadi, mereka yang main pelet ini ibarat mencegah kehilangan dengan menyiapkan kehilangan. Sedangkan yang dipelet tanpa sadar tiba-tiba metong, nggak bisa siap-siap seperti kalau kena penyakit berat.
“Bu, terus gimana dong! Ibu doain saya dong yang banyak! Saya enggak mau jadi istri kedua! Jadi istri pertamanya aja masih mikir-mikir!” Ketika itu gue memprotes panik. Seperti biasa jawaban Bunda standard, doa lah!
Nah ini dia nih yang gue watir. Kalau disantet, dishir atau diteluh, kan bawaannya sakit. Kalau orang sakit, pasti pengennya sembuh. Sudah pasti jika gue kena (amit-amit) yang semacam ini, gue akan berupaya cari pertolongan kanan kiri atas bawah untuk mengusir.
Lah tapi kalau maennya perasaan? Misalnya dibuat jatuh cinta, dan katanya dibuat jatuh cinta itu rasanya enak. Mana ada orang jatuh cinta dengan sukarela menolak bala. Yang ada akhirnya gue pun berhenti doa, dan pelet semakin merasuk!
Gue jadi harus mengandalkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan. Gue teringat ibu seorang kenalan yang sampai perang dukun guna melepaskan anaknya dari jeratan ratu pelet. Sampai ditarik-tarik nikah paksa dengan perempuan lain.
Masalahnya, siapa yang mau ngebelain segitunya? Yang 1) mau berupaya keras dengan gue yang mungkin dalam pengaruh lalu ngomong yang enggak-enggak. Dan yang 2) mau dinikah paksa sama gue, padahal dalam keadaan wajar aja belum tentu ada yang mau! 😀
Sudah jelas, gue mengambil kesimpulan kalau inilah sihir yang paling gak acih dan indak ado ubeknyo. Tapi menurut Bunda di lain kesempatan, gue harusnya merasa kasihan bukan pada korban, melainkan pada pelakunya.
Sang korban mungkin bisa tidak sadar dipelet dan akan hidup dengan damai. Tapi pelakunya kan sadar, dan seumur hidup harus menanggung pengetahuan bahwa ia tidak akan pernah bisa memiliki orang yang diinginkannya, bahkan ketika fisiknya digenggam.
“Lah, bodoamat!” Gue merespon enteng.
“Dia kan melakukan itu karena dia sangat mencintai kamu tapi dia tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan kamu!” ibu menegur.
“Ya iyalah nggak bisa, lah uda kewong! Kan bukan salah gue!”
“Itulah cinta! Sangat sedih ketika tidak bisa mengatur perasaan! Kamu nggak pernah ya memikirkan seseorang tapi tubuh kamu tidak bisa melangkah ke sana?”
Saat itu, gue diam sambil manyun. Percuma berdebat, feeling gue tetep bakal disuruh mendoakan, mengampuni dan mencintai. Isshhh.
Sampai kemudian gue menyadari, memang ternyata masih ada yang lebih buruk daripada dipelet. Ternyata memang benar, lebih sedih rasanya ketika sadar akan sebuah perasaan, namun dibuat tidak bisa mengontrol perasaan itu.
Selama dua tahun perasaan gue dimatikan. Seberapapun baiknya, seberapapun OKnya seberapapun eligiblenya, gue tidak bisa melihat sosok lebih dari figur fisiknya. Tidak peduli seberapun inginnya gue untuk membalas suka, yang keluar hanyalah perkataan dan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Ketakutan terbesar gue adalah jika gue tidak bisa lagi mencintai orang lain. Gue sampai berdoa novena Yudas Tadeus, yang mewajibkan gue ke Gereja setiap hari dan hanya gue lakukan dua kali, yang pertama karena pengen dagang manggis.
Pinta gue hanya satu, agar gue diberi lagi kesempatan merasakan jatuh cinta, menikmati lagi butterfly in my stomach saat suara seseorang gue dengar, dan bangun dengan satu nama terlintas langsung di benak dan menanam senyum.
Tentu saja, ketika gue akhirnya bisa merasakannya lagi, karena satu dan lain hal, perasaan itu belum tentu berbalas. Metode yang kaitannya sama perasaan ternyata bervarias. Kali ini, bukan gue, tapi orang lain yang dibuat mati perasaannya terhadap gue. Mungkin ngeliat gue udah kayak ngeliat mak lampir, biarpun kelakuan memang 11-12.
Tapi memang bukan balasan yang gue minta dalam doa. To be able to miss someone is already a great feeling. Dan gue merasa beruntung boleh merasakannya lagi.
Saat itulah gue menjadi semakin iba terhadap para pemelet. Mungkin mereka memang penuh cinta. Tetapi mereka lupa, bahwa inti dari mencintai bukanlah tentang memiliki atau berbalasnya cinta. But the love itself.